Malam itu, selepas shalat isya, Aminah kembali duduk seorang diri di atas bangku yang terbuat dari kayu. Udara dingin berusaha keras dihalaunya dengan jaket tebal dan sebuah kupluk dari wol. Semilir angin yang berhembus lembut malam itu membuat Aminah sedikit bergidik karena kedinginan. Sesekali ia melihat ke arah tenda di belakangnya, tampak teman-temannya sedang asyik bercerita, sedangkan tim laki-laki nampaknya sudah tidur berjamaah karena kelelahan membangun sekolah.
Aminah melirik jam tangan kecil di tangan kirinya, jarumnya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sebenarnya setelah menunaikan shalat isya, Aminah langsung berbaring dan mencoba untuk tidur. Tapi entah kenapa matanya tidak bisa terpejam, kepalanya terasa pusing, dan badannya juga terasa tidak enak.
Aminah yang kini sedang ada di luar tenda menghirup napas dalam-dalam. Dalam hatinya ia mengucap syukur karena Allah telah memberikan kepadanya kesempatan untuk bisa menginjakkan kaki ke tempat ini. Tempat dimana ia merasa bahwa hidupnya menjadi lebih berarti. Tapi sayang, tiga hari lagi misi ini berakhir. Mereka akan kembali ke kota tempat mereka tinggal.
“Aminah!” Seru Aina tiba-tiba, tanpa aba-aba ia langsung duduk di samping Aminah.
Aminah sedikit kaget, sebenarnya ia malas sekali berhadapan dengan orang ini. Kadang-kadang ramah, kadang-kadang marah. Sangat tidak jelas sekali.
“Oh, Kak Aina. Belum tidur, Kak?” Tanya Aminah pelan.
“Belum, aku ke sini karena mau bicara sama kamu. Maaf atas kejadian hari itu.” Ucap Aina dengan tulus.
“Gak apa-apa, Kak. Tapi aku gak pacaran sama Kak Wildan.” Ucap Aminah.
“Ah, begitu. Besok tugas kami sudah selesai. Besok aku akan pulang ke Bandung. Aku titip Wildan sama kamu, ya.” Ucap Aina dengan tatapan lurus ke depan.
“Kak Wildan bisa jaga dirinya sendiri, Kak.” Ucap Aminah dengan setengah tertawa.
“Ah, iya, kamu benar Aminah. Tidak seharusnya aku mengkhawatirkan seseorang yang gagah dan kuat seperti dia.” Ucap Aina geleng-geleng kepala menyadari kekonyolannya.
“Kamu tahu, Aminah? Aku selalu merindukan masa di mana kami berjuang bersama waktu ikut pramuka. Berkemah kesana kemari mencari teman dan pengalaman baru. Aku ini sahabatnya Wildan, aku benar-benar tahu seluk beluk Wildan. Dia seorang pekerja keras, empatinya tinggi, dan begitu rendah hati. Hanya saja tertutup oleh kesan dinginnya. Kalau banyak perempuan yang suka padanya, itu tidak salah, ‘kan ?” Ucap Aina setengah bercerita.
Aminah tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Ia merasa perkataan Aina benar. Lagi pula ia adalah salah satu perempuan yang sangat sangat sangat menyukai Wildan. Membayangkan kebaikannya saja bisa membuat Aminah senyum-senyum sendiri. Ah, benar-benar lemah sekali.
Di sisi lain, Aina juga menatap lurus ke depan. Pikirannya melayang kemana-mana. Hatinya juga masih berdesir ketika bertemu dengan Wildan setiap harinya. Hanya saja situasinya kali ini berbeda. Sesekali ia menyesali keberaniannya mengungkapkan perasaan pada Wildan di sebuah perkemahan akbar di Jawa Barat tahun lalu. Jika saja hari itu ia masih bisa menahan perasaan, ia dan Wildan pasti masih hangat seperti dulu. Aina juga sering merutuki dirinya, jika saja ia tidak marah atas penolakan dari Wildan, Wildan hari ini pasti akan tetap bahagia menemuinya.
Andai waktu bisa diulang, Aina tidak apa-apa jika harus menahan perasaan cinta yang selalu dianggap teman, asalkan tidak ada yang lari menghindar lalu saling berjauhan.
“Oh, iya. Besok pagi kita semua akan ke pantai. Kata pembina aku sih gitu. Sekalian refreshing sama anak-anak desa, terus sama tim Bakti Negeri juga. Katanya mau silaturrahmi sekalian perpisahan, soalnya besok sore tim aku udah mau balik.” Ucap Aina dengan semangat.
“Sungguh?” Tanya Aminah dengan semangat yang sama.
“Iya, makanya kamu istirahat dulu sana. Soalnya besok kita mau main di pantai sama anak-anak.” Tutur Aina.
“Siap, Kak Aina. Kakak juga jangan lupa istirahat.” Ucap Aminah lembut.
Setelah itu mereka sama-sama pergi meninggalkan bangku kayu itu. mereka masuk ke dalam tenda masing-masing untuk beristirahat.
Sejenak Aina berhenti tepat di depan pintu tenda. Melirik sekilas ke arah Aminah yang masih sibuk bercengkerama dengan teman-teman perempuannya di pintu tenda yang terbuka. Dipandanginya wajah Aminah dengan lebih detil, kemudian tersenyum kagum.
“Wildan selalu memilih yang terbaik.” Gumam Aina dengan mata berkaca, seberkas kemudian ia melangkah masuk.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/356601079-288-k113973.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Insan Terbaik di Waktu Terbaik
ChickLitCerita ini sudah terbit ya, jadi untuk kamu yg mau bertanya perihal buku bisa langsung chat aku:) vote and comment guys! Aminah Wardhani, gadis cantik dengan sifat manja luar biasa dan tingkah unik di atas rata-rata ini tengah jatuh cinta dengan seo...