24. Arya

362 56 19
                                    


Arya

🎶🎶🎶


Lima belas tahun, itu jatuh cinta diam-diam atau tenor KPR?

Itu bukanlah waktu yang singkat untuk memendam perasaan dan terus teringat pada satu perempuan yang sama sepanjang waktu.

Beberapa orang mungkin berpikir bahwa itu buang-buang waktu, dan bahkan bodoh. Tidak apa-apa, gue paham alasannya.

Dalam rentang waktu tersebut seseorang telah tumbuh dari remaja ke usia dewasa, tentunya sudah bertemu banyak orang, sudah hidup dalam beberapa lingkungan pertemanan yang  diisi oleh bermacam-macam kepribadian yang unik. Dan dari seluruh kepribadian tersebut, masa iya tidak ada satupun yang menarik perhatian?

Apalagi punya pekerjaan dengan resiko rentan stress, mustahil tidak muncul keinginan untuk memiliki seseorang untuk sekedar menemani makan malam, tempat mengeluh, teman nonton, atau seseorang yang bisa dipeluk ketika sedang butuh.

Rasanya sungguh sia-sia  dan tidak realistis berharap mati-matian pada satu orang yang hanya gue kenal selama seminggu di tahun 2008, satu orang yang ternyata setelah bertemu kembali jatuh cinta pada orang lain. Padahal tersedia banyak sekali pilihan jika gue bersedia move on dari masa lalu. Tapi nyatanya berkebalikan.

Karena satu orang itu juga, gue tidak pernah punya suatu hubungan yang serius dengan perempuan lain. Lebih tepatnya tidak bisa. Entah dengan Hara, seorang pramugari yang gue kenal tanpa sengaja dalam sebuah penerbangan ke Jakarta dari Sydney beberapa tahun lalu.

Jade, salah seorang model untuk project penjualan kartu kredit yang pernah ditangani Pascal, Chloe, atau siapapun karena semuanya akan berakhir sama payahnya.

Entahlah, mereka semua bilang gue terlalu gila kerja hingga mereka merasa  kurang diperhatikan. Tapi belakangan gue sadari, gue tidak akan pernah berhasil dengan siapapun selama  perempuan itu bukan Kate.  I’ve a big crush on her. A huge crush. Mungkin karena dia adalah orang pertama yang membuat gue akhirnya punya cita-cita.

“Nama saya Katherine. Cita-cita saya.....hmmmm, jadi banker.” Ucapnya pada acara penutupan penerimaan siswa baru pagi itu.

Kami berdua datang terlambat dengan selusin siswa lainnya. Dan sebagai hukuman, kami semua disuruh bernyanyi di lapangan setelah sebelumnya memperkenalkan diri secara lengkap, termasuk menyebutkan cita-cita, hobi hingga list makanan favorit. Ada-ada saja memang, tapi pagi itu gue akhirnya punya cita-cita; jadi seorang banker.

Sejak kecil gue tidak pernah diajarkan untuk punya cita-cita. Hidup gue seakan disetting hanya sebagai penerus tongkat estafet dari kakak-kakak gue yang terlalu pintar itu.

Tidak pernah ada seorangpun yang bertanya pada gue tentang hal-hal kecil; perihal mata pelajaran favorit, rencana ekskul, atau olahraga yang paling asyik. Apalagi hal besar seperti sekolah yang diinginkan, atau profesi masa depan.

Orang tua gue, terkhusus Mama selalu beranggapan bahwa gue dan saudara-saudara perempuan gue itu sama, yang kelak juga akan menjalani cita-cita yang sama pula, yaitu jadi dokter hebat seperti Papa.

Kakak gue mungkin terlalu membanggakan bagi Mama. Mereka berdua masuk sekolah paling bergengsi di kota ini sejak SMP. Kak Janna adalah juara olimpiade matematika dan biologi, sedangkan Kak Deandra adalah salah satu best speaker untuk kompetisi debate nasional, juara olimpiade fisika, dan penerima beasiswa berprestasi. 

Punya dua anak perempuan yang seperti itu membuat Mama seperti diguyur puji-pujian, dan semakin berambisi membuat gue untuk jadi sama dengan mereka.

Dimulai ketika gue masuk  Sekolah Dasar, Mama memasukkan gue ke sekolah yang dimasuki kedua saudara perempuan gue, mendaftarkan les yang sama, menyarankan ekskul yang sama, yang perlahan membuat gue tumbuh jadi anak yang pasif, yang terlalu terbiasa dengan rencana demi rencana milik Mama tanpa pernah menyampaikan keinginan gue sendiri. Toh semuanya akan jadi serba mudah, hanya tinggal dijalani tanpa repot-repot bertanya ’kenapa’ pada kedua orang tua.

Do you think I have forgotten about you? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang