6

55 5 0
                                    






Siang harinya, Aga bangun. Zigas yang melihatnya langsung bertanya mengenai keadaan adiknya.

"Ada yang sakit, dek?" Zigas bertanya dan dijawab dengan gelengan kepala.

"Kepala Aga pusing, bang."

"Makan dulu terus minum obat ya, dek," perintah Yasa kepada Aga. Dia keluar untuk mengambil bubur yang sudah dibuatkan oleh pelayan.

"Ayah mana, bang?"

"Katanya tadi ada urusan, tapi cuma bentar kok."

Yasa memasuki kamar dengan nampan yang berisi semangkuk bubur, air putih dan juga obat.

"Makan yuk, kakak suapin," ujar Yasa dengan Zigas yang membantu Aga untuk duduk.

Aga memakan buburnya hanya setengah karena mual, lalu meminum obatnya. Setelahnya, Yasa menyuruhnya untuk tidur lagi. Karena efek obat, Aga pun tertidur.















Malamnya kondisi Aga sudah membaik. Dia sudah bisa turun ke bawah untuk makan malam bersama. Suhu tubuhnya juga sudah normal.

"Kamu makan bubur dulu ya dek," ujar Wildan.

"Gak mau yah, Aga pengen makan ayam baaldo juga."

"Yaudah tapi gak boleh banyak-banyak ya, soalnya agak pedes."

"Iya, yah," mereka pun makan dengan tenang. Setelah itu, mereka menghabiskan waktu bersama di ruang tamu.

"Yah, ada yang mau aku omongin,"ujar Aga. Wildan yang paham kemana arah pembicaraan Aga pun hanya mengangguk. Mereka semua duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

"Kamu udah buat keputusan?"

"Iya yah, aku mau ikut om Raga. Tapi aku masih dianggap anak ayah kan?"

"Tentu, kamu bakal jadi anak bungsu ayah selamanya dong dek. Ayah menghargai keputusan kamu, selama kamu bahagia ayah juga bahagia. Yang penting sering-sering main kesini ya, dek."

Aga yang mendengar jawaban ayahnya langsung berhambur memeluknya. Dia lalu menatap le arah Yasa dab Zigas yang sedari tadi menundukkan kepalanya.

"Kak Yasa ... Bang Zigas ..., em kalian masih mau anggep Aga adik kalian?"

"Tentu dek," jawab keduanya. Lalu mereka memeluk Aga bersamaan. Mereka sudah terlanjur sayang kepada Aga. Mereka jatuh hati ketika pertama kali melihat sosoknya. Mereka nyaman dengan kehadiran Aga. Namun, mereka tak bisa menyangkal bahwa ada yang lebih berhak akan adiknya.

"Kamu udah bilang sama daddy mu, dek?"

"Udah yah, katanya besok aku mau dijemput. Jadi sekarang Aga mau beres-beres."

"Yaudah yuk, ayah bantuin."

"Abang juga mau bantuin dek."

"Kakak juga."

Malam itu mereka menghabiskan waktu bersama dengan canda tawa yang menguar di dalamnya.












***








Keesokan harinya, Raga datang mengunjungi kediaman Margantara. Dia berbincang dengan Wildan di ruang tamu, juga ada Yasa dan Zigas yang duduk di samping ayahnya. Mereka menunggu Aga yang masih bersiap-siap.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang. Aga terlihat segar dengan celana jeans berwarna hitam dan kaos yang dilapisi hodie berwarna hitam.

Tidak ingin berlama-lama, Raga langsung saja ijin untuk membawa Aga bersmaanya. Aga berpamitan dengan ayah, kakak, dan abangnya.

Barang-barangnya sudah berada di mobil jadi Aga tidak perlu membawa apa-apa.

"Sering-sering mampir ya dek," ujar Wildan.

"Iya,yah."

"Jaga kesehatan ya dek, kalo kakak ada waktu luang kita jalan-jalan."

"Iya Kak."

"Gue bakalan kangen banget sama lo dek."

"Kan kita masih bisa ketemu di sekolah bang," ujar Aga.

"Hehehe iyaa sii," balas Zigas dengan cengirannya.

Setelah itu dia bersama dengan Raga masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu. Mereka duduk berdampingan. Selama perjalanan tidak ada suara, mereka sama-sama canggung. Bagaimanapun mereka baru bertemu setelah 16 tahun lamanya.

"Rumah daddy masih sekitar sini aja kok dek, jadi kapan-kapan kamu bisa main ke rumah ayahmu," Raga membuka percakapan.

"Iya Da-ddy," jawab Aga dengan nada canggung.

Raga yang pertama kali dipanggil daddy oleh Aga tidak bisa menahan senyumannya.

"Kamu bilang apa tadi dek," tanya Raga dengan nada menggoda.

"Iya daddy," ulang Aga membuat Raga tidak bisa menahan diri untuk memeluk anaknya.

"Katanya kemaren kamu demam ya?"

"Iya dad."

"Udah baikan sekarang?"

"Udah sehat kok."

"Syukur deh kalo gitu."

Tidak lama kemudian mereka sampai di salah satu rumah pekarangan elit. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan rumah ayahnya-Wildan, namun dia tidak memungkiri bahwa rumah daddynya memang lebih besar.

"Yuk turun dek."

Mereka turun bersama di sambut oleh satpam dan beberapa pelayan yang ada di rumah.

"Kamu suka makan apa dek?"

"Aku apa aja suka kok dad, tapi aku suka ayam balado."

Raga memerintahkan para pelayan intuk membuatkan ayam balado dan lauk-lauk lain. Sembari menunggu makanan, Raga mengarahkan anaknya untuk menuju kamarnya.

"Ini kamarmu," ujar Raga sambil menunjukkan sebuah ruangan yang memang sudah di desain olehnya begitu mendengar Aga akan tinggal dengannya. Kamar dengan nuansa abu-abu muda itu berukuran luas. Di dalamnya sudah tersedia berbagai peralatan sekolah dan rak buku. Bahkan di dalam lemari sudah terisi banyak pakaian. Padahal pakaian yang dibawanya belum dimasukkan.

Mereka duduk di pinggiran kasur.

"Daddy tinggal sendiri disini?"

"Iya, tapi sekarang engga sendiri lagi. Kan ada Aga. Maafin daddy atas semua yang udah kamu lewatin selama ini. Maaf gak bisa melihat tumbuh kembangmu. Maaf gak bisa selalu sama adek di waktu susah," ujar Raga sembari membawa Raga ke dalam pelukannya. Dia begitu rindu dengan putranya. Benar-benar rindu.

Aga merasakan getaran di bahunya. Ya, daddy nya menangis. Dia pun membalas pelukan Raga tak kalah kencang, dia juga ikut menangis. Menumpahkan segala ketakutannya di masa lalu.

"Adek takut dad, mereka semua jahat. Gak ada yang mau nemenin adek. Untung aja ada Ayah Wildan yang mau nampung adek. Kalo engga adek gak tau gimana adek hidup," ujar Aga sambil menangis sesenggukan.

Raga yang mendengarnya ikut merasakan sakit. Dia begitu kecewa dengan dirinya sendiri. Seharusnya sebagai seorang ayah, dia tidak hanya menunggu dan menunggu, dia merasa seperti seorang pengecut.

Mulai sekarang dia benar-benar akan melindungi putranya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.























Jangan lupa vote dan komen.





XERAGRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang