Matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Cahaya keemasan mulai terbit dan membangkitkan semangat untuk memulai misi di tanah Natuna ini. Surya yang belum sepenuhnya keluar ini membuat siluet indah sekelompok orang yang sedang duduk melingkar sambil menghirup kopi.
Setelah menunaikan shalat subuh, mereka langsung keluar dari tenda dan menyalakan api untuk menghangatkan diri. Di tengah lapangan yang biasa digunakan anak-anak desa bermain bola ini lah tenda para sukarelawan didirikan, karena tidak ada satu pun tempat yang bisa digunakan untuk mereka menumpang.
Setelah selesai mengisi tenaga dengan kopi dan ubi jalar rebus yang diberikan oleh Pak Bani selaku kepala desa, mereka semua bergiliran untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah dimana anak-anak desa berkumpul jika akan belajar.
Aminah yang sudah siap kemudian duduk di atas rerumputan menikmati indahnya alam dari atas ketinggian.
“It’s fantastic!” Gumam Aminah.
Baru kali ini ia merasa sedekat ini dengan alam. Melihat dengan nyata bagaimana bahagianya burung-burung beterbangan, pohon-pohon bergoyang diterpa angin, dan setiap sapaan hangat dari penduduk yang akan berangkat ke kebun.
Aminah menoleh kanan kiri melihat sekeliling, kemudian melihat Wildan yang sedang membantu seorang petani mendorong gerobak yang berisi rumput untuk pakan ternaknya. Hal itu membuat Aminah tersenyum lebar.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” Tanya Wildan setelah selesai membantu bapak yang tadi kesusahan menarik gerobaknya menaiki bukit dan lantas berjalan mendekati Aminah. Ia menepuk- nepuk bajunya yang sedikit kotor karena terkena rumput basah itu.
“Enggak tahu, Kak. Tapi seneng aja bisa liat kakak menolong banyak orang.” Jawab Aminah.
Wildan menatap Aminah dengan senyum tipis. Tak lama kemudian ia duduk di samping Aminah.
“Dik, begitulah hidup. Kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak yang kita terima, tapi seberapa banyak yang dapat kita berikan untuk orang lain. So, dari sekarang mulailah berbuat baik dengan hal-hal kecil. Tapi jangan anggap remeh kebaikan kecil, karena itu bisa saja memiliki arti besar untuk orang lain. Ya.. setidaknya meringankan beban orang lain.” Jelas Wildan yang berhasil membuat Aminah mengangguk paham.
***
Arloji kecil di pergelangan tangan Aminah sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aminah kini sedang berdiri mematung di depan sebuah bangunan.
“Cit, kamu yakin ini sekolah yang dimaksud sama warga?” Tanya Aminah berbisik pada teman di sampingnya.
“Kayaknya iya deh. Tapi enggak mungkin dong kita masuk ke sana, bangunan ini bisa roboh. Lagian kayaknya enggak muat deh buat kita semua masuk.” Bisik Citra pelan.
“Aduh, Citra. Aku kira tadi ini pos kamling.” Ujar Aminah sambil menepuk dahi, membuat Citra dan Wanda cekikikan menahan tawa.
“Aminah, buku-buku, sabun cuci tangan, sama seragam sekolah sudah siap?” Tanya Pak Zain kepada Aminah.
“Sudah lengkap semua, Pak.” Jawab Aminah.
Tak lama kemudian, mereka melihat ibu-ibu yang datang berduyun-duyun untuk mengantar anak mereka ke sekolah itu. bersama mereka juga ada bapak-bapak yang datang dengan peralatan bertukang. Tawa mereka seakan menghadirkan semangat baru untuk Aminah.
Ada sebelas anak yang datang, mereka berpakaian seadanya. Sebagian dari mereka sudah bercerita panjang lebar kepada Aminah tentang semangat mereka untuk belajar, hingga mereka ingin memakai pakaian terbaik yang mereka punya. Padahal di mata Aminah, baju itu sangatlah kusut dan lusuh.
![](https://img.wattpad.com/cover/356601079-288-k113973.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Insan Terbaik di Waktu Terbaik
ChickLitCerita ini sudah terbit ya, jadi untuk kamu yg mau bertanya perihal buku bisa langsung chat aku:) vote and comment guys! Aminah Wardhani, gadis cantik dengan sifat manja luar biasa dan tingkah unik di atas rata-rata ini tengah jatuh cinta dengan seo...