17 - Putus

882 79 17
                                    

Tetesan air hujan sisa semalam masih terlihat di beberapa tempat. Pada dedaunan yang masih basah, genangan air di tengah lapangan, serta lantai-lantai koridor pun terlihat basah dan licin.

Udara pagi menyapa begitu dinginnya membuat para siswa-siswi harus mengenakan jaket demi kesehatan mereka. Bahkan tak sedikit yang terserang flu akibat cuaca tak menentu.

"Udah gue bilang, Dar! Fanny tuh manipulatif parah. Okelah, dia emang pinter dari segi otak, bahkan saking pinternya dia pakai cara halus buat hancurin hubungan lo sama Ray," papar Elda.

"Kejadian kemarin gak bakal jadi kalau Ray juga gak kasih akses, El."

Ladara memasukkan tangannya pada saku jaket. Pandangannya menyapu seisi kantin.

"Gak mungkin ada tamu masuk kalau tuan rumahnya gak buka pintu," kata Ladara.

"Kalau maling?"

Elda menepuk bibirnya beberapa kali setelah melontarkan kalimat itu. Terlebih ketika Ladara menatapnya tajam.

"Tapi emang bisa kan, Dar? Orang jahat tetep bisa masuk walaupun gak dibukain pintu."

"Suka-suka lo."

Kedua gadis itu memesan dua mangkuk bakso serta teh hangat untuk sarapan. Di saat udara dingin terasa menembus hingga ke tulang-tulang, hal yang paling nyaman dilakukan salah satunya makan bakso.

Usai memesan, mereka duduk di bangku paling pojok.

"Jadi gimana? Lo mau putusin Ray?"

"Bingung, El," gumam Ladara.

Ladara menopang dagunya dengan tangan kanan. Ia terlihat menerawang ke depan, seolah keputusan pada hubungannya perlu dipikirkan matang-matang.

"Gue pernah denger Ray bilang yang pinter cocok sama pinter, padahal posisi itu gue sama Ray pacaran. Emang dia gak sadar kalau gue ini gak pinter?"

"Mungkin Ray bilang gitu biar lo termotivasi."

"Gak, Ray bilang gitu ke Fanny. Gue gak ada di situ karena gue cuma nguping."

Elda menghela napasnya pelan. Dia bingung harus menanggapi apa, sebab tindakan Ray yang Ladara ceritakan sungguh di luar ekspektasinya. Selama ini Ray tergambar sebagai sosok yang sempurna dan baik hati, namun kini lenyap begitu saja.

"Itu Fanny," tunjuk Elda pada seorang gadis.

Terlihat Fanny memasuki kantin bersama seorang laki-laki. Hati Ladara bergemuruh melihat sosok itu. Di saat hubungannya di ujung tanduk, Ray justru bertindak seolah semuanya baik-baik saja.

Ladara melirik cup teh hangatnya, lalu beralih menatap Ray yang duduk bersama Aldev dan Geo. Di bangku mereka juga ada Fanny hingga memancing emosi Ladara. Tanpa berpikir dua kali, Ladara langsung melempar cup teh hangatnya kepada Ray, tepat mengenai cowok itu.

"Dar!" tegur Elda ikut kaget.

Sementara Ray, spontan berdiri, menatap Ladara yang juga tengah menatapnya. Ray tahu apa maksud Ladara, Ray juga sadar bahwa keadaannya sekarang yang membuat Ladara seperti ini.

"Ray, lo gapapa?" tanya Fanny.

Tak ada yang berani berkomentar. Semuanya membisu melihat pasangan fenomenal itu berkelahi.

"Gue benci banget, El," lirih Ladara.

Usai mengatakan hal itu, gadis itu berjalan cepat keluar kantin. Tindakannya tadi dia lakukan sepenuh hati, tak mungkin dia sesali.

Sedangkan Ray, langsung menyusul Ladara yang sudah berlari menaiki tangga. Baju seragamnya sudah basah, dipenuhi bercak kecoklatan hingga membuat beberapa siswa di koridor bertanya-tanya.

"Ladara," panggil Ray.

"Raa.."

Langkah lebar Ray, mampu menyusul langkah Ladara. Cowok itu gesit menahan tangan kekasihnya itu. Ray menarik Ladara menuju rooftop sekolah supaya leluasa berbicara.

"Maaf, Ra," ucap Ray pelan.

Ladara berusaha menarik tangannya dari cekalan Ray. Hatinya tidak sanggup jika harus membicarakan ini sekarang. Ladara takut jika amarahnya semakin meledak dan membuat hubungannya rusak.

Namun, jika dipikir ulang, hubungan mereka memang sudah rusak sejak awal.

"Lepas Ray," pinta Ladara.

"Kita bicara dulu."

"Gue gak mau. Lepasin gue."

"Ra ..." Ray menatap Ladara tak percaya. Gaya bahasa Ladara membuat hatinya tertikam.

Ladara mengalihkan pandangan ke arah atap-atap gedung yang terlihat dari rooftop.

"Ayo putus, Ray."

Jantung Ray berdegup kencang, lidahnya kelu hanya untuk berbicara pada Ladara. Yang mampu dia lakukan hanya menggeleng pelan.

Mimpi buruk Ray, kini sudah menjadi kenyataan. Ray benar-benar di hadapkan pada kenyataan pahit.

"Lihat aku, Ra," ujar Ray teramat pelan.

"Ra," panggil Ray karena Ladara enggan menatapnya.

Diam-diam, Ladara meremas rok seragamnya. Ia berusaha memantapkan keputusannya. Putus adalah jalan terbaik baginya. Lantas, Ladara menatap Ray.

"Ayo putus."

"Kenapa?" tanya Ray, tanpa suara. Tenggorokannya tercekat, tak mampu bersuara.

"Selama ini cuma gue yang anggap kita punya hubungan. Gimana sama lo? Gue emang gak sepinter Fanny, bahkan untuk dibilang pinter aja gue gak layak. Sedangkan lo, lo butuh yang pinter kan Ray? Cewek pinter yang cocok sama lo? Tapi walaupun gue gak pinter, gue masih punya perasaan. Gue bisa cemburu, gue bisa sakit hati kalau lo terus-terusan deket sama cewek lain..."

"Gue gak masalah kalau lo kerkom sama Fanny, tapi makin ke sini kedekatan lo sama Fanny udah lebih dari kerja kelompok Ray..."

"Kelompok lo empat orang, kenapa cuma lo sama Fanny yang interaksi? Gue sakit lo gak tau, sedangkan Fanny sakit lo setia nemenin dia seharian bahkan sampai bolos sekolah. Malam-malam lo video call sama Fanny, berdua doang katanya bahas materi, bahkan ..."

Tanpa sadar air mata Ladara mengalir membasahi pipi. Ladara menyekanya kasar. Matanya beralih menatap langit mendung. Ada satu hal yang tidak berani Ladara lontarkan, namun harus dilontarkan sekarang juga.

"Bahkan lo ciuman sama Fanny," lirihnya, tak sanggup mengingat kembali kejadian malam itu.

"Lo suka sama Fanny?"

Ray menggeleng kan kepalanya cepat. Ray tidak menganggap Fanny lebih dari teman.

"Perasaan lo buat gue cuma omong kosong, Ray. Semuanya palsu."

Ray memeluk erat Ladara ke dalam dekapannya. Ray menggigit bibirnya yang bergetar, tak ada yang bisa dia ucapkan, hanya sebuah pelukan untuk mempertahankan Ladara.

"Maaf, Ra," bisik Ray.

"Aku terlalu gak enak hati buat tolak semua permintaan tolong Fanny sampai-sampai aku gak sadar udah bikin kamu kecewa."

Ladara mendorong Ray menjauh.

"Gue kecewa sama diri gue sendiri karena udah jatuh cinta sama cowok kayak lo."

Tatapan Ray melemah, ucapan Ladara sungguh menohok hatinya. Kalimat itu lebih menyakitkan dari ajakan putus Ladara tadi. Bahkan berhasil membuat mata Ray memburam. Jika dia berkedip sekali saja, sudah dipastikan akan ada linangan air mata yang jatuh.

"Kasih aku satu kesempatan, Ra," pinta Ray memohon.

Ray menengadahkan kepalanya, mencoba mengambil napas dalam-dalam supaya dirinya rileks.

"Tolong Ra, one more chance."

Ladara melepas paksa tangan Ray yang terus mencekalnya.

"Sorry, Ray. Kita putus."

****

The Beauty Of ViolinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang