23

5.1K 134 4
                                    

Killian menatap Lucianna yang sibuk menceritakan pembullyan yang dialaminya kemarin. Bersama seorang psikolog wanita yung duduk tak jauh diantara mereka. Sebenarnya psikolog itu meminta hanya Lucianna yang berada didalam ruangan, namun gadis kecil itu tak mau. Killian dengan senang hati ikut mendengarkan dan menemani Lucianna.

Kepalan tangannya yang menguat sejak mendengar cerita Lucianna, coba Killian sembunyikan. Bagaimana bisa anak sekecil mereka melakukan perundungan dan memiliki mulut yang sangat toxic. Meski Killian bisa menyadari darimana sumber toxic anak yang merundung Lucianna. Siapa lagi kalau bukan orang tua mereka yang sama toxicnya. Bahkan ia masih ingat kemarin Ibu dari Lolita dengan ringan menghina Kanaya dengan kata-kata kasar didepan banyak orang.

Butuh waktu satu jam, Killian dan Lucianna keluar dari ruangan konseling. Killian mendapat banyak saran untuk membantu pemulihan Lucianna. Untung saja Lucianna tak mengalami trauma berat.

Tangan Killian tak lepas menggandeng tangan Lucianna sepanjang jalan. Ia sesekali tersenyum melihat Lucianna yang berjalan dengan riang.

"Om Lian, makasih udah antar Lucianna," ucap Lucianna saat Killian selesai membantunya duduk dengan nyaman di kursi penumpang sebelah kemudi.

"Kenapa pakai, Om Lian lagi. Bukankah kemarin Papa sudah meminta Luci memanggil dengan sebutan Papa," balas Killian.

"Tapi Om Lian bukan Papa Luci, nanti anak Om Lian bisa marah jika Luci memanggil dengan sebutan Papa." Lucianna mengeluarkan keluhannya.

"Luci anak Papa, kalaupun ada anak yang lain itu akan menjadi adik Luci. Maaf Papa datang terlambat," balas Killian, tak bisa menyimpan lebih lama lagi kenyataan bahwa ia adalah Papa kandung Lucianna.

"Luci beneran anak Papa?"

"Iya, sayang. Papa sudah kembali dari pekerjaan jauh. Maaf karna kita baru bisa kembali bersama. Kamu memiliki Papa seperti yang lain. Luci anak kandung Papa," jelas Killian dengan bahasa yang sederhana.

"Benarkah?" Tanya Lucianna dengan wajah berbinar tak percaya.

Killian mengira Lucianna akan marah atau mengambek. Namun tanpa disangka gadis kecil itu memeluk leher Killian dengan erat.

"Luci gak nyangka Luci beneran punya Papa kayak teman-teman," lirihan Lucianna terdengar sesengukan ditelinga Killian.

Pria itu semakin merasa bersalah, ia mengusap punggung Luci. Membalas pelukan putrinya tak kalah erat.

"Maaf membuat Luci menunggu lama, harusnya Papa ada disamping Luci setiap saat. Papa janji gak akan ninggalin Luci tanpa kabar." Killian tau, Lucianna terlalu mengerti sekitar diusia yang teramat muda. Hidup hanya dengan sosok ibu membuat Luci banyak menyimpan keluhannya sendiri.

"Papa...."

"Iya sayang," balas Killian.

"Luci kira, Papa pergi karna gak sayang sama Mama dan Luci. Luci kira Papa gak suka sama kehadiran Luci. Luci...."

Killian melepas pelukannya, menangkup wajah Lucianna. Menuntut Lucianna agar menatap wajahnya.

"Jangan pernah berpikir sejauh itu. Papa sangat sayang sama Luci, Papa dan Mama memang memiliki sedikit kesalah pahaman, sekarang Papa sudah kembali bersama Luci. Gak ada sedikitpun dihati Papa buat benci Luci. Jadi jangan pernah merasa minder sama temanmu, sekarang Luci juga punya Papa." Killian terus berusaha menenangkan Lucianna. Anak yang baru ia temukan, harus tersiksa karna merindukan sosok dirinya. Killian berjanji akan selalu ada untuk Lucianna dan Kanaya. Air mata Killian juga ikut jatuh melihat putri kecilnya yang terpaksa mengerti keadaan. Terpaksa menahan segala keluhannya demi tak menyakiti hati Kanaya.

KanaLian (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang