Buket Matahari

285 27 0
                                    

"Mengapa belum datang?" batin Aoom harap-harap cemas.

"Jam pulang sebentar lagi, hanya belasan menit tidak usah ditunggu begitu," lontar wanita berdarah Thai – Australia mendapati rekan sekaligus sang sahabat terus mengamati lingkaran angka terpajang di dinding. Tak terhitung sudah berapa kali dalam setengah jam terakhir.

"A-aku tidak menunggu jam pulang, Char."

Wanita disapa Char atau sering dipanggil Charlotte mencibir tak percaya sembari terus menghitung catatan pemasukan hari ini. "Ohhooo, jangan-jangan mau pergi berkencan ya?"

"Haiisshhh, mana ada. Jangan asal bicara!"

Mendengar sanggahan tegas juga samar-samar mendapati raut risih, Charlotte menghentikan jemari yang tadinya sibuk mengajak pena menari di atas kertas. Dilirik sejenak sosok bermata sipit sembari melempar senyum nakal.

"Aoom? Siapa dia?"

"Mai dai na. Aku tidak berkencan atau sedang dekat dengan sese-"

Ting. Bel berbunyi bersamaan pintu toko terbuka. Menampakkan sesosok pelanggan yang bukan pertama kali datang kemari. Seorang wanita berkulit putih, rambut hitam lurus sepunggung, dan memiliki mata bulat yang bukan ciri khas darah Thai. Wajahnya datar, hanya tersenyum kecil sembari pergi ke deretan rak yang itu-itu saja setiap kali datang. Rak bersusunkan bunga matahari.

"Sela-"

"Aku saja," tegas Aoom bangkit.

Raut ramah Charlotte berganti heran selang sepersekian detik dari perubahan mimik Aoom yang seketika ceria. Rekan yang tadi tampak cemas sigap berjalan penuh semangat menghampiri pelanggan itu.

"Bunga matahari lagi?" tanya Aoom memanah lekuk wajah si pelanggan dari samping. "Cantik dan tampan."

"Iya, seperti biasa."

Aoom memanggut sumringah seraya meraih tiga belas tangkai bunga matahari berukuran campur. Sementara pelanggan yang setia membeli buket matahari langsung duduk sembari meraih ponsel, bak tak berminat atau tertarik pada bunga lain. Hanya ingin buket matahari yang dibungkus dengan cellophane paper bewarna merah. Tak ketinggalan pita bewarna kuning melilit di bagian tangkai.

"Jadi kau menunggu ini?" pikir Charlotte menopang dagu seraya menutup senyumnya dengan jemari, mencuri-curi pandang ke wajah Aoom tampak berseri membungkus bunga matahari.

"Permisi, sudah selesai."

Wanita itu bangkit memasukkan ponsel ke saku dan menghampiri kasir. Usai bertransaksi dia pergi bersama buket di timangan, membiarkan Aoom terus tersenyum hingga bel berbunyi senada pintu tertutup menelan punggung di sana.

"Ouuhhh jadi kau menunggunya ya?"

"Hahahah, iya. Dia selalu datang pada tanggal 19 setiap bulan, ini kelima kali."

Charlotte tersentak, dia menatap ponsel berganti ke kalendar memastikan hari ini benar-benar tanggal 19. Namun, lebih mencengangkan adalah Aoom benar-benar hafal waktu serta pesanan pelanggan tadi.

"Kau tahu namanya?" Aoom mengeleng. "Tapi kau tertarik padanya?" Kali ini Aoom tersenyum malu-malu seraya mengangguk pelan. "Bodoh! Bulan depan tanyakan namanya, ajak mengobrol, atau apapun. Apa artinya menaruh perasaan diam-diam? Tidak akan bertumbuh seperti benih tanpa pupuk dan air. Payah!"

"Dia terlalu dingin. Kau tidak lihat?"

"Berarti kau harus hangat. Sesuatu yang dingin akan mencair jika ada suhu hangat di sekitar, begitu saja tidak paham. Itu hukum fisika dasar dan berlaku untuk perasaan."

MeenBabe *Oneshoot Story*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang