Mengajar Bersama

1 1 0
                                    

Hari ini, Aminah datang ke sekolah dengan terlambat. Kali ini datang dengan celana kain panjang dan kemeja berwarna kuning cerah, lengkap dengan hijab berwarna hitam. Ia tampak kesulitan membawa kardus besar berisi sabun cuci tangan dan puluhan kotak sikat gigi, lengkap dengan pasta gigi.

Selain itu, ia juga tengah menjinjing papan tulis kecil di tangannya. Setengah berlari di atas, kemudian berteriak-teriak minta tolong kepada Wanda untuk membantunya membawa kardus ke bawah.

“Sekalian bawa ini ya, Wan. Aku mau balik ke atas dulu buat ngambil tas sama vitamin buat adik-adik itu.” Ucap Aminah setelah Wanda mengambil alih kardus besar dan papan tulis itu.

Aminah sudah akan berlari kencang, tapi kakinya tidak sengaja tersandung akar. Alhasil ia terbang bebas sekali lagi, kemudian jatuh terjerembab diatas tanah yang keras.

Wildan yang tengah membantu warga mengangkut papan untuk sekolah itu segera menghentikan aktivitasnya, dan berlari mendekati Aminah. Dengan segera ia membantu Aminah bangun. Ia segera melepas sneakers putih yang dipakai Aminah, kemudian memeriksa pergelangan kaki Aminah yang sepertinya terkilir.

“Tahan sebentar, Dik. Biar aku panggil Pak Arif.” Titah Wildan.

Pak Arif kemudian memutar pelan pergelangan kaki Aminah. Aminah sampai menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Hingga akhirnya, krekkkk...

“Sudah selesai.” Ujar Pak Arif.

Aminah segera dipapah untuk menuju tenda dan beristirahat disana. Tapi Aminah menolak dan memilih duduk bersama anak-anak saja, alasannya karena takut sendirian.

Ia kemudian dibantu teman-temannya menuruni tangga dari tanah itu, lalu duduk di sebuah kursi kecil yang disediakan. Hari itu, tim laki-laki juga tidak bisa bekerja karena ketersediaan bahan bangunan yang habis, terpaksa harus menunggu sampai sore hingga para tukang ojek yang disuruh itu kembali membawakan mereka bahan-bahan yang memadai.

Oleh karena itulah hari ini Wildan, Ahmad, dan teman-teman lainnya ikut mengajar bersama Aminah. Aminah yang masih duduk di bangku itu mulai merasa bosan karena tidak bisa beraktivitas dengan leluasa seperti biasa. Ia kemudian memilih untuk mengambil foto dari kamera yang hampir selalu tergantung di lehernya. Ia membidik ke arah teman laki-lakinya yang sedang sibuk bermain gitar dan bernyanyi bersama Iwan, anak yang kemarin bersuara merdu.

Cekrekk... satu foto candid berhasil Aminah dapatkan. Ia tersenyum setelah memeriksa hasil jepretannya yang begitu cantik, dengan menampilkan wajah-wajah ceria yang sedang asik bersenandung ria.

Namun, baru saja ia ingin mengambil jepretan baru. Lensa kameranya malah menangkap sosok laki-laki yang berdiri sambil mengajari anak-anak desa itu berhitung. Aminah menurunkan kameranya, ia ingin melihat peristiwa itu dengan matanya sendiri.

Ia kemudian membalikkan badan, mencoba menulis sesuatu di papan tulis kecil yang kini disandarkan di sebuah bangku. Ia mencoba menulis beberapa soal di papan tulis dengan angka-angka sederhana.

“Siapa yang bisa jawab?” Tanya Wildan dengan ramah.

“Saya, Kak.” Ucap gadis kecil bernama Aisyah yang segera maju ke depan.

Aisyah dengan gesit menulis jawabannya di papan tulis.

“Bagus, Aisyah. Terima kasih.” Ucap Wildan.

Tak lama kemudian, beberapa tukang ojek datang membawa beberapa perlengkapan yang dibutuhkan. Ternyata lebih cepat dari yang dibayangkan. Tapi tidak apa-apa, dengan begitu mereka akan jauh lebih cepat menyelesaikan pembangunan sekolah itu.

“Adik-adik, belajarnya lanjut dengan Kak Aminah, ya. Karena kakak harus menyelesaikan pekerjaan di sana.” Ucap Wildan sambil menunjuk ke atas tebing.

Setelah itu, Nisa dan Wanda mengambil alih kegiatan.

***

Insan Terbaik di Waktu TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang