27. Back To You (1)

267 54 2
                                    


Back To You (1)

🎶🎶🎶

“Serius, ini lo jadinya kapan balik?”

“Belum tahu.”

“Lah?!”

Gue sedang berbicara pada Ally di telpon terkait kredit yang sama-sama kami tangani di Jakarta, ketika tiba-tiba Ia bertanya kapan gue kembali dari project tujuh mingguan ini yang baru saja gue jawab dengan jujur. 

Ia berseru kaget di seberang sana, “belum tahu gimana maksudnya?” nada suaranya meninggi. terdengar tidak percaya. 

“Ya belum tahu, soalnya masih ada schedule meeting sama konsultannya dalam beberapa hari ke depan. Mungkin selasa, atau kamis. Nanti gue kabarin aja ya?”

“Tapi pastinya dalam minggu ini kan?” suaranya penuh harap. 

“Iya.”

Gue mengerti apa yang Ia rasakan sekarang. Gue sangat sibuk dengan jadwal pekerjaan di London, tapi masih punya kewajiban mengurusi pekerjaan di Jakarta. Kota dengan perbedaan waktu tujuh jam dari sini yang membuatnya kerepotan mengatur jadwal kami semua. 

Padahal kami masih harus meeting dengan tim, membuat laporan dan penjadwalan OTS yang mengharuskan kami untuk tetap saling berkomunikasi.

Itulah mengapa selama di sini, gue harus menyiapkan waktu ekstra pada pukul dua sampai tiga pagi, untuk bisa menghadiri rapat online dalam waktu normal di Jakarta. 

Belum lagi karena nasabahnya kali ini adalah konglomerat yang banyak mau. Tipe Ibu-Ibu ngeyel yang membuat Ally sakit kepala dan sering menelpon untuk mengadu. Seperti hari ini, ketika Ia sudah tak lagi menyapa dengan ‘halo’ tapi mengeluh. 

“Ya udah. Secepatnya ya, biar langsung bisa meeting sama bu Widjaja.”

“Oke. Nanti laporannya bakal gue email.”

“Sip!”

“Iya, yang penting lo jangan stress lah. Minggu ini pasti gue bisa balik. Mungkin weekend sih.”

“Iyaaaaa! dan biar nggak stress, lo harus bawain gue oleh-oleh.” Ia menjawab, kali ini jadi lebih santai yang membuat gue agak lega. Karena akhirnya setelah terdengar mumet karena kerjaan berminggu-minggu, kini Ia bisa sedikit  mengalihkan pembicaraan. 

“Iya, mau apa? biar sekalian gue cariin sama pesenan Aji juga.”

“Serius?” Ia sekarang menjerit kegirangan, yang secara otomatis membuat gue menjauhkan telpon dari telinga, demi kesehatan pendengaran. 

Tapi gue tertawa, bicara dengannya seperti menghadapi Aji dalam versi perempuan. Mereka sama-sama ekspresif jika sedang senang. 

“Serius lah.” 

“Nggak ah! gue becanda. Pulang aja lebih cepat. Ada yang kangen sama lo nih di Jakarta.” katanya dengan nada jahil.

“Hmmm.” Gue tentu tahu Ia sedang membicarakan siapa. 

“Gue baru aja balik dari apartemennya tahu. Dia baru balik dinas, jadi gue temenin makan sebentar. Sekalian nganterin kado ulang tahunnya juga.” katanya. 

Perlu beberapa saat bagi gue untuk sekedar bergumam untuk meresponnya. Karena gue nggak tahu harus membalas apa terkait pergantian topik yang terlalu tiba-tiba. 

Bukan apa-apa, selama tujuh mingguan ini tak pernah ada Kate dalam pembicaraan kami. Tentunya Kate telah menjejalinya dengan banyak cerita, dan yah…gue masih tak ingin membicarakan itu dengan orang lain. 

Do you think I have forgotten about you? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang