32. Lets Talk About Us (2)

230 47 7
                                    


Lets Talk About Us (2)

🎶🎶🎶


“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa liatin gue sebegitunya?”

Kate protes ketika gue tertangkap basah lagi sedang menatapnya lekat-lekat malam ini. Ia pasti terganggu karena sejak tadi gue tidak bisa menahan diri untuk tidak mengerling kemudian terpaku ke arahnya, setidaknya untuk sepuluh menit sekali.

Padahal, sebuah film dokumenter sedang terputar di depan kami. Namun, alih-alih memandang kesana pada televisi yang sedang menampilkan siaran tentang sekte sesat di Korea, gue lebih memilih menatap Kate lama-lama. 

Kemudian membuang muka begitu Ia balas melirik pada detik berikutnya. Yang sebelumnya Ia balas hanya dengan dengusan. Tapi kali ini Ia bertanya juga akhirnya, mungkin sudah merasa cukup jengah karena hanya ditatap tak jelas tanpa berkata-kata. 

Ngomong-ngomong, kami berdua telah berada di apatemennya sejak sejam yang lalu. Tepatnya terduduk bersebelahan di sofa ruang tamu, dengan berbagai macam snack disajikan di atas meja. Juga es krim labu yang sebelumnya telah Ia janjikan. 

Saat ini, Ia tampil lebih santai setelah berganti pakaian dari dress ke piama kuning bergambar pikachu. Rambutnya digelung ke atas, wajah polos tanpa make up, plus cincin pertunangan yang masih menyisip di jari manisnya. 

Dan untuk yang terakhir inilah gue dari tadi menatap ke arahnya, sambil menimbang-nimbang sendiri apakah tepat mengajaknya bicara malam ini. 

“Tuh kan diem, ayo dong kenapa?” Ia mendesak lagi. 

“Ada yang aneh ya di muka gue?” katanya sambil mengusap wajahnya dengan tangan yang bercincin, yang membuat gue tanpa pikir panjang menangkap tangannya kemudian mengelus bagian jari yang bercincin dengan lembut. 

“Sorry, tapi lo keberatan nggak kalo kita ngobrol serius malam ini?” kata gue kemudian memikirkan kemungkinan Ia menolak karena suatu kali di rumah gue, Ia pernah bilang bahwa Ia belum siap membicarakan apapun dengan gue. 

Dan karena alasan itu hingga hari ini, berminggu-minggu setelah gue kembali dari London, gue tak pernah sekalipun berbicara dengan menyinggung apapun terkait perasaan, perjodohan, masa lalu, atau apapun yang sekiranya tak nyaman baginya untuk dibicarakan. 

Gue bersikap senormal mungkin, seolah kata-kata im not ready for the talk with you today darinya waktu itu telah menekan tombol reset dalam hubungn kami yang membawa segalanya terasa kembali ke awal. Ketika semuanya masih seperti semula di enam tahun lalu. 

Bukan apa-apa, gue hanya tak ingin memaksanya untuk buru-buru memahami gue, lebih-lebih tak ingin Ia tergesa untuk menerima perasaan gue. Bagaimanapun, semua orang butuh waktu untuk sebuah pengakuan cinta. 

Apalagi baginya, gue tak apa jika harus kembali menunggu sekali lagi. Toh gue sudah begini dalam lima belas tahun. Jadi apa artinya setahun atau dua tahun lagi? Apapun untuknya, apapun. 

Tapi malam ini, ketika gue melihatnya mengenakan cincin dari Mama, gue merasa tolol jika tidak menganggapnya sebagai sinyal yang serius. Itu bukan perhiasan biasa, itu adalah simbol pengikat yang turun-temurun diberikan pada menantu perempuan keluarga—

“Oh please..” Ia bicara, sekaligus memecah lamunan gue sejenak dengan suara yang mirip seperti keluhan. “Jadi sebenarnya, lo ngelirik dari tadi itu cuma mau ngajak ngobrol serius?”

Gue mengangguk, membuatnya sekarang duduk lebih dekat dan memutar posisi duduk hingga Ia tak lagi duduk menyamping. Melainkan berhadapan dengan gue. 

“Harusnya bilang aja dari tadi. Gue ngajak kesini juga sebenarnya mau ngobrol sama lo. Karena jujur …..gue nungguin kita bisa punya waktu aja sampai berminggu-minggu. Lo dinasnya lama banget. Gue juga.” katanya. 

Do you think I have forgotten about you? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang