Bab 18 Move On

10 3 0
                                    

KUKKURUYUK

"Waduhh, udah jam berapa, nih?" Tania langsung terbangun kala mendengar suara kokok ayam. Ia terperanjat keluar kamar untuk segera mandi.

"Makanya jangan lembur terus!" seru Asti sang ibu yang melihat anaknya itu berlari melewati dapur.

Waktu menunjukan pukul 05:30 pagi.
"Jangan lari-lari nanti kepleset," ucap Asti saat Tania berlari dari kamar mandi dengan kaki yang masih basah.

Tania yang terlihat sangat terburu-buru itu tidak mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar dengan pakaian sekolahnya dan beberapa kantong kresek yang ia tenteng.

"Lo, bajunya, Bu Marni, udah selesai, ya, cepet banget?" tanya Asti.

"Iya, Buk, kemaren lusa katanya dua hari lagi mau diambil bajunya, katanya buat acara keluarga diluar kota," jelas Tania.

Jam di dinding telah menunjukan pukul 6 pagi.

"Buk, Tania berangkat sekarang ya, takut telat." Ia langsung meraih tangan ibunya dan menciumnya lalu keluar rumah.

"Ehh, tas kamu mana?" Teriak Asti pada anaknya yang sangat terburu-buru itu.

Tania yang baru tersadar jika ia belum membawa tasnya langsung menepuk jidat dan kembali ke dalam.

"Oo, iya, lupa buk."

Setelah mengambil tas didalam kamar, akhirnya segera Tania berangkat menunju rumah Bu Marni menggunakan sepedanya.

Lima belas hari yang lalu, Bu Murni menjahitkan tiga pasang baju pada Tania.

"Tapi harus urut antrian, ya, bu, soalnya kerjaan saya masih banyak," jelas Tania pada Bu murni.

"Tapi setengah bulan bisa jadi, kan? soalnya mau saya pake," kekeh Bu Marni.

"Saya usahakan, ya, Bu."

Hari ini sudah jatuh tanggal yang telah dijanjikan, tadi malam pun Tania masih berusaha menyelesaikan pekerjaanya hingga ia bangun terlambat.

Karna jarak rumah Bu murni yang tidak dekat serta arahnya yang berbeda dengan sekolah, Tania membutuhkan waktu setidaknya 30 menit perjalanan serta 5 menit untuk berbicara dengan Bu Murni. Namun karna ia sudah mulai kelelahan, Tania hampir saja telat karna ayunan sepedanya yang mulai melambat.

Tepat sebelum gerbang ditutup, akhirnya Tania bisa segera masuk ke sekolahnya.
Ada sesosok pria yang sedang menunggunya.

Kevin dari belakang tiba-tiba meraih tangan Tania menggantikanya menuntun sepeda.

"Kevin? Kamu nungguin aku?" suara Tania dengan terengah-engah dan keringat di dahi.

"Nggak, sih, kebetulan lewat aja."

"Masa'?" Pertanyaan Tania menyudutkan Kevin.

"Iya-iya, aku nungguin kamu." Kevin tak bisa berbohong, ia hanya bisa tersenyum meringis.

Pipi Tania mulai kemerahan, ia tak menyangka bahwa orang yang ia suka akan menunggunya datang.

"Ihh, kenapa kamu?" Kevin menyadari pipi Tania memerah, "Kamu ... " Kevin menjeda pembicaraanya.

"Apaan sihh, nggak ahh!" sontak Tania mencubit lengan Kevin.

Mereka berdua tertawa kecil sembari berjalan menuju parkiran.

Kevin mengantar Tania sampai ke kelasnya.

Nala yang sedang mengintip dari jendela langsung berlari mendekati pintu.

"Ciee, ada yang pipinya kemerahan, nih," cibir Nala dengan senyum nakalnya.

"Ihh, emang keliatan banget ya?" Tania memegangi pipinya. "Ihh malu gue."

Nala semakin tertawa melihat Tania yang salah tingkah.

*********

Tania terbangun dari mimpinya, ia memejamkan matanya sekali lagi dan meneteslah air matanya.

"Tania, ini gue bawa makanan buat lo," panggil Nala sembari membawa sekantong kresek makanan. "Lo, kenapa, Tan?" Ia baru sadar jika ada bekas air mata di pipi Tania.

"Nggak, papa, kok cuma mimpi aja sembari mengusap matanya.

"Ya, udah, ya, sarapan dulu ini ada makanan dari rumah sakit, terus ini gue beli dari luar," sembari menunjukan kanrong kresek yang ia bawa.

"Lo, beli apa?"

"Gue beli ...." Nala menjeda perkataanya, ia menyipitkan matanya. "Nasi pecel!"

"Ihh, itu makanan kesukaan gue." Mereka tertawa bersama.

"Iya, dong, tadi gue lihat ada yang jual, trus langsung gue beli aja, deh," ucap Nala dengan senyum menyeringai.

"Dafa ke mana?"

"Lagi di toilet."

"Oh, ya, Nal, gue belum ngejelasin alasan gue yang sebenarnya pergi dari Jakarta." Tania memandang Nala, santai.

"Lo, bukanya karena pengen move on, ya?" sembari menyiapkan makanan yang ia bawa.

Tania menggelengkan kepala, ia terlihat lebih segar dari pada kemarin. "Jadi, sebenarnya satu bulan yang lalu, Bude Murni nawarin gue buat kerja di sini, di butik temennya namanya tante Laras. Beliau itu punya modal tapi nggak punya bakat, jadi makanya tante Laras ngajakin Bude buat kerjasama, trus gue disuruh kerja di sini karna katanya kemampuan gue udah cukup baik buat membangun butik." Tania menyeringai bahagia. "Katanya gajinya bakal lebih gede, makanya gue tertarik." Senyum kudanya tercetak jelas kali ini.

"Oh, gitu, ya, bagus deh jadi lo punya pendapatan yang lebih besar donk." Nala ikut bahagia.

SATU MINGGU KEMUDIAN

"Barang-barangnya udah siap belom?" tanya Tania diambang pintu kamarnya.

SREEET ...

Nala menutup resleting tasnya.
"Udah, nih, gue kan nggak bawa barang banyak."

Nala memegang kedua bahu Tania, "sebenarnya gue masih pengen di sini," ucapnya dengan mimik muka sedih. "Tapi, gue nggak bisa karena ditoko gue gak ada yang gantiin." Nala semakin mewek.

"Nggak papa, kok, Nal, satu minggu lebih udah cukup bagi gue, kita, kan, emang punya kesibukan masing-masing jadi kita nggak boleh egois." Tania berusaha menenangkan Nala. Mereka pun berpelukan.

"Huhu, jadi ikut terharu gue," ucap Dafa yang menonton drama itu dari ruang tamu.

"Jangan sakit dan sedih lagi, ya, Tan, gue gak tega liat, lo." Nala memandang sahabatnya itu dengan tatapan sedih.

"Iyah, gue bakal berusaha buat ngelupa'in semua masalah."

"Huhu, gue lega banget, lo, udah gak pucat lagi." Nala mencubit pipi Tania.

"Udah belom kangen-kangenanya, ntar ketinggalan bis, loh," cibir Dafa.

"Iyah-iyah," jawab Nala dengan bibirnya yang monyong.

HAHAHA ...

Dafa dan Tania menertawakan ekspresi Nala.

Dafa dan Tania mengantarkan kepergian Nala. Tak lupa dua sahabat sejati itu melayangkan pelukan lagi sebelum Nala masuk ke dalam bis. Nala juga melambaikan tangan dari jendela sebelum sahabatnya tak terlihat jauh.

Kini hanya tinggal Dafa dan Tania yang harus melanjutkan perjuangan di tanah perantauan. Setelah satu minggu Dafa tidak bisa bekerja dengan maksimal, kini ia bisa kembali mengoprasikan mobil taksinya seperti biasa, sedangkan Tania pergi ke rumah Tante Laras untuk membicarakan pembangunan butik beserta perkembangan bahan-bahan dan karya.

Walaupun Tania sudah tidak mempunyai tanggungan hidup, namun, ia tetap bekerja keras seperti dahulu demi mewujudkan cita-citanya. Tak hanya di butik, Tania juga menjahit mandiri di rumah kost nya. Kini Tania benar-benar berusaha melupakan rasa sakitnya itu. Padahal Tania sering mendapati cerita-cerita dari teman-temanya , dari film maupun sinetron bahwa berpacaran tidak menentukan jodoh. Namun, Tania sendiri malah terlena akan buaian rasa dan manisnya kata-kata. Apalah daya, Tania hanyalah manusia biasa yang tak luput dari sebuah kesalahan.

**********

Eits, ini bukan endingnya, ya. Jadi, ikuti terus kisah Tania dan jangan lupa vote dan komenya.

(Hiatus)Bukan Salah Takdir Jika Kamu Bukan Jodohku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang