Chapter 18

731 42 0
                                    

"Aku sayang banget sama kamu, Yang. Cinta banget."

---*---

"Aku bangga banget sama kamu." Soonyoung mengelus pipi Jihoon pelan. Kembali lagi berbaring di rumah sewa milik kepala desa yang menaungi mereka berdua selama di Maluku beberapa tahun lalu, namun kini status mereka sudah berubah. Bukan lagi teman apalagi dua anak manusia yang terjebak dalam hubungan tanpa status yang jelas. Soonyoung dan Jihoon pasangan yang sudah mengikat janji suci sehidup-semati sekarang.

Berapa bulan ya yang mereka butuhkan untuk bisa berbaring lagi di sini setelah kehilangan Noah?

Tiga bulan? Empat bulan?

Yang pasti, detik demi detik terasa menyakitkan.

Jihoon jujur saja kaget karena ternyata Soonyoung merasakan luka yang sama menyakitkannya seperti yang Jihoon punya.

Malam itu Jihoon tersadar. Aaahhh...dia tidak sendirian.

Ada Soonyoung, Papanya Noah yang juga begitu sakit dan terluka.

Dokter Joyce bilang, Soonyoung terkena PTSD. Tiga kali Soonyoung dengan sadar harus melihat bagaimana bayi-bayinya meninggalkannya. Setiap detik kejadiannya terekam begitu jelas. Jihoon mungkin seolah diberikan kebebasan dan merasa paling berhak untuk bersedih karena dia yang sudah dua kali hamil. Ternyata, Soonyoung pun punya luka yang sama.

Kata orang, di setiap kejadian selalu ada 'untungnya'. Untung Jihoon masih bisa selamat jika mengingat parahnya perdarahan yang ia alami hingga harus kehilangan Noah. Untungnya, Soonyoung begitu cepat membawa Jihoon ke rumah sakit meski tetap harus kehilangan bayi mereka. Untungnya, Soonyoung menangis ketakutan di pelukan Jihoon ketika Jihoon masih merasa 'diawang-awang' setelah kehilangan Noah yang membuat Jihoon merasa...begitu dicinta. Begitu diinginkan.

Jihoon tak pernah benar-benar merasakan perasaan ini sebelumnya. Jihoon tenggelam dalam pikirannya bahwa selamanya ia akan sendirian. Terlebih, setelah ia mendapatkan fakta tentang apa yang dilakukan suaminya di masa lalu yang membuatnya juga begitu terluka.

Namun, malam itu. Saat Soonyoung mengiba pada Jihoon bahwa ia begitu kesakitan, begitu terluka dan memohon sebuah pertolongan. Jihoon kemudian sadar, Jihoon tidak sendirian.

Bahkan ketika Jihoon seolah diejek kenyataan pun, akan selalu ada Soonyoung di sisinya. Akan selalu ada Soonyoung yang mau berbagi segalanya. Termasuk luka.

Semuanya akan makin menyakitkan bukan? Kalau ternyata hanya Jihoon sendirian yang merasakan begitu kehilangan? Untungnya tidak, karena suaminya juga merasakannya.

Sejak saat itu, keduanya memutuskan untuk melakukan konsultasi dengan dokter Joyce. Mengakui segala perasaan yang mereka rasakan. Sendirian pun ketika mereka berdua sebagai pasangan. Saling menguatkan dalam setiap sesi konseling utamanya saat ada sesi mereka mengobrol bertiga bersama psikiater kenamaan itu.

Jihoon makin mengerti, bagaimana sakitnya Soonyoung dan ia pun merasa bersalah telah salah paham pada suaminya selama ini.

Kata orang, menerima takdir adalah obat terbaik. Tapi banyak orang tak pernah mengatakan bahwa perjalanan menerima itu semua begitu menyakitkan dan sulit. Jihoon lagi-lagi merasa beruntung karena suaminya pun kini begitu terbuka pada dirinya. Sebenarnya, sejak kehilangan Ava, Soonyoung memperlihatkan gelagat serupa. Bagaimana suaminya mempersilakan Jihoon untuk berduka. Sesekali masih mengatakan bahwa Jihoon rindu pada Ava. Soonyoung akan meladeninya dengan sungguh-sungguh meski mereka berdua tau mereka tak pernah benar-benar 'menggenggam' Ava saat itu.

Soonyoung begitu...serius?

Satu yang Jihoon kemudian tau, Soonyoung tak pernah bermain-main dengan garis takdir. Soonyoung lebih paham bagaimana menerima sesuatu, mensyukurinya, ketimbang denial lebih-lebih mengutuk apa yang terjadi dalam hidup.

Count on Me! [Second Life Universe]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang