Pengungkapan

1 0 0
                                    

Hari ini, Aminah berangkat kajian dengan semangat. Wajahnya nampak berseri tanpa meninggalkan seberkas rasa lelah di wajahnya yang sudah seharian ini berkutat dengan pekerjaan. Apalagi setelah lamaran kemarin, rasanya senyum Aminah enggan pudar.

Rumah Ustadzah Risa tidak begitu jauh dari rumah Aminah, berjalan kaki pun bisa ditempuh dalam beberapa menit saja. Tapi kali ini ia memilih untuk pergi dengan menggunakan sepeda berwarna pink miliknya yang sudah lama sekali berada di gudang. Ia pergi dengan gamis berwarna biru langit dengan hijab syar’i yang menjuntai sampai ke lutut dengan warna biru gelap.

Dengan wajah cengar-cengir kegirangan ia mengayuh pelan sepedanya, mencoba menikmati suasana sore hari. Ia tersenyum kala melihat halaman masjid yang sudah penuh dengan anak-anak yang juga akan mengaji di sana. Ia juga melihat bapak-bapak yang sedang bekerja sama membersihkan saluran air. Sesekali ia tersenyum lebar sambil menyapa para tetangganya itu dengan ramah.

Hingga beberapa saat kemudian ia tiba dirumah Ustadzah Risa, dengan cepat ia memarkirkan sepedanya, kemudian bergegas masuk ke rumah yang dilengkapi dengan aula itu.

“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Ucap Aminah memberi salam, tapi matanya mendelik ke kanan kiri mencari keberadaan Katrina.

Ternyata Katrina sudah duduk di pojok dekat jendela. Otomatis Aminah melangkahkan kaki mendekati Katrina yang juga sudah memberi isyarat agar Aminah duduk di sampingnya.

“Aminah, pulang dari sini sibuk, gak?” Tanya Katrina setelah Aminah duduk di sampingnya.

“Enggak, kok. Mau ke rumah?” Terka Aminah.

Katrina segera mengangguk semangat.

“Oh, ya sudah. Aku juga bawa sepeda, bisa pulang bareng.” Jawab Aminah tak kalah semangat.

Obrolan mereka pun akhirnya terhenti kala Ustadzah Risa memberi salam pertanda kajian akan segera dimulai.

***

“Jadi gini Aminah, aku tuh mau cerita ke kamu tentang sesuatu.” Ucap Katrina memulai pembicaraan.

“Aku juga mau kasih tahu kamu sesuatu.” Jawab Aminah.

“Kamu duluan.” Ujar Katrina.

“Jadi bulan depan aku nikah. Kemarin Kak Wildan ke rumah.” Ujar Aminah histeris.

Katrina langsung terbelalak tanpa aba-aba.

“Wildan yang zaman kamu SMA?” Tanya Katrina.

Aminah hanya senyum-senyum tidak jelas.

“Oh,iya. Jadi mau cerita apa?” Tanya Aminah disela aktivitasnya menjilati es krim yang ada di tangannya.

"Ini tentang Wildan.” Jawab Katrina singkat, padat, dan membuat Aminah terperanjat.

“Eh,eh, kenapa?” Tanya Aminah dengan mata terbelalak.

“Sebenarnya Wildan itu sahabat aku waktu aku masih tinggal di Bandung.” Terang Katrina.

“WHATTTTT??” Pekik Aminah dengan kencang saking syok nya mendengar penuturan Katrina.

“Kamu harus jelasin seeee..rinci-rincinya, gak boleh ada yang ketinggalan.” Ucap Aminah berlagak seolah sedang memarahi Katrina.

“Oke, jadi dulu aku aktif di pramuka. Pertama kali aku ketemu Wildan itu di sebuah acara perkemahan gitu. Awalnya aku juga naksir sih sama Wildan, soalnya orangnya berwibawa banget, hehehe.” Terang Katrina.

Hal itu membuat Aminah menatapnya dengan wajah datar karena tahu Katrina juga pernah suka pada Wildan.

“Waktu itu aku belum masuk Islam. Tapi aku jadi akrab sama orang yang katanya sahabatnya Wildan, namanya Aina...”

“WHATTTT? Aina yang ada tahi lalat di jidat itu, ‘kan?” Potong Aminah.

“Nah iya betul banget tuh. Jadi awalnya aku akrab sama Aina, sampai akhirnya aku tau kalau Aina dan Wildan itu satu sekolah. Terus singkat cerita nih, aku dan mama aku memutuskan buat masuk Islam, karena aku punya temen deket yang agama nya Islam dan sekolah di Madrasah, aku memutuskan buat pindah ke Ciamis dan sekolah di Madrasah yang sama dengan Wildan dan Aina.” Jelas Katrina.

Aminah hanya menganga mendengar penjelasan Katrina. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ‘dunia hanya selebar daun kelor’ itu fakta.

“Aina ini udah memendam rasa ke Wildan itu lama banget. Sampai suatu saat pas kita lagi kemah akbar, Aina cerita ke aku kalau dia suka sama Wildan, tapi enggak berani bilang dengan alasan takut persahabatannya akan hancur. Waktu itu keadaan membuat aku jadi licik, karena aku juga suka sama Wildan dan gak mau ada saingan. Akhirnya aku panas-panasin si Aina untuk mengungkapkan perasaannya saat itu juga, waktu itu aku bilang kalau kalian jadian pasti berkesan, soalnya lagi di perkemahan yang benar-benar jadi dunia kita waktu itu..” Ujar Katrina bercerita panjang lebar membuat Aminah makin khusyuk mendengarkan.

“Aina terpancing juga tuh akhirnya, dan bilang ke Wildan kalo dia suka..” Terang Katrina.

“Ini gila sih.” Sahut Aminah sambil menutup mulutnya seakan takjub luar biasa dengan cerita Katrina.

“Ya kamu ‘kan tahu sendiri Wildan orangnya gimana. Jadi pas Aina bilang kalau dia suka, Wildan cuman diem aja. Sampai akhirnya Wildan jawab kalau dia gak suka sama Aina, dia hanya menganggap Aina sebagai teman, gak lebih..” Kata Katrina.

“Nah, yang jadi masalah itu, Aina ini gak terima kalau cintanya bertepuk sebelah tangan. Waktu itu dia marah besar, termasuk marah ke aku. Jadi waktu itu dia bikin masalah di perkemahan, pokoknya tim dari sekolah kita itu jadi kacau. Karena Wildan yang jadi ketua tim, otomatis Wildan paling malu dan paling disalahkan atas semua kekacauan itu. makanya sekarang Wildan udah cuek dan gak suka lagi deket-deket si Aina, begituuu..” Ucap Katrina.

“Terus sekarang kamu masih menjalin silaturrahmi gak sih sama Aina?” Tanya Aminah.

“Hmmm.. Gimana ya? Yang dulu sedekat nadi gak tentu harus selamanya begitu, ‘kan? Aku sih gak menyalahkan Aina karena benci sama aku, sedikit banyaknya aku juga salah sih waktu itu. Waktu itu aku tau kalau Wildan lagi sibuk banget dan pastinya gak mau diganggu apalagi kalau yang dibahas itu gak penting. Apalagi sejak awal, Wildan gak terlalu suka sama Aina. So, ini kesempatan emas banget dong buat bikin mereka musuhan, terus aku bisa deketin Wildan tanpa ada saingan.” Ucap Katrina sambil menahan tawa bersalahnya.

“Okay. Satu pertanyaan lagi.” Ucap Aminah.

“Dengan senang hati, Tuan putri.” Jawab Katrina.

“Sekarang kamu masih suka sama Kak Wildan?” Tanya Aminah membuat Katrina tersenyum.

“Rasa itu akan selalu sama, Aminah. Aku bohong kalau aku bilang aku udah gak suka sama Wildan. Juga munafik kalau aku bilang keadaanku lebih baik dari Aina. Sebenarnya posisi kami sama, sama-sama terjerat dalam masa lalu, gak ada yang lebih baik.” Ucap Katrina dengan senyum tulus.

Aminah hanya terdiam, rasanya sekarang ia terjepit di antara berbagai kenyataan yang hadir. Mendengar penuturan Katrina membuatnya juga merasa kasihan, bagaimana bisa Katrina begitu tangguh menghadapi cinta masa lalu yang membelenggu. Sedangkan sebentar lagi, Aminah lah yang akan jadi pemenangnya.

“Setiap aku khawatir akan kehilangan Wildan, aku selalu mengucap ‘cinta Allah itu pasti’, maka aku akan lebih tenang. Karena mengharap cinta manusia itu menyakitkan, sedangkan mencinta Allah menenangkan. Allah tidak akan membuat cintamu bertepuk sebelah tangan, ia akan membalas cintamu dengan cinta-Nya yang begitu luar biasa.” Ucap Katrina.

“Cinta Allah itu pasti.” Gumam Aminah di dalam hati.

“Tapi Aminah, sebelum kamu menikah, apa boleh aku menemui Wildan?” Tanya Katrina dengan hati-hati.

“Tentu, nanti aku bilang ke Kak Wildan, ya.” Jawab Aminah.

***

Insan Terbaik di Waktu TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang