Tiga tahun kemudian.
Euforia acara wisuda juga datang pada Aminah. Hari ini bagai pesta besar dalam pendidikannya. Setelah empat tahun berkutat dengan dunia perkuliahan dan berbagai organisasi, akhirnya ia berhasil menjadi sarjana dengan predikat cumlaude.
Beribu hal telah ia lewati, drama pertemanan yang keras, mata kuliah yang sulit, hingga sakit hati yang ia bawa dari MA Bakti Negeri menjadikannya lebih tangguh. Terlebih ketika semuanya harus ia hadapi sendiri.
Binar matanya berubah jadi berembun ketika namanya dipanggil ke atas panggung bersama kedua orang tuanya. Ia bangga telah berhasil menyelesaikan studinya. Namun, ada yang membuatnya lebih bangga, kini ia telah berhasil menjadi perempuan mandiri, yang selama empat tahun ini tidak bergantung kepada orang tuanya, atau merengek kepada kakaknya. Semua pahit dan getirnya hidup di perantauan ia teguk sendiri. Kadang, ia sedih juga membayangkan banyak hal yang telah dilaluinya.
“Aminah!” Sapa Faridah.
“Eh, Ummi.” Sahut Aminah seraya menyalami tangan wanita itu.
“Barakallah sayang, selamat ya!”
“Masya Allah, terima kasih Ummi. Ummi cantik banget hari ini. Eh, Abi dimana? Terus Dik Salsa gak ikut?” Tanya Aminah setelah menyadari Salman hanya bersama dengan ibunya.
“Tadinya ikut, tapi Abi pulang duluan karena ada urusan. Kalo Salsa tadi lagi jajan.” Jawab Faridah.
Setelah itu Faridah mendatangi Salma dan Dodi, setelah berbincang banyak akhirnya mereka menyepakati untuk makan siang bersama sepulang dari acara ini.
***
“Bu, Pak. Aminah ‘kan sudah lulus kuliah, Salman juga sudah dapat pekerjaan bagus sebelum lulus kuliah, mereka juga sudah sama-sama dewasa. Bagaimana kalau kita jodohkan saja?” Ucap Faridah to the point.
Dodi dan Salma sama-sama terkejut dengan penuturan Faridah. Salma langsung mengambil gelas yang ada di hadapannya dan segera minum untuk menetralkan kerongkongannya yang mendadak sakit. Ya, dua keluarga itu kini sedang berada di sebuah restoran untuk makan bersama pasca acara.
Aminah juga langsung melotot mendengar pertanyaan Faridah. Air yang baru saja ia minum seolah langsung keluar melalui hidungnya. Ia melirik ke arah Bundanya, lalu menyipitkan matanya. Kemudian Salma menggelengkan kepalanya ke kanan sebagai balasan.
“Begini, Bu Faridah. Apa tidak terlalu cepat? Aminah ingin pulang dulu ke Kalimantan dan ingin bekerja di sana.” Ucap Salma sopan.
“Oh, enggak kok, Bu. Salman sudah dapat pekerjaan bagus. Lagi pula setelah menikah nanti Aminah gak perlu kerja.” Ucap Faridah percaya diri.
Aminah benar-benar kehilangan selera makan. Ia tidak menyangka acara makan siang ini mendadak berubah jadi acara perjodohan. Ia melepas sendok dan garpu ditangannya hingga mengeluarkan bunyi dentingan.
“Ummi, Aminah minta maaf kalau Aminah gak sopan. Tapi Aminah gak mau menikah secepat ini. maaf, kehendak Ummi hari ini Aminah tolak. Masalah jodoh, biar menjadi urusan Tuhan. Sekarang Aminah cuma mau mengejar mimpi Aminah. Salman laki-laki yang baik, dia akan dapat orang yang jauh lebih baik daripada Aminah. Aminah pamit, Assalamu’alaikum..” Ucap Aminah tegas.
Aminah keluar dari restoran itu dengan kebaya abu, ia berjalan cepat meninggalkan kedua orang tuanya bersama keluarga Salman di sana. Ia segera masuk kedalam taksi dan menuju rumahnya. Keinginan Ibunda Salman itu malah terkesan seperti paksaan baginya. Lagi pula, ada satu nama yang masih dinantinya.
Tiga tahun ini, selalu saja itu yang Faridah katakan padanya. Setiap hari selalu saja membanggakan anaknya dan berharap Aminah mau menikah dengan Salman. Aminah muak sekali dengan pembahasan yang selalu itu-itu saja. Sebenarnya Aminah juga tidak mencintai Salman, hanya saja Salman yang kadang berlebihan seolah Aminah jatuh cinta padanya.
Pernah sekali Aminah ingin berhenti mengajar anak-anak mengaji di tempat Faridah, hal itu tidak lain karena permintaan Faridah yang seolah paksaan itu. Namun anak-anak terus saja mencarinya untuk dibacakan dongeng para nabi. Aminah jadi tidak tega mendengar perihal itu. terlebih yang meminta agar Aminah kembali adalah Abi yang sangat Aminah hormati.
“Kak Wildan, hiks.” Gumamnya sambil meluruhkan semua hujan dimatanya. Ia berjongkok di kamarnya sambil mendekap bingkai foto yang dulu ia tinggal di Kalimantan.
Aminah mengusap air matanya dengan kasar. Lalu bangkit dan mengeluarkan sebuah koper. Seluruh isi lemari dikeluarkannya, lantas dimasukkan ke dalam koper.
Malam itu juga, ia dan kedua orang tuanya terbang kembali ke Banjarmasin, menikmati hidup dalam balutan kampung halaman yang selalu mengundang rindu.
***
Aminah menatap lagi kamar yang telah lama ditinggalkannya. Lalu mendatangi tiap ornamen yang terpajang disana. Tak ada setitik debu pun singgah, kamar ini pasti sering dikunjungi.
Setelah membuka koper, ia berjongkok di depan nakas. Ia meletakkan kembali apa yang hilang dari sana. Sebuah bingkai berisi foto berlatar belakang Natuna.
“Tempatmu di sini.” Ucap Aminah dengan air mata berurai.
Lima tahun ini, Aminah tidak pernah mendengar kabar apapun dari Wildan. nomor teleponnya pun tidak pernah aktif. Harusnya Wildan sudah lulus dari Akademi Militer satu tahun yan lalu, kemana dia ditempatkan pun Aminah tidak tahu. Tidak ada yang bisa Aminah lakukan untuk mendapatkan kabar.
Whatsapp, instagram, dan semua sosial medianya pun seolah tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kehidupan.“Kita akan dipertemukan dengan insan terbaik di waktu terbaik.” Gumamnya menyemangati diri.
Entah kenapa Aminah senang sekali mengatakan hal itu, seolah sudah mengukir didalam hati. Kalimat indah itu ia dengar dari lelaki hebat yang kini entah bagaimana kondisinya. Lima tahun ini, kalimat itu bagai sebuah semangat untuknya.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/356601079-288-k113973.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Insan Terbaik di Waktu Terbaik
ChickLitCerita ini sudah terbit ya, jadi untuk kamu yg mau bertanya perihal buku bisa langsung chat aku:) vote and comment guys! Aminah Wardhani, gadis cantik dengan sifat manja luar biasa dan tingkah unik di atas rata-rata ini tengah jatuh cinta dengan seo...