28. Back Yo You (2)

346 61 17
                                    


Back To You (2)

🎶🎶🎶

“Gimana seat-nya? nyaman?”

“Nyaman kok Pa.”

“Tapi kata Mama barusan, kamu kurang tidur. Kirain seat-nya yang nggak enak. Tapi harusnya kalau penerbangan selama itu, mending upgrade tiket. Biar bisa istirahat.”

“Mungkin karena ngecek beberapa kerjaan juga sih Pa. Jadi nggak bisa tidur.”

“Kerjaan melulu deh perasaan,” Mama tiba-tiba menyela obrolan gue dan Papa, sambil meletakkan semangkuk besar sup di tengah meja makan untuk kami semua petang ini. 

Setelah menjemput gue barusan di bandara yang kata Mama sebagai surprise sore-sore, Ia sekarang mondar-mandir dari dapur ke meja makan—dibantu Kate dan beberapa asisten rumah tangga lainnya untuk menyiapkan makan malam yang katanya hampir selesai. 

Sementara gue masih ditahan di meja makan oleh Papa, yang dari tadi mengajak gue mengobrol tentang London, bertanya kabar dan pekerjaan yang masih tersisa. 

“Papa pikir projectnya tiga bulan. Syukur lebih cepat ya?”

“Iya Pa.” 

“Padahal Mama udah siap nyusul katanya kalau sampe besok nggak pulang-pulang.” Papa menjelaskan sambil menatap Mama yang sekarang mesem-mesem malu, dan melupakan protesnya sejenak tentang kerjaan gue yang seabrek. “Kangen tau.”

Gue mengelus tangan Mama lembut, “Iya sama Ma.”

“Sebaiknya nginep dulu aja malam ini. Mama masih kangen,” Papa yang bicara membuat Mama menatapnya dengan pandangan berterima kasih. “Ya?”

Gue mengangguk. “Oke.”

“Wah terima kasih banyak Katherine,” Papa yang semula fokus pada kami, kini beralih pada Kate yang baru saja mengantar sepiring buah potong. Ia tersenyum lebar menanggapi. “Sama-sama Om.”

“Makasih banyak udah dibantuin ya Sayang. Ayo sekarang duduk aja, biar Tante yang beresin semuanya.”

Kate mengibaskan tangan sambil masih tersenyum sopan, “Kan cuma motongin buah aja Tan. Nggak papa.”

“Kan harusnya kamu nggak ngapa-ngapain, kamu itu tamu Tante hari ini.” ucap Mama kemudian menarik kursi untuknya. “Ayo, duduk aja. Ngobrol sama Om dan Harya. Sementara kita nungguin Ruby pulang untuk mulai makan. Dia nyampe dua puluh menit lagi.”

Kate tersenyum, menurut. Kemudian mengucapkan terima kasih pada Mama.

“Oke sebentar ya. Mama cek ayamnya dulu.” Mama meninggalkan kami bertiga untuk kembali ke dapur. Syukurnya ada Papa, yang langsung mengajaknya bicara santai tentang makanan. 

“Katherine, Tante di dapur masak apa?”

“Ayam goreng Om, ada ikan bakar juga yang katanya kesukaan Om.”

“Kesukaan Harya juga sebenarnya. Selain rawon.” Papa balas tersenyum kemudian melirik gue yang dari tadi berubah jadi sekaku kanebo kering ketika Kate mulai bergabung. 

Direspon begitu, Kate jadi melirik gue dan memberikan senyumnya yang sama. Sama-sama sopan dan natural, seolah gue tak pernah membuatnya menangis karena pengakuan cinta yang tiba-tiba. 

“Selain sushi juga, Iya kan Mas?”

Mas? sejak kapan Ia punya ide memanggil gue begitu?

Tapi gue menjawab juga. “Iya.”

Semua yang Ia lakukan sejak tadi di bandara benar-benar tak bisa gue antisipasi, yang berakhir membuat gue terbengong-bengong seperti orang bodoh. 

Mas? gue sepertinya akan lebih menyukai panggilan itu jika Ia tak melakukannya di depan orang tua gue, tidak melakukannya hanya karena kesopanan semata. Melainkan karena Ia ingin dan gue memang pantas. 

Panggilan umum sebenarnya, tapi terdengar istimewa ketika Mama memanggil Papa begitu setiap kali mereka hanya berdua dan gue menguping. Atau panggilan kakak-kakak perempuan gue pada suaminya. 

Mendengar panggilan itu langsung dari Kate untuk menyebut gue, agak terasa….mendebarkan. Ah, ck! gue bukan ABG lagi, demi Tuhan. 

Gue memutuskan berdiri, dan pamit ke toilet sebelum pikiran gue kemana-mana karena dia. Jujur, sebenarnya sangat menyenangkan melihat perempuan yang gue rindukan itu hari ini. Tapi sekarang, masalahnya adalah gue. Gue yang tak lagi bisa mengendalikan hati sendiri. 

Kalau boleh meminjam istilah baru, ini disebut baper. Gue benci begini doang malah jadi baper. “Sebentar ya,” kata gue kemudian beranjak, dengan tatapannya yang gue rasa membuntuti hingga pintu keluar. 

🎶🎶🎶

Makan malam ini terasa jauh lebih cepat dari yang gue bayangkan.

Kate hari ini terasa begitu akrab dengan keluarga gue, Ia berbicara dengan nyaman dan sopan pada Papa dan Mama, sekaligus asyik sekali ketika menimpali cerita-cerita lucu dari Ruby. Seolah Ia telah berada di antara mereka untuk waktu yang lama. 

Mereka tertawa dan mengobrol tentang apa saja, sementara gue di sudut jadi penonton. Bukannya tidak dilibatkan, gue hanya terlalu senang melihat mereka begitu, dan masih lelah juga karena penerbangan yang enam belas jam tadi sore. Apalagi masih dengan jadwal meeting yang menunggu satu jam ke depan. Pikiran gue jadi terbagi. 

Tapi ternyata, beban pikiran yang terbagi antara pekerjaan dan kelelahan masih belum apa-apa dibandingkan saat ini, saat ketika Mama menyuruh gue mengantarnya ke mobilnya yang terparkir di halaman depan. 

Itu berarti, gue akan berdua saja dengannya melintasi kebun bunga Mama yang gelap, dan berundak. Tanpa tahu akan mengobrol seperti apa untuk basa-basi. Mungkin Ia juga akan begitu, tentu saja. Tapi gue sama sekali tak menyalahkannya. Mungkin semua orang akan sebegini gugup, apalagi setelah pengakuan cinta. 

Ck. 

“Kate,” gue menyapa, sesaat setelah kami berdua sudah agak jauh dari pintu depan. Ia melirik sedikit. “Hmmm?” 

Sebelum gue sempat menjawab, Ia lebih dulu bicara sekali lagi, “sejujurnya, Im not ready for the talk with you today.” akunya. “Tapi gue harus banget ke sini hari ini.”

“Untuk memenuhi undangan Mama gue? thanks kalo begitu.” jawab gue, yang membuatnya mendengus, setengah tertawa. 

“Bukan juga,” elaknya. 

Gue meliriknya lama, menunggunya memberi penjelasan atas pernyataannya barusan yang bagi gue abu-abu. Namun Ia tetap berjalan, menatap lurus ke depan, ke arah rimbun tanaman yang gelap dan membiarkan gue menerka-nerka seorang diri.

Jika bukan karena undangan Mama, lantas apa? 

“Gue kesini demi diri sendiri kok.” 

Kini mobilnya hanya berjarak dua meter dari kami. Kate mempercepat langkah, kemudian menarik sisi pintu mobil untuk meletakkan beberapa kotak kudapan dan buket bunga dari Mama. 

Ia telah bersiap masuk, kemudian menoleh pada gue sekali lagi yang tidak juga merespon kata-katanya barusan. Ia seperti menimbang sejenak, lalu mendorong pintu mobil dengan keras. Mengurungkan niatnya untuk secepatnya pulang. 

Apa lagi sekarang? 

Ia kembali berjalan anggun ke hadapan gue, dari penerangan minim lampu taman, gue sama sekali tak mampu mengartikan pandangannya. Ekspresinya datar, cenderung dingin. 

Apa Ia marah? atau ada hal lain yang dilupakannya, hingga Ia perlu kembali?

Belum sempat berpikir terlalu jauh, tahu-tahu Ia sudah berada di hadapan gue sekali lagi. Kemudian tanpa kata-kata, ditariknya tengkuk gue mendekat dalam satu ciuman yang panjang, basah, dan menggebu-gebu. 

“Gue kesini karena gue kangen banget sama lo, you dumb!”

🎶🎶🎶



Do you think I have forgotten about you? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang