28 ; Είκοσι οκτώ

52 7 0
                                    


Kedua sosok yang kontras itu berdiri berseberangan di depan sebuah jendela besar yang menampakkan hutan lebat di belakang kediaman sang pangeran. Iris kelabu yang telah kembali normal itu memandang kosong hutan di belakang kediamannya. 

Si jubah hitam mengulas senyum tipis, "apa yang Nona Thalia memang benar tuan. Peri bunga myosotis dikenal sebagai peri bunga paling kejam dan sadis dalam klan peri bunga seribu tahun lalu. Karena itulah, mereka biasanya muncul di tengah peperangan. Peri bunga myosotis terbangun oleh darah makhluk fana dengan dendam atau ambisi kuat."

River mengusap jari telunjuknya dengan ibu jarinya, "apa.. apa kekuatan mereka?" Pertanyaan sang pangeran dibalas gelengan oleh si jubah hitam. "Mohon maaf tuan, namun saya tidak mengetahuinya. Dikatakan bahwa kekuatan mereka beragam, ada yang mengendalikan pikiran, mengendalikan bayangan, bahkan mengendalikan darah. Ada juga yang ahli sihir maupun persenjataan."

Mengingat paras indah peri bunga yang merawatnya waktu kecil dulu, River mengulas senyum lembut. "Ternyata ia sekuat itu." Gumaman bangga masuk ke dalam rungu Ruvi yang diam-diam menguping dengan wujud gagaknya. Iris kelabu itu melirik, menggerakkan tangannya sedikit.

Suara pekikan gagak terdengar, si jubah hitam mengulurkan kedua tangannya, menangkap gagak hitam yang tiba-tiba jatuh. "Tuan, maafkan putri saya." River mengangguk. "Pergilah."

Keduanya melebur menjadi bulu gagak. River menghela napas, melayangkan pandangan kembali ke hutan lebat di balik jendela. "Benarkah gadis sekuat dirimu mau menikah denganku?"

Di sisi lain, Ruley terbangun dari tidur lelapnya. Gadis yang kini memiliki iris mata biru pudar itu memandang kosong ruangan asing dimana dirinya berada. Kepalanya menoleh, memandang jendela besar yang tertutupi oleh tirai hitam. Gadis itu bergerak pelan, menyibak selimut dan menurunkan kedua kakinya, menapakkannya pada lantai dingin dan mulai melangkahkannya.

Jemari pucatnya terulur, menyibak tirai hitam yang menghalangi masuknya cahaya matahari. Pemandangan hutamn lebat terpampang di depannya. Ruley memandang kosong pemandangan menenangkan di depannya. Ingatannya memutar dimana sang dewa utama tiba-tiba mendatanginya dan memberikan sesuatu kepadanya.

Kristal jiwanya, kristal jiwa peri bunganya. Selama kristal itu masih ada, maka kematian tak akan menghampiri sang peri bunga. Kristal jiwanya juga ternyata menyimpan ingatan-inagatannya di kehidupan masa lalu yang ternyata begitu memuakkan. Seulas senyum miring terlukis di wajah gadis itu. "Apa dia mau tidak menua bersamaku?"


Pintu kamar terbuka, gadis itu menoleh. Mendapati sosok River yang tertegun di depan pintu. Pemuda itu mematung dengan sorot mata kosong. Kilatan aneh memenuhi iris biru pudar Ruley. "Kau percaya aku pernah menghancurkan sebuah benua?" Ruley membuka suara.

Gadis itu mulai melangkahkan kakinya yang tak terbalut alas kaki, berjalan lambat mengitari kamar River. Jemari pucatnya terangkat, membelai dinding dan benda yang ia lewati. Iris kelabu River bergetar, mengikuti pergerakan gadisnya.

Gadis itu melanjutkan ceritanya, tanpa mempedulikan reaksi lelakinya. "Kerajaan itu membunuh chimeraku, jadi aku menghancurkan benua tempatnya berada." River masih membisu, membiarkan gadisnya melanjutkan ceritanya meski darahnya berdesir ketika Ruley mengucapkan 'chimeraku'.

"Lagi, aku pernah menghancurkan seluruh dunia." Gadis itu berhenti di sebuah lukisan keluarga kerajaan yang terpajang di dinding kamar River. Seulas senyum bangga terlukis di wajah Ruley melihat goresan tajam yang merusak wajah sang raja dan sang ratu.

"Karena di dunia itu, chimeraku di buru sebagai kelinci percobaan." Kilatan amarah membara di iris biru pudar, helaian hitam malam milik Ruley memudar, berganti warna menjadi biru pudar dari pangkal rambut ke ujung rambut. "Dunia yang paling kubenci karena aku, telah mati terlebih dahulu, dan hanya bisa menyaksikan dari dunia bawah dengan perasaan marah yang meluap-luap."

Rambut itu kembali menghitam, kilatan amarah membara di iris biru pudar itu menghilang, diiringi seulas senyum yang tercipta. "Beruntungnya dewa dunia bawah mau membantuku merusak dunia." Iris biru pudar itu berpindah, memaku iris kelabu yang memerah milik lelakinya.

Kepalanya ia miringkan, "dan sekarang, entah dunia ke berapa, ingatanku menghilang, kau dikucilkan, dilukai, hanya karena ucapan sampah peramal kurang ajar itu! Haruskah aku menghancurkan kerajaanmu?!!" Bara api kembali memenuhi iris biru pudar, beriringan dengan rambutnya yang berubah menjadi biru pudar. River yang menahan tangisnya membersit hidungnya. 

Kedua kaki kokoh itu berderap cepat mendekati gadisnya yang mulai menangis dengan amarah. Kedua lengan River mengurung Ruley di pelukannya. Tangisan dan raungan gadis itu terdengar, menyayat hati sang pangeran.

"Maaf, maaf. Maaf karena kamu menderita sendirian, maaf Ruley, maaf sayang." Air mata River berjatuhan, lelaki itu mengeratkan pelukan pada gadisnya, mengecupi puncak kepala gadisnya.

Ruley memeluk River tak kalah erat, tangisannya semakin menyayat. "Aku hanya ingin bahagia bersamamu, mengapa dunia selalu memiliki caranya untuk memisahkanku darimu, aku benci dunia ini, aku benci, arghhh!"

River tak berhenti mengecup pelipis dan puncak kepala Ruley, menenangkan gadis itu dan membiarkannya menumpahkan segala perasaannya. Detik berlalu, menit terlewat, jam terus berdetak. Keduanya menyudut di kamar River.

Pemuda bersurai perak itu menyenderkan punggung di dinding, memeluk Ruley yang masih terseguk di pangkuannya. "Ruley, aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu." Ruley mendongak, membersit hidung merahnya. Iris biru pudar itu memandang tajam iris kelabu yang memandangnya lembut.

"Kalau begitu..kamu harus mau tidak menua bersamaku!" River terbengong, merasa sedikit kebingungan. Kepala bersurai perak itu dimiringkan. "Huh? Bukankah biasanya pasangan akan menua bersama?" 

Bibir Ruley melengkung ke bawah, air mata menggenang di pelupuk matanya. River kelabakan, pemuda itu mendekap gadisnya erat-erat sebelum akhirnya tangisan keras milik Ruley kembali terdengar. Di sela-sela tangisannya, River menangkap bahwa gadisnya mengatakan sesuatu yang membuatnya terkekeh dengan air mata bahagia.

"Tapi aku tidak bisa menua, jadi aku mau tidak menua bersamamu!"

Prisoner and The PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang