Bab 6 Pilu

35 16 57
                                    

Kini Tania sudah berada di parkiran rumah sakit, ia berlari menuju ruangan ibunya. Tania langsung menghampiri
Daffa yang berada di depan pintu, belum sempat berbicara apapun, dokter keluar dari ruangan.

"Gimana, Dok, Keadaan ibu saya?" Suaranya gemetar karna paniknya.

"Mohon maaf harus saya sampaikan, ibu anda Koma." Perkataan Dokter yang terjeda itu seakan memberikan ruang untuk bernapas, namun bukan lega yang di rasa Tania, melainkan sesak yang tak terkira. "Dan saya juga tidak bisa memastikan akan sampai kapan ibu anda bisa sadar. Saya harap anda bisa lebih tabah dan doakan saja semoga, Ibu mbak bisa segera sadar," sambung dokter.

Jantung Tania berdebar tak karuan, rasanya seperti tak mampu berdiri.
"Bisa saya masuk, Dok?" Sembari memegangi dadanya. Dafa yang semula dibelakang Tania, kini memapahnya.

"Silakan."

Tania terkulai lemas kala berada di hadapan ibunya. Daffa yang berada di belakang Tania tak bisa berbuat apa-apa.

Malam pun tiba, Tania masih terduduk di samping ibunya dengan tatapan kosong. Dari arah luar, terdengar suara Daffa sedang berbincang dengan orang lain. Tak lama kemudian orang itu membuka pintu, Tania pun menoleh kebelakang, ternyata itu adalah Nala. Nala berjalan perlahan menghampiri Tania, sedangkan Tania berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Hingga pada akhirnya Nala memeluk Tania dengan erat. Mereka larut dalam pelukan masing-masing.

"Sabar, ya, Tan." Hanya itu yang bisa diucapkan Nala. Air mata yang bercucuran membasahi pipi mereka.

********

Kini mereka berdua berada di luar ruangan, sedangkan Dafa sudah pergi sedari tadi karna ia harus bekerja.

"Apa masih ada kemungkinan ibu, Lo, bisa sadar?" Nala mengawali pembicaraanya.

"Bahkan dokter gak bisa memprediksi kapan ibu bakal sadar." Tatapanya masih kosong di iringi dengan tetesan air mata yang jatuh.

"Kayaknya, gua bakal ngembalikan barang-barang toko," ucap Tania dengan menunduk.

"Apapun keputusan, Lo, gue bakal dukung. Jangan sungkan buat ngehubungi gue kalo Lo, butuh bantuan," ucap Nala sembari menggenggam tangan Tania.

Tania menoleh ke arah Nala dengan senyumanya yang mulai merekah walau matanya masih berkaca-kaca. Tania sadar, ia tidak bisa larut dalam keterpurukan. Tania harus bekerja lebih keras lagi untuk membiayai perawatan ibunya, walaupun ia harus sering lembur dan mempunyai pekerjaan sampingan seperti dulu.

"Apa, Lo, akan mulai menjahit lagi?" tanya Nala. Pasalnya dulu Tania menjahit baju saat malam, dan siang sepulang sekolah ia kerja di butik budenya. Namun, karna ibunya sudah punya toko sendiri, ia berhenti menjahit.

"Iya, doakan aja semoga gue kuat." Tania menggenggam tangan Nala.

"Pasti!" senyum Nala menguatkan Tania.
"Ya, udah, gue pulang dulu ya. Jangan lupa istirahat! besok, lo, harus lebih kuat dari hari ini," ucapnya menyemati Tania.

"Siap boss!" Tania memberikan hormat pramuka, disusul dengan tawa kecil mereka.

*******

Tepat pukul 04.00 subuh Tania bangun, ia beranjak untuk segera membereskan tempat tidurnya lalu ke kamar mandi. Setelah selesai beribadah, Tania mengambil kain basah yang sudah ia siapkan untuk menyeka ibunya. Setelah semuanya beres, Tania segera berangkat kerja. Namun, tak lupa ia mampir ke warung dekat rumah sakit untuk memberi makan perutnya. Sebelum pergi ke rumah budenya, Tania mampir ke rumahnya dulu untuk membersihkan mesin jahit dan mencari alat-alat jahit yang sudah lama tidak ia pakai. Setelah semuanya selesai dia memposting promosinya di sosial media dengan judul 'Menerima jasa menjahit' setelah terkirim barulah ia berangkat menuju rumah budenya.

TOK TOK TOK

Bude Murni pun membuka pintunya, "loh Tania, kamu disini? baru saja bude mau menjenguk ibu kamu," ucap bude Murni agak terkejut melihat Tania.

"Iya, Bude, Tania harus tetap cari uang untuk biaya perawatan ibu," jawab Tania.

"Ya, udah, kalau gitu ayo masuk dulu." Bude Murni membukakan pintu lebih lebar untuk Tania masuk. "Lalu Bagaimana keadaan ibu kamu? berati sudah sehat ya?" sambungnya lagi.

"Belum bude, ibu masih koma dan gak tau kapan akan sadar," jawab Tania menunduk.

"Astagfirullahaladzim," ucap bude Murni dengan lesunya. "Semoga ibu kamu cepat sembuh, ya." Bude mengelus punggung Tania.

"AAMIIIN bude." Tania mengusap wajahnya.

"Ya sudah, kamu harus tetap semangat ya kerjanya," jawab bude Murni, "nanti sore kalo kamu pulang, bude mau ikut, bude pingin liat kondisi ibu kamu," sambungnya lagi.

"Iya bude."

Tania pun masuk ke dalam ruang baju. Seperti biasa, ia mengambil salah satu gaun untuk dipayet. Tania menggambar dulu motif yang akan di payet lalu mengaplikasikanya pada gaun. Untuk waktu yang dibutuhkan, jika modelnya mudah, biasanya Tania hanya membutuhkan waktu setengah hari, namun jika modelnya susah ataupun banyak, biasanya Tania membutuhka waktu satu hari full. Pekerjaan Tania dibutik budenya itu tidak hanya memayet, tak jarang ia juga menjahit dan merias. Tania sering kali ikut budenya keluar desa bahkan kota untuk pekerjaan merias.

Kepiawaianya dalam hal busana sudah ia dapatkan sejak SMP. Selain untuk kebutuhan uang, itu juga merupakan hobi bagi Tania, maka dari itu ia tak pernah bosan dengan pekerjaan yang ia lakukan hingga saat ini.

Namun, baru kali ini Tania merasa tidak fokus pada pekerjaanya. Motif yang biasa ia gambar sebelum memayet, selalu mudah dan lancar, namun kali ini ia bingung ingin menggambar apa. Bahkan, hasil gaun yang ia payet terbilang buruk dan acakadul. Bude yang mengetahui hal itu, hanya terdiam, ia tahu bahwa keponakanya itu pasti kelelahan, entah itu pikiran maupun tenaganya.

Walaupun begitu, Tania tidak pernah menyerah. Ia yakin bahwa kelalaianya itu hanya sementara. Setiap hari Tania berusaha untuk semangat dalam bekerja. Namun, hasilnya tetap nihil. Baju yang ia jahit tak pernah tepat waktu bahkan hasilnya juga tak memuaskan. Merias pun kadang tak fokus, tak jarang Tania keliru memberikan warna yang sesuai pada kulit pelangganya.

Mungkinkah Tania se-frustasi itu? Sepertinya memang begitu. Kini sudah menginjak satu tahun ibunya koma. Anak mana yang tak gelisah dan kawatir melihat ibunya belum sadar. Anak mana yang bisa menahan kesedihanya begitu lama.

Begitulah yang dirasakan Tania. Apalagi ditambah dengan pekerjaan yang berantakan, membuat pikiran Tania semakin tidak karuan, dan juga Kevin yang semakin jarang menelpon karna alasan sibuk dengan pekerjaanya.

Untungnya, dibalik itu semua ada Nala yang sering berkunjung  dan menyemangati Tania serta Dafa yang sering membantu perekonomian Tania. Sebenarnya Tania juga sering menolak, namun, terkadang ia tak punya pilihan selain menerima bantuan Dafa karna gajinya yang tak seberapa itu tidak bisa memenuhi biaya perawatan ibunya yang mahal. Jika tak ada mereka berdua, entah bagaimana nasib Tania.

*******

Huh, kok jadi sedih ya😢 gimna ya kelanjutan ceritanya? terus ikuti kisah Tania dan jangan lupa vote dan komenya ya🤗🤗🤗

(Hiatus)Bukan Salah Takdir Jika Kamu Bukan Jodohku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang