Semilir angin malam sama sekali tidak mengusik Ray. Embusan ya yang begitu dingin seolah gagal mengusir Ray dari tepi jembatan. Cowok itu mengepulkan asap rokok dari bibirnya, matanya masih setia menatap bulam sabit di atas sana diiringi lantunan merdu dari gemercik air di bawah jembatan.
Sudah sekitar 4 jam Ray bertahan di sini, mencoba mencari ketenangan untuk hatinya yang gelisah meski tak kunjung dapat. Ucapan Ladara tadi siang benar-benar menghancurkan hatinya.
Fanny tersenyum simpul, bukan menjawab secara lisan namun gadis itu justru mendekatkan diri kepada Ray dan langsung mendaratkan kecupan pada pipi Ray.
Sementara di ambang pintu, Ladara sudah benar-benar lemas tanpa tahu harus bagaimana lagi menyikapi hal itu. Lantas, dia memilih pergi, persetan dengan janji Ray.
"Lo tau Ray," kata Fanny, menjauhkan dirinya.
"Gue udah jatuh cinta sama lo."
"Gue udah punya pacar, Fan," tegas Ray.
"Sorry, Ray, gue ungkapin ini biar gue lega," cicit Fanny.
"Gue gak masalah kalau lo confess, lo suka, atau lo benci gue. Tapi, tindakan lo baru aja itu lancang!"
Ray tidak peduli lagi jika Fanny akan membencinya atau menganggapnya buruk. Sebab, dia tau ada hati yang harus dia jaga.
"Gue nyesel udah pernah baik sama lo."
Ray mengembuskan napasnya kasar. Ini semua salahnya yang sejak awal tidak tegas pada tindakan Fanny. Ini semua salahnya karena terlalu tidak enakan. Dia bahkan mengorbankan kebahagiaannya demi mengiyakan permintaan orang lain.
"Anjing lo, Ray," umpat Ray untuk dirinya sendiri.
Bahkan rokok saja tidak bisa membuat Ray tenang. Hanya Ladara satu-satunya yang Ray inginkan.
Ray menginjak putung rokoknya, kemudian mengendarai motornya menuju rumah Ladara. Ia tidak peduli pada waktu yang menunjukkan pukul 11 malam.
Sekitar dua puluh menit berlalu, akhirnya Ray sampai di depan rumah Ladara. Cowok itu hanya diam, tidak melakukan tindakan apapun. Dia terus memperhatikan kamar Ladara yang lampunya masih menyala.
Kenapa gadis itu belum tidur?
Ray menerka-nerka. Apakah Ladara sedang menangis? Mau bagaimanapun juga hubungan mereka berakhir bukan atas kemauan mereka.
Ray mengeluarkan ponselnya, mencoba meminta tolong pada Elda untuk menanyakan kondisi Ladara.
****
Suasana lingkungan sekolah yang tadinya penuh ketenangan langsung gaduh tatkala suara bel istirahat berbunyi. Para siswa-siswi berlomba-lomba untuk memperebutkan urutan antrian di kantin sekolah.
Sementara di kelas, Ladara sungguh malas pergi ke kantin. Setelah kejadian kemarin, dia tidak ingin ke kantin lagi.
"Kantin gak, Dar?" tanya Elda, sambil memasukkan buku ke laci.
"Enggak, El."
Elda menepuk pundak Ladara beberapa kali. "Alfa depan yuk!" ajaknya.
Walaupun tidak mau ke kantin, setidaknya Ladara harus makan supaya tidak sakit.
"Boleh deh."
Mereka berdua berjalan beriringan keluar kelas. Saat di tengah perjalanan, tak sengaja mereka berpapasan dengan Ray dan teman-temannya. Namun, Ladara pura-pura tidak melihatnya.
Dari arah berlawanan Ray pun sama. Cowok itu melirik Ladara dari kejauhan, akan tetapi langsung membuang wajahnya saat mereka sejajar. Ray tahu jika Ladara merasa tidak nyaman atas kehadiran dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beauty Of Violins
Teen FictionREBORN PYTHAGORAS Rayyan Afkara, biasa dipanggil Ray. Dia laki-laki pintar, tampan, dan mapan. Hidupnya tertata rapi, namun sangat monoton. Hingga akhirnya Ray menemukan lembar ulangan Ladara yang mendapatkan nilai buruk. Ladara Chesilia, gadis IPA...