Pengakuan tak terduga dari Elda, membuat Alkana terdiam bisu. Di tempatnya berdiri, Alkana dapat melihat begitu jelas guratan kegelisahan dari wajah Elda.
"Ini rencana temen-temen lo? Mereka maksa lo buat ngaku-ngaku suka--"
"Dari SMP, Al, sejak kita sekelas," sergah Elda.
Terlalu gemetar hingga tanpa sadar air matanya luluh lantah.
"Gue gak pernah confess karena gue tau lo gak pernah suka sama gue. Gue selalu tungguin lo putus, Al, sampai akhirnya lo punya pacar baru dan itu bukan gue. Lo selalu gonta-ganti cewek, tapi gak pernah sekalipun lo lirik gue. Padahal gue cantik kan, Al? Tapi kenapa? Kenapa gak pernah sekalipun lo lirik gue?"
Alkana terdiam, tak bisa berkomentar apapun. Dirinya masih membisu atas pengakuan pilu gadis itu.
"Sejak kapan, El?" tanya Alkana.
"Enam tahun lalu."
Sial.
Tiga tahun mereka satu kelas, namun tak pernah sedikit pun mereka berkomunikasi seintens ini.
"Oke, gue ngerti."
Alkana berniat melangkah pergi, akan tetapi Elda dengan gesit menahannya.
"Lo gak mau kasih gue kejelasan dulu? Gue pengen dapat titik terang," tuntut Elda.
"Tunggu gue sukses, El. Cewek sebaik lo gak pantes dapat gue versi buruk gini."
Wajah cemas Elda seketika berubah menjadi bersemu.
"Al, lo kasih gue lampu hijau?"
Sayangnya, Alkana justru menggeleng.
"Lo bebas pilih siapapun orang yang pantes buat lo, El. Tapi, nanti kalau gue udah sukses dan rasa suka lo masih sama, lo bisa temuin gue."
Kali ini Elda membiarkan Alkana melangkah mendahuluinya. Jawaban Alkana berhasil membuatnya menaruh harapan besar pada cowok itu. Buru-buru Elda menyusul Alkana, kembali pada dua kubu yang sedang berkumpul.
"Salah paham. Elda udah cerita," kata Alkana.
Atma mengangguk, matanya menatap Elda yabg tersenyum kecil. Ia beralih menatap Kayden.
"Berarti masalah clear? Ada yang keberatan?" tanya Atma.
"Clear bukan cuma di sini, tapi di luar juga. Kalau masalah ini ditutup, berarti kalian udah gak akan ungkit-ungkit ini sampai dendam pribadi, paham?" ujar Leon pada tujuh anak sekolahnya.
Delon menoleh pada Alkana. "Beneran clear?"
Alkana mengangguk. "Iya, kemarin Elda cuma mau ketemu gue karena hal penting."
Ladara diam-diam mencolek lengan Ray. Gadis itu membisikkan sesuatu di telinga Ray.
"Kayaknya ada kabar baik, deh. Tuh, si Elda mesem-mesem sendiri," bisik Ladara.
Ray tersenyum kecil, ia mengikuti arah pandang Ladara yang tertuju pada Elda.
Temu atas kesalahpahaman pun berakhir ketika Atma memutuskan bahwa ini telah berakhir. Masalah sudah selesai, dari Alkana dan Elda.
****
Bunyi pintu apartemen terbuka, mengiringi langkah Ray dan Ladara memasuki apartemen Ray. Ladara meletakkan tasnya di sofa ruang tamu, sementara Ray, dia bergegas menuju kamarnya.
Ladara merebahkan tubuhnya di sofa empuk berwana coklat itu. Tubuhnya sangat lelah menghadapi hari-hari yang baginya 24 jam saja tidak cukup.
"Coba kerjain dulu soal-soal yang dari guru matematika," ujar Ray, menghampiri Ladara. Cowok itu tampak meletakkan laptop dan ponselnya di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beauty Of Violins
Teen FictionREBORN PYTHAGORAS Rayyan Afkara, biasa dipanggil Ray. Dia laki-laki pintar, tampan, dan mapan. Hidupnya tertata rapi, namun sangat monoton. Hingga akhirnya Ray menemukan lembar ulangan Ladara yang mendapatkan nilai buruk. Ladara Chesilia, gadis IPA...