33. Lets Talk About Us (3)

246 50 8
                                    

Lets Talk About Us (3)

🎶🎶🎶

Malam ini, Ia membicarakan segalanya. 

Termasuk hal yang dilakukannya saat gue berada di London waktu itu. Katanya pengakuan gue membuatnya berpikir keras, terlalu keras hingga membuatnya memutuskan mampir ke rumah gue suatu kali. 

Awalnya tujuannya kesana untuk meringankan beban pikirannya karena gue, tapi lama-lama Ia mengaku lebih enjoy karena Mama mengajaknya berkebun (ketika Ia kebetulan tidak lembur)—memetik mawar-mawar segar, dan memberi pupuk. Tak jarang saat weekend, Mama juga mengajaknya membuat roti bersama. 

Pada saat  mereka berdua menghabiskan waktu, Kate bilang Mama gue tak pernah sekalipun membicarakan gue. Sebaliknya, Ia lebih banyak bertanya tentang Kate untuk hal yang ringan-ringan. Tentang makanan kesukaannya, hobinya, apa yang Ia lakukan ketika libur bekerja, sampai membicarakan produk-produk perempuan kesukaannya —semuanya tentang Kate, seolah Ia ingin mengenalnya lebih baik. 

“Sebenarnya gue sempat takut diajak ngomongin perjodohan,” katanya tadi. “Soalnya masih kerasa belum siap aja.”

Tapi karena selama dua bulanan itu kenal lebih dekat, dan ternyata Mama gue sama sekali nggak membahasnya, justru Kate mengaku Ia yang memulai lebih dulu. Sampai akhirnya Ia juga membicarakannya panjang lebar, termasuk tentang pertanyaan Mama beberapa waktu lalu tentang perjodohan yang dipercepat. 

Jujur, gue agak terkejut mendengarnya. Karena selama di London, Mama tak pernah sekalipun bercerita tentang Kate yang mengunjunginya. Kami hanya kangen kangenan di telpon, kadang-kadang juga jadi ajang pamer makanan yang Ia masak. 

Salam pembuka telponnya hanya, “Nak, Mama baru aja bikin asinan. Di London nggak ada.” lalu suara Ruby di belakang yang sibuk menanggapi, “kasian deh.” sambil tertawa-tawa. Rasa-rasanya tak pernah ada Kate dalam pembicaraannya ketika itu. Dan ini juga selaras dengan Kate yang juga bilang, bahwa selama ini topik tentang gue juga tidak pernah ada di antara mereka. Kecuali ketika Kate membicarakan pertunangan.

Namun, jika memikirkan kemungkinan alasan Mama tidak membawa topik masing-masing di antara kami, gue memikirkan perkataannya sebelum ini, bahwa meskipun Ia menjodohkan kami semua (kakak-kakak gue sebelumnya), Mama bilang Ia tak pernah memaksa. Katanya Ia hanya ingin mengenalkan orang baik. Sisanya, Ia ingin perasaan masing-masing orang tumbuh dengan alami. Tapi entahlah. 

Mama terlalu menyukai Kate. 

“Gue bilang, gue nggak setuju pertunangannya dipercepat.” Katanya, kembali membawa gue pada kenyataan. 

Oh ya?

“Gue jujur ke Mama lo tentang segala yang gue rasakan tanpa ada satupun yang gue tutupi, juga tentang perjodohan kita yang sebenarnya sudah gue pikirkan dengan baik selama lo pergi ke London,  dan ..”

“Dan?”

Sebelum menjawab, Ia diam dengan semburat kemerahan mewarnai wajahnya yang malam tadi pucat. 

“Dan gue bilang ke Mama lo, kalau gue pengin menenangkan hati gue dulu, sambil pelan-pelan mengenal lo dengan lebih baik. Bukan sebagai teman dan rekan kerja enam tahun di kantor yang sama. Tapi sebagai laki-laki dan perempuan dewasa yang suatu saat bakal ke jenjang yang lebih serius.” katanya. 

“Karena Harya, ketika kelak gue setuju untuk dinikahi seseorang, gue harus mencintai orang itu dengan cinta yang sama besar. Segila-gilanya kalau perlu. Dan dengan lo, gue kepengin begitu. Maka gue ingin waktu untuk kita saling mengenal lagi, lebih deket lagi dari sebelumnya.”

“Gue nggak ngerti.” gue menginginkan jawaban yang lebih ringkas.

“Ya…maksudnya, gue setuju kita tunangan. Tapi peresmiannya bisa ntar dulu aja. Gue mau kita santai, lebih deket aja dulu kayak gini. Gue mau belajar menyayangi lo sebagaimana lo—”

“Maksudnya pacaran santai. Gitu?” tembak gue membuatnya menutup wajah, dan menyembunyikannya di dada gue, malu. 

“Ya ayo kita jalan. Gue nggak akan jalan sama orang lain kecuali lo. Lo juga akan begitu. Gue mau mengenal lo lebih baik lagi. Jangan istilahin pacaran dong, kayak Abg aja. Lagian, gue udah pake cincinnya, gue gamau balikin.”

Sekarang gue yang tertawa sambil mengelus kepalanya di dada gue. “Kenapa akhirnya lo bisa mau?”

“Banyak alasannya yang selama dua bulanan itu gue dapetin. Tapi……kalimat gue sayang sama lo sejak lima belas tahun itu adalah kalimat paling mustahil, sekaligus paling romantis yang pernah gue dengar dari seorang laki-laki.”

“Ya tahun depan gue akan bilang, gue sayang sama lo sejak enam belas tahun, depannya lagi tujuh belas tahun…..depannya lagi…..” kata gue, sambil masih tersenyum. 

“Oke, jangan berhenti kalau gitu.” 

“Ya mana bisa.”

🎶🎶🎶

Do you think I have forgotten about you? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang