Seorang remaja sedang duduk di bangku belajarnya. Menghadap ke arah laptop yang menunjukkan layar putih dengan beberapa kata didalamnya. Bukannya mengerjakan tugas makalah, sang empu malah melamun.
"Zigass!"
"Apasih Ga, gausah teriak."
"Ya lo ngapain sih tiba-tiba ganggu gue."
"Jangan banyak belajar. Yuk beli martabak."
"Jangan narik-narik deh. Pah liat abang!" adunya pada sosok yang sedang duduk menikmati secangkir kopi, sambil memainkan benda persegi di genggamannya.
"Zigas jangan ganggu adeknya."
"Ehh apaan nih rame-rame."
"Kak Yasaa!"
Aga langsung berlari menuju kakak pertamanya. Dia menggandeng manja tangan kakaknya itu. Tidak lupa mengadu dengan nada yang dilebih-lebihkan kepada Yasa.
"Apaansih dek, orang mau ngajak beli martabak aja pake drama," ujar Zigas tak kuat melihat Aga yang berbicara dengan kalimat yang dilebih-lebihkan. Padahal niatnya untuk mengajak adiknya itu keluar agar tidak di kamar terus. Sekalian malam mingguan juga sih. Sekali-kali lah mau ngajak adek keluar bareng. Biasanya mah Zigas pergi dengan teman-temannya.
"Gue mau di rumah aja, mau bikin mie," ujar Rido yang sebenarnya ingin malmingan dengan menonton film action ditemani dengan semangkuk mie. Ah, membayangkannya saja sudah membuat air liurnya bereaksi.
"Gak boleh makan mie," ucap Yasa yang mendengar adiknya ittu akan membuat mie. Sebagai seorang dokter, dia adalah orang yang selalu mengingatkan orang rumah untuk selalu memakan makanan yang sehat. Bukan berarti mie tidak sehat, namun dia membatasi konsumsi mie keluarganya. Terutama bungsunya yang suka sekali diam-diam membuat mie setiap malam.
"Ah kak Yasa gak asik," ujar Rido sembari berjalan ke arah ayahnya yang sekarang sedang fokus menonton berita. Dia duduk disamping ayahnya. Lalu merebahkan kepalanya ke pundak sang ayah.
"Kenapa?" tanya sang ayah.
"Gak mau sama Kak Yasa sama Zigas!"
Wildan yang mendengar anak terakhirnya merajuk, langsung menatap kedua anaknya yang sedang pura-pura mengobrol sembari naik ke lantai dua. Dia memberikan lirikan tajam pada kedua anaknya yang sedang kabur secara halus itu. Dia selalu pusing menghadapi kedua anaknya yang selalu menjahili bungsunya itu.
Wildan hanya mengelus-elus kepala sang bungsu yang sedang memainkan hp-nya. Dia akan menegur kedua anaknya itu nanti. Yang penting sekarang bungsunya diam. Dia menolehkan kepalanya pada tv yang sedang menampilkan berita mengenai bencana alam yanh sedang melanda sebagian daerah. Memang sekarang musim hujan, tidak heran banyak daerah yang banjir dikarenakan hal tersebut. Wildan yang sedang mengganti channel tv merasa pundaknya yang semakin lama terasa berat. Dia menolehkan kepalanya ke samping-dimana bungsunya berada. Rupanya sudah tertidur. Wildan membawa tubuh putranya menuju lantai dua dimana kamar anaknya berada.
Dia umurnya yang akan menginjak 50 tahun, Wildan masih mampu menggendong anaknya yang berumur 16 tahun itu. Dia membuka pintu kamar anaknya tanpa menimbulkan gerakan yang sekiranya membuat anaknya terbangun. Saat membuka pintu, yang ditemukan adalah kedua anaknya yang lain sedang tidur di kamar bungsunya ini. Memang tidak heran, mengingat mereka suka sekali tidur dengan yang paling muda.
Wildan meletakkan anak dalam gendongannya ke atas kasur king size di bagian tengah, karena Zigas dan Yasa yang tertidur di sebelah kanan dan kiri kasur. Pasti mereka sengaja, pikir Wildan agar bungsunya tidur di tengah-tengah mereka.
Wildan mengatur suhu AC yang ada di kamar agar anak-anaknya tidak kedinginan. Lalu menyelimuti ketiganya dengan selimut yang lebar. Setelah itu, diapun keluar dari kamar bungsunya.
***
"Ayahh."
Pagi-pagi sekali sudah terdengar teriakan dari kamar Aga. Wildan yang mendengarnya pun menghela nafasnya lelah. Pasti mereka sedang menjahili sang bungsu.
Setelah menegur ketiganya, akhirnya anaknya mau terdiam. Wildan duduk di meja makan sembari menunggu ketiga anaknya.
"Ayahh, hari ini gak usah dianter ya, kan udah sehat," ujar Aga kepada Wildan mengingat dia baru saja sembuh dari demamnya.
"Kalo gak mau dianter ikut Abang aja."
"Ahh gak mau sama Zigas lah yah."
"Kenapa sih cil, orang satu sekolahan juga."
"Eh Abang kalo bawa motor tuh ngebut ya, gak mau sama Abang yah. Mau bawa motor sendiri yaa. Kan Aga dah sehat."
"Kalian itu kenapa sih ribut mulu, makan dulu!" tegas Yasa kepada dua adiknya. Dirinya masih mengantuk juga lapar, namun kedua adiknya sangat berisik. Membuat kepalanya pening saja. Sedangkan Wildan tidak menanggapi ocehan anak-anaknya, karena dia tau Yasa yang akan menegur adik-adiknya.
Mereka pun sarapan dengan tenang. Aga pasrah karena disuruh berangkat dengan Zigas. Sedangkan Yasa, dia pergi ke rumah sakit siang. Jadi dia memutuskan untuk tidur lagi. Sedangkan Wildan sudah siap dengan kemejanya, dia akan berangkat ke kantor pagi hari ini.
Pada akhirnya Aga pun berangkat bersama Zigas karena disuruh oleh ayahnya. Dia menaiki jok belakang motor Zigas.
"Pegangan dong, Dek."
"Gak mauu. Udah ayok berangkat, nanti gue telat!"
Zigas menarik gas motornya. Dia mengendarinya dengan kecepatan sedang. Jarak dari rumah ke sekolah juga tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu 15 menit, mereka sampai di SMA Bumantara- sekolah swasta yang masuk ke dalam jajaran sepuluh besar SMA terbaik.
Aga turun dari motornya. Dia membuka pengait helmnya, namun tidak bisa terbuka- lagi. Ya, walaupun Aga sering mengendarai motor yang otomatis selalu memakai helm, namun dia selalu kesulitan dalam membuka pengait helm. Bahkan dia pernah ditertawakan seluruh sekolah gara-gara dia yang tidak bisa membuka pengait helmnya. Akhirnya dia memutuskan untuk ke kelas kakaknya, karena dia malu memakai helm di kelas. Akan tetapi di sepanjang lorong mereka dengan terang-terangan menertawakannya. Apalagi teman-teman Zigas yang sangat puas melihat mukanya waktu itu. Ah rasanya Aga ingin menghajar mereka satu-satu waktu itu.
"Masih gak bisa, cil?" tanya Zigas yang melihat adiknya itu sibuk sendiri. Dia pun membantu adiknya. Sedangkan yang dibantu hanya menapilkan raut wajah malu-malu kambing.
Zigas pun langsung membukakan helm adiknya itu. Sedangkan yang dibantu malah melengos meninggalkan kakaknya. Zigas yang melihat pun hanya geleng-geleng kepala. Mengapa mood adiknya malah seperti mood pacar Deon-temannya.
Arga mendudukan diri di bangkunya. Satu persatu orang mulai berdatangan. Begitu juga dengan teman dekatnya selama dia bersekolah disini- Bumi dan Saga.
"Idihh yang udah sembuh nih," ujar seseorang yang baru saja duduk di depan Aga.
"Ah jangan berisik deh Bum," ucap Aga yang sedang rubiknya.
Gara-gara Hima yqng kemarin memberikannya rubik, dia jadi bermain rubik terus menerus.
"Kaya bisa aja lo Ga. Gak mungkin lah langsung bisa. Lo tuh harus berguru sa-."
"Sumpah mulut lo pengin tak plester deh Bum."
Bumi yang mendengar ucapan dengan nada tajam dari seorang Hima pun mengatupkan mulutnya. Matanya melihat ke arah Aga yang sedang tertawa sembari menunduk. Memang Bumi yang berisik dan Hima yang menyukai ketenangan memanglah perpaduan yang pas, pikir Aga.
Jangan lupa vote dan komen yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
XERAGRA
Teen Fictionkelanjutan dari book Rido Namanya XERAGRA RIDO MARGANTARA Panggilannya adalah Aga. Umurnya 16 tahun dan sudah menduduki bangku terakhir SMA. Remaja dengan sikap dinginnya. Baginya masa lalu adalah hal yang selalu ingin dihindarinya. Dia memutuskan u...