Aina?

6 2 0
                                    

“Kamu ngapain tarik-tarik tangan aku sembarangan?” Tanya Wildan setengah kesal setelah sampai di ujung tenda milik tim relawan Aina.

“Dan, kamu itu sahabat aku. Aku cuman mau ngobrol sama kamu, aku mau cerita banyak hal. Setelah kamu pindah dari sekolah tahun lalu, persahabatan kita jadi renggang, kamu mulai dingin dan tidak pernah menghiraukan aku. Apa salah kalau aku rindu?” Jawab Aina berterus terang.

“Aku sibuk, Aina. Aku harus kembali ke tenda.” Jawab Wildan singkat untuk mengakhiri pembicaraan.

“Enggak bisa. Aku belum selesai cerita, Dan!” Pekik Aina sambil menarik tangan Wildan yang sudah akan berlari.

“Dengar, Aina. Jangan bertingkah seolah kamu yang paling mengerti aku.” Bisik Wildan datar, membuat nyali Aina ciut seketika.

“Aku kangen sama kamu.” Ucap Aina.

“Tapi waktunya tidak tepat, Aina. Aku masih punya banyak urusan.” Tukas Wildan.

“Dengan perempuan itu? Kamu masih gak ngerti perasaan aku?” Tanya Aina kesal.

“Apa urusanmu? Kamu juga yang membuat persahabatan kita hancur. Dan aku pastikan aku tidak bertanggungjawab atas perasaanmu itu.” Jawab Wildan datar.

Wildan segera mnghempaskan tangan Aina, membuat pegangan itu terjatuh dan terlepas. Kemudian ia beranjak pergi menuju tenda milik mereka.

Melihat langkah Wildan yang cepat dan terlihat sedang menahan amarah, Aminah yang sedang berjongkok dengan anak-anak desa itu langsung menyapa Wildan.

“Kak!” Seru Aminah, kemudian melambaikan tangan untuk mengajak Wildan bermain bersama mereka.

“Adik-adik, ini sudah petang. Ibu kalian pasti sedang menunggu kalian di rumah. Sebaiknya kalian segera pulang.” Ucap Wildan dengan lembut kepada tiga anak di depannya.

“Yahhh... kok malah disuruh pulang?” Tanya Aminah kecewa.

“Ini sudah hampir magrib, mereka harus pulang dan kamu juga harus masuk ke tenda.” Jelas Wildan.

Aminah hanya menurut, kemudian berjalan mengekori Wildan yang sedari tadi sibuk memberikan instruksi agar seluruh tim masuk kedalam tenda.

Selepas menunaikan shalat magrib yang dipimpin oleh Pak Zain, seluruh tim duduk melingkar dan mendengarkan arahan  untuk kegiatan besok.

“Aminah dan Nisa besok sosialisasikan PHBS kepada adik-adik ya, terus Wanda, Citra, sama Lili juga ikut Aminah sama Nisa. Nah untuk Wildan, Ahmad, Diki, Reno, dan Putra besok kita juga ikut, jadi sementara mereka lagi di kelas, kita akan merenovasi dinding sekolah yang rusak dan memasang pintu di sana.

Mengerti?” Jelas Pak Amir.

“Siap, Pak, mengerti.” Jawab mereka berbarengan.

Setelah itu mereka bersama-sama menyiapkan buku-buku pelajaran yang akan mereka bawa besok sebagai bahan pelajaran untuk anak-anak. Buku-buku itu sebenarnya adalah donasi dari masyarakat yang ada di sekitar MA Bakti Negeri beberapa bulan lalu.

Setelah selesai makan malam dan shalat isya, mereka semua bersiap untuk istirahat. Mereka memang tidur dalam satu tenda besar yang menggabungkan siswa perempuan dan laki-laki, tapi tenang saja, karena mereka tetap dipisahkan oleh sekat pembatas yang memisahkan murid laki-laki dan murid perempuan.

Aminah tidur dengan lelap malam itu, walaupun angin malam terus menerjang tubuhnya. Udara yang cukup dingin membuat Aminah berkali-kali mengeratkan jaketnya agar tetap bisa merasa hangat. Bahkan selimut tipis yang ia pakai juga tidak mampu menghalau dinginnya malam di dataran tinggi ini.

***

Insan Terbaik di Waktu TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang