18. Confession

393 61 9
                                    


Confession

🎶🎶🎶

[🔞kissing. ]



Sampai isakanku berhenti, Harya tak juga mengatakan apa-apa. Ia tetap diam memelukku, sambil sesekali menepuk-nepuk lembut punggungku seperti orang tua yang berusaha menidurkan seorang anak kecil.

Ia tak menyela dengan kata-kata penghiburan, tak juga mencoba menghentikanku dengan berkata untuk jangan menangis. Harya bungkam, seolah di sini Ia hanya menemaniku dan memberikanku waktu sebanyak-banyaknya untuk diriku sendiri.

Begitu dirasa aku sudah cukup tenang, Ia melepaskan rengkuhannya. Masih tanpa bicara, tangannya terulur ke rambutku lagi yang sedari tadi memang awut-awutan akibat handuk kering yang Ia gosokkan sebelumnya, dengan perlahan Harya merapikannya, menyisir bagian yang kusut dengan jari-jarinya hingga menyelipkan yang jatuh lemas di dahiku ke belakang telinga. 

Ia juga mengangkat lembut wajahku yang sedari tadi menunduk menangis, kemudian dengan ibujarinya Ia menghapus sisa air mata yang meleleh di pipiku. Sementara Ia melakukannya, kami jadi saling bertatapan. 

Meskipun isi pikiranku saat ini  rumit dan terlalu penuh setelah banyak hal yang terjadi, namun aku masih bisa membaca matanya.  Seperti terlalu banyak kata-kata tertahan, juga emosi yang tumpah ruah—aku bahkan bisa melihat kemarahan, putus asa, dan sedih diulas dengan begitu jelas dari  sana. 

Juga luka. Seperti orang lain telah melakukan hal yang sama kepadanya berkali-kali dan bahkan lebih parah. Harya pasti tahu semua yang terjadi di sini terkait Juno dari Ally, itulah mengapa Ia repot-repot kemari mencariku.

Meskipun aku juga percaya Ia menyusulku karena khawatir penyakitku kambuh, karena begitulah kebiasaannya selama ini. Ia terkadang bisa jadi teman yang terlalu peduli, bisa juga sebaliknya seperti tempo hari.

Seharusnya Ia juga begini ketika bicara denganku di apartemen beberapa hari yang lalu, jadi kami tak perlu ribut-ribut dengan dia yang sibuk meremehkan perasaanku. Karena bagaimanapun cara orang lain memahami, luka tetaplah luka yang tak pernah bijak jika dibandingkan rasa sakitnya. 

Sekarang Harya membelai pipiku. Sungguh jika Ia tidak bisa memahami, itu bukan masalah besar bagiku. Toh tidak semua orang harus melakukannya. Tapi Ia selalu punya pilihan untuk tidak menggunakan luka masa lalu sebagai bahan lelucon untuk memenangkan egonya.

“Gue minta maaf.“ katanya. 

“Gue salah, gue benar-benar minta maaf atas semua yang gue katakan sebelumnya. “

“Gue egois, gue nggak cukup mengerti bahwa mungkin semua yang gue bilang akan menyakiti lo….“ 

Ia bicara terbata seakan sedang membaca, kemudian Ia diam sejenak menggantungkan kata-katanya. Aku memandanginya lekat, masih menunggu.

Sekarang Ia seperti menimbang-nimbang, bimbang atas kata-katanya sendiri. Namun entah bagaimana Ia mengatakannya juga, “tapi pertanyaan lo tentang orang lain  di antara kita juga menyakiti gue Kate. Andai lo tahu.“

Tangannya sekarang berhenti membelai, tatapannya melembut melihatku yang dari tadi kebingungan atas ucapannya. “Jadi sebenarnya kapan Kate?—”  Harya menghela napas berat sebelum melanjutkan. 

“ —Kapan lo punya waktu yang pas buat kita berdua?” 

Kita? 

Pandangannya kian melekat, dan semakin dekat. Tangannya sekarang turun ke leherku, entah siapa yang memulai terlebih dahulu—akupun tidak benar-benar yakin bahwa semua yang kurasakan malam ini; segala kesedihan dan kebingungan membuatku bertindak sejauh ini. Ada sejenis perasaan abu-abu yang tiba-tiba hadir, perasaan yang membuatku membiarkannya menyentuh bibirku.

Atau akulah yang menyentuh miliknya terlebih dahulu?

Semuanya terjadi begitu saja, begitu cepat dan spontan. Yang bahkan tak sanggup membuatku mengingat bagaimana awalnya itu bisa terjadi. Selayaknya kutub magnet, kami tidak bisa menghindari untuk saling menarik satu sama lain. 

Ide tentang berbagi kecupan dengannya selama ini hampir mustahil melintas di kepalaku, tapi ketegangan di antara kami saat ini terasa begitu nyata, seperti ribuan kupu-kupu beterbangan di perutku begitu Harya mulai memberikan ciuman-ciuman kecil pada rahang kemudian leher, lalu naik dan berlama-lama di bibirku. 

Aku seperti bergetar dengan caranya melumat kuat-kuat, berdesir tiap kali bibirnya yang lembab mencecap wajahku di mana-mana dengan suara lenguhannya yang tertahan. Ia membuatku kewalahan, namun aku tak juga ingin Ia berhenti.

Apakah ciumannya memang secandu ini? kutemukan diriku semakin lupa diri saat Ia entah bagaimana mengeluarkan kami berdua dari pantry dan melupakan kopi yang sebelumnya kubuat untuknya beberapa puluh menit yang lalu. Sebagai ganti, Ia menidurkan tubuhku pelan-pelan pada sofa terdekat tanpa melepaskan ciumannya di bibirku. 

Ada wangi mint, wangi rokok—aku tak pernah tahu bahwa Harya juga bisa merokok, dan rasa samar yang mirip dengan manis apel dari permen yang mungkin sebelumnya Ia makan, yang entah bagaimana setelah bercampur dengan rasa bibirnya menjadi rasa favoritku beberapa menit terakhir ini. 

Dan rasa itu pula yang sejak tadi tak pernah puas untuk kucari-cari pada bibirnya hingga tanpa sadar ku tekan tengkuknya mendekat untuk mencari rasa itu lebih dalam, lebih dalam lagi  sebab kurasa aku lebih membutuhkannya daripada udara. Daripada kewarasanku sendiri.

Dan sepertinya Harya juga menyukainya. Sebab Ia nampak tak terlalu peduli dengan napasnya yang saat ini mulai tersengal. Ia tetap menghisap,  dan mengulum lembut lidahku yang kurespon dengan meremas pelan rambutnya di bagian belakang. 

Sentuhannya sungguh memabukkan, aku dibuat begitu mendamba—sedikit lagi mungkin jadi gila begitu tangannya mulai menyentuhku di dada. Aku sangat menyukai bagaimana caranya meraba, lebih-lebih menyukai bagaimana caranya memetik di sana semaunya. 

Sudah tak ada lagi kesadaran, aku seperti digulung ombak yang semakin tinggi detik demi detik. Kini kubiarkan Harya membuka satu persatu kancing kemejaku. Ombak itu semakin kacau, Ia membuatku begitu merindu sebagaimana layaknya perempuan yang rindu disentuh. Dan Harya sedari tadi membuatku tak henti-hentinya kagum, mengapa Ia jadi terlalu ahli seperti ini?

Kini Ia kembali memberikan kecupan-kecupan pada wajahku, pada pelipisku ketika Ia mungkin tanpa sengaja berbisik pelan sekali, terlalu pelan hingga rasanya Ia mengatakannya di dalam mimpiku.

"I really love you, Kate. I think….you already know, but…." Ia seperti menelan kata-katanya sendiri ke kerongkongan. Mungkin mulai menyesal. 

Tapi apa?

Pengakuan yang mendadak, namun cukup membuatku seakan ditarik pada realitas. Aku terkejut, begitu pula Harya. Kami seperti dua orang linglung yang baru saja tersadar paksa dari mimpi tidur siang yang singkat. 

Kami langsung saling menjauh satu sama lain, seolah nafsu yang dari tadi hangus membakar diguyur lenyap begitu saja oleh  perasaan bersalah dan rasa malu. 

Wajahnya gugup, Ia langsung membuang pandangan kaku ke lantai begitu melihat penampilanku yang berantakan dengan kemeja yang separuh kancingnya sudah terlepas, seperti bukan dia yang membuatnya demikian. 

Pikiranku bertambah kalut sekarang. Beban fisik dan emosional yang sedari tadi sudah menumpuk, kini semakin terasa menggunung dan aku benci diriku sendiri. Bisa-bisanya kami begini. 

Tak ada yang bisa kupikirkan lagi, semuanya semakin hancur berantakan, disertai air mataku yang kini mulai memburamkan pandangan. 

"What the heck we were doing, Harya?"

🎶🎶🎶

[ Kate POV end ]

Do you think I have forgotten about you? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang