Ketika hati telah letih, ribuan duri yang berlomba-lomba melukai pun tak dapat membuat manusia merasa pedih. Bukan berarti kuat, melainkan terbiasa dengan luka yang begitu hebat.
Belasan hari telah dilalui. Ray fokus dengan dirinya sendiri dan rutin menemui dokter psikis demi mentalnya. Sementara Ladara, gadis itu fokus melatih skillnya dalam bermain violin untuk kompetisi yang akan datang.
"Ladara!" panggil Elda tatkala si pemilik nama keluar dari ruang musik.
"Mau makan!" ujar Elda, merengkuh lengan Ladara.
"Makanlah, apa perlu gue suapin?"
"Iya ih, perlu banget."
Tak segan-segan Ladara mendorong Elda yang sudah seperti siput itu. Elda sukses membuat Ladara risih karena Elda terlalu menempel pada Ladara.
"Dilihatin orang-orang, tolol!" tegur Ladara.
"Udah pada pulang, cuma dikit doang ini yang lihat."
Bel pulang sekolah memang sudah berbunyi 1 jam yang lalu. Hanya menyisakan siswa-siswi dengan kegiatan masing-masing. Termasuk Ladara dan Elda.
"Apa mau ditempelin Ray?" goda Elda.
"Gue tampol lo ya, El!" ancam Ladara.
"Gamon sok keras."
"Gak jelas!"
Langkah mereka memelankan begitu melintasi area kamar mandi perempuan. Elda tak berniat berhenti, namun Ladara justru menghentikan langkahnya.
"Mau pipis dulu, gue udah nahan dari tadi," kata Ladara.
Di lapangan yang tak jauh dari mereka berada terlihat anak-anak IPA 1 tengah bermain bola. Termasuk Ray. Hal itu membuat Elda yakin bahwa Ladara menghindari Ray untuk ke sekian kalinya.
"Pipis apa takut ketemu Ray?"
"Pipis nih, emang lo mau gue ngompol? Udahlah sana pesenin gue makan di kantin katanya laper?"
"Halah, alibi."
Meski begitu Elda memilih melanjutkan langkahnya meninggalkan Ladara di toilet. Perutnya sudah keroncongan karena belum makan sejak istirahat ke 3. Ditambah lagi energinya terkuras habis akibat bergosip ria bersama Adit.
"Ladara mana, El?" tanya Kayden, membuat Elda menoleh sinis.
"Kepo amat!"
"Gue mau ngomongin soal kompetesi minggu depan."
Elda memicingkan matanya curiga.
"Modus?"
"Gue Kayden woi, buka Ray."
Sosok tak bersalah yang duduk anteng di tribun pun menatap malas pada Kayden. Enak saja namanya diseret-seret pada embel-embel yang jelek.
"Lo kan, satu sirkel, pasti satu pemahaman lah."
"Lo ngomong apaan sih, El? Udah deh, di mana Ladara?"
"Toilet," jawab Elda pada akhirnya.
Ray tersenyum kecil tanpa Elda ketahui. Dia memang tidak menyuruh Kayden meminta informasi tersebut karena apa yang Kayden bicarakan tadi memang untuk keperluan Kayden sendiri. Namun, kali ini Ray akan memanfaatkan momen ini untuk mencuri pandang pada Ladara.
Mari kita perhatikan gadis cantik itu dari lapangan basket.
****
"Lo putus beneran sama Ray?"
Ladara menatap cermin guna menatap sosok yang mengajaknya berbicara. Entah sejak kapan Fanny mencuci tangan di sebelahnya.
"Iya."
"Gue turut sedih ya. Padahal kalian cocok, sama-sama cantik dan ganteng. Tapi, kayaknya kalau dari segi otak Ray emang deserve better sih."
Fuck off????
Mendengar pernyataan aneh dari Fanny sukses membuat Ladara tak dapat menutupi tawanya. Ia benar-benar tidak mengerti apa tujuan Fanny mengatakan hal itu. Dalam hati, Ladara menyesal pernah berpikir positif tentang Fanny. Namun, ternyata gadis itu memang manipulatif.
"Iya, Ray pasti cocok sama yang sama-sama pinter," balas Ladara.
"Iya bener, Dar. Soalnya kalau beda pemikiran gitu susah ngembanginnya kan?"
"Tapi bukannya lebih susah ngimbangin sama cewek ganjen?"
Kali ini Ladara menyadarkan punggungnya pada wastafel. Tangannya ia sengaja lipat di depan dada supaya membuatnya terlihat lebih angkuh.
"Lo bener, semoga aja Ray dapat yang bisa imbang sama dia. Yang sama-sama pinter dan baik. Sebenarnya di IPA satu banyak cewek kayak gitu, tapi mungkin Tuhan takdirin Ray ketemu sama lo dulu. Sejatinya setiap orang yang bertemu itu ada pembelajarannya."
Gemas sekali. Rasanya Ladara ingin menjambak mulut Fanny detik ini juga. Mulut sampah perempuan itu tidak cocok berbicara dengan sesama manusia.
"Hari ini gue ketemu lo juga ada hikmahnya kok, Fan. Gue jadi tau kalau gue ternyata bisa ngomong sama anjing."
"Maksud lo apa sih, Dar? Lo ngatain gue anjing? Ternyata selain bodoh lo juga gak punya attitude ya?"
Ladara tertawa sumbang. Lantas, dia mengarahkan tangannya pada kaca depan wastafel.
"Ngaca tuh, kaca segede gaban gak mempan buat lo sadar diri?"
Puas memojokkan Fanny, Ladara menepuk roknya sekilas sebelum beranjak dari toilet.
"Bye, bitch!"
Tak terima dipermainkan oleh Ladara, Fanny menarik tangan Ladara. Jika mulut tidak dapat menang, maka tangan akan perang. Kegilaan Fanny pun tak dapat terukur lagi sebab dia berani menarik tangan Ladara kencang hingga menimbulkan bunyi.
"APAAN SIH, ANJING!" teriak Ladara refleks. Ia bahkan spontan mendorong Fanny karena rasa sakit yang dia terima tiba-tiba.
Ladara memeriksa tangannya yang memerah akibat cengkeraman kencang dari Fanny, lalu beralih menatap Fanny yang tersungkur di lantai toilet.
"Lo--"
"Ra?"
Suara Ray menghentikan ucapan Ladara. Waktu seolah berhenti berputar pada kejadian ini. Situasi konyol yang membuat Ladara yakin bahwa dia akan menjadi tersangka.
Tatapan Ray tertuju pada Fanny di atas lantai toilet. Ia buru-buru menghampiri gadis itu dan membantunya berdiri.
"Gue yang salah?" batin Ladara pilu.
Ia memperhatikan Ray yang begitu panik menolong Fanny. Ladara benci, Ladara benar-benar benci berada di situasi seperti ini.
"Kenapa gue cemburu?"
"Kenapa gue takut kalau Ray lebih percaya Fanny?"
Ritme jantung Ladara semakin menggebu tatkala Ray beralih menatapnya dan langsung menariknya keluar dari toilet. Ladara pasrah, dia yakin bahwa dirinya akan menjadi tersangka atas kejadian tadi.
Namun, bolehkah Ladara meminta untuk Ray percaya padanya?
"Ray ..."
****
Haiiii maaff yaaaa baru sempet uppp😭😭😭😭😁
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beauty Of Violins
Teen FictionREBORN PYTHAGORAS Rayyan Afkara, biasa dipanggil Ray. Dia laki-laki pintar, tampan, dan mapan. Hidupnya tertata rapi, namun sangat monoton. Hingga akhirnya Ray menemukan lembar ulangan Ladara yang mendapatkan nilai buruk. Ladara Chesilia, gadis IPA...