Pure Imagination 1

199 10 0
                                    

"Narak," ucap Meena tersenyum malu-malu dan menenggelamkan wajah memerah di tekukan lengan. Tak ada siapapun di balkon apartemen, dia sendiri dalam bayang-bayang kejadian sore tadi, tapi tetap saja tersipu senang dan malu. 

Bagaimana tidak? Hampir sejam lalu sebelum menjelang makan malam, Meena tiba di serambi apartemen. Dia diantar kepala divisi, Aoom, yang juga pernah menjadi kakak tingkat sekaligus orang yang disukai bertahun-tahun silam. 

"Hei, kau di sini juga," sapa teman sefakultas, Tia, menghampiri Meena bersama sekantong plastik. Dia langsung duduk di sanding tanpa bertanya boleh bergabung atau tidak. 

"Aha. Kau... sendiri?"

"Menunggu Pim. Hihihi. Buah segar, jangan sungkan-sungkan!" ujarnya menyodorkan mika berisi buah-buahan. "Kami akan pergi ke pameran seni setelah ini."

Meena memanggut seraya meraih sepotong jambu biji dan pura-pura lanjut membaca agar tak tertangkap Tia kalau sebenarnya dia hanya ingin melihat Aoom. Berusaha keras mencermati setiap tulisan di buku, takut-takut gelagapan seperti orang tolol jika Tia tanya nanti. Bisa saja dijawab, 'oh belum tahu, masih ingin kugali' andai dia membuka halaman awal. Sayang, novel The Cursed Hand karya penulis asal Indonesia terbuka di tengah-tengah.

"Ngomong-ngomong Aoom sangat cantik."

"Aoom?" pikir Meena menarik wajah dari buku. "Aoom?" tanya dia berpura-pura.

Tia mengangguk sembari mengunyah jambu air. "Mahasiswi yang memakai hoodie warna krem dan celana training selutut. Dia cantik, tapi Pim lebih cantik. Hahahahah. Pacar Aoom seorang tom, sering menjemputnya."

Deg! Mendengar pujaan hati sudah memiliki pacar, Meena tergelak. Upaya memusatkan pikiran pada buku rusak sudah. Suhu di kedua jemari menghangat tiba-tiba. Dada pun merasa ada pergolakan. Tersadar jangankan mendapatkan hati salah satu dancer itu, belum sempat mengobrol lebih dekat saja dia sudah harus mundur.

"Aku dan Pim sering pulang bersama, jadi tak jarang bertemu Aoom di lobi atau halte. Alih-alih menunggu bus, Aoom dijemput oleh orang yang selalu sama. Ternyata pacarnya. Mereka terlihat cocok."

Terlihat cocok. Lagi, penuturan Tia yang tanpa perlu ditanya langsung melesat persis anak panah tepat menusuk ke tengah-tengah hati Meena. 

"Aoom adalah penari dan tom kekasihnya adalah pemain musik. Haahhh, apakah aku harus menjadi musisi untuk mendapatkan Pim? Persahabatan kami stuck di sana, padahal aku berharap lebih."

Dan Meena tetap sering menghabiskan waktu di gazebo di jam latihan Aoom, bersama novel yang nyaris tak dibaca. Dia tak peduli siapa atau seperti apa wujud kekasih Aoom yang dinilai cocok oleh Tia. Tidak mau mencari tahu atau memastikan pula mereka sungguh pacaran atau tidak. Bagi Meena melihat Aoom dan bisa saling mengenal baik sudah cukup.  

Sampai tibalah kelulusan mengantar Aoom pergi sekaligus menghentikan kegiatan Meena. Mereka hadir hanya sebatas penonton story  atau kolom like di akun sosial media masing-masing. Lalu dipertemukan lagi oleh pekerjaan dan membawa mereka lebih dekat. Secara jarak, bukan hati.

"Kita searah jadi selama sudah sama-sama menyelesaikan pekerjaan, pulang bersamaku saja," tutur Aoom sesampai di depan gedung apartemen, masih bersama senyum lebar yang menyipitkan mata dan perlihatkan gigi putih. "Dan apartemenku tidak jauh. Kalau kau dalam masalah atau butuh sesuatu, tidak usah sungkan, Nong."

"Aku akan bekerja sangat baik dan tepat waktu, dengan begitu bisa sering duduk di sanding Khun Aoom dan melihat senyumnya yang manis. Tapi sebisa mungkin tidak menyusahkanmu," ucap Meena dalam hati, masih terbayang obrolan sekian detik tadi.

*

"Euuhhhh," desis Meena kesekian kali seraya memegangi perut. 

Asam lambungnya naik lantaran telat makan. Sementara dia kehabisan obat pereda rasa sakit. Di dapur dan kulkas hanya tersedia susu kedelai dan dua potong roti tawar. Sambil menahan rasa sakit dia menuangkan susu ke gelas lalu ditenggak agak buru-buru. Dituangkan lagi ke gelas kemudian beralih meraih pisau makan untuk mengoleskan margarin ke roti. 

"Ini benar-benar sakit," rintih Meena tak bergerak sejenak. Kedua jemari gemetar dan terasa dingin. Sialnya dia tak ingat apalagi menyimpan nomor darurat apartemen. Dan jangankan turun minta bantuan petugas, berdiri saja serasa membiarkan sayatan menjadi-jadi. 

"Kalau kau dalam masalah atau butuh sesuatu, tidak usah sungkan, Nong."

Sekelabat wajah Aoom mengetuk kepala. Dalam situasi begini Meena tak menemukan paling tidak satu sosok yang bisa sampai dengan cepat di apartemen selain Aoom. Terpaksa dia harus merepotkan sang kepala divisi. 

Tuuutttttt. 

Meena menggeletakkan ponsel sembari menunggu Aoom menjawab. Sayang, tidak terjawab. Dipikir mungkin Aoom terlelap menikmati hari libur atau justru sedang mandi. Lagi, dia mencoba melakukan panggilan. Harap-harap cemas, Meena kembali meraih roti dan pisau. Jemarinya masih gemetar. Roti di telapak kiri reflek jatuh bersamaan pisau bertumpu margarin mendarat. Srrttt! 

"Akh!" pekik Meena tak sengaja menggores telapaknya sendiri hingga berdarah. Spontan dia tergelak melepaskan pisau tapi justru menyenggol gelas susu kedelai. Pyaarrr! 

Cairan putih olahan biji kedelai berceceran di lantai bercampur serpihan kaca. Meena mendesis menatap kekacauan akibat kelalaian menjaga kesehatan. Tanpa disadari panggilannya telah berakhir. Meena yang sadar panggilan berakhir, mengira bahwa sekali lagi Aoom tak berhasil menjawab telepon. Akhirnya dia pun mencoba kembali. 

"Kumohon kali ini saja," batin dia tak mampu bersuara. Bibirnya sudah pucat, kedua mata terasa panas. Kepala bak ditimpa beban lain. 

Bruk! Meena tumbang di sisi kaki meja, menyumbu lantai basah dan membiarkan pecahan kaca menancap beberapa inchi kulit. Darah dari jemari akhirnya menodai warna dari susu. 

*

"Duduk!" pinta Aoom ketus menyorot tajam wajah Meena di sebrang meja kerja. "Apa-apaan kau? Hanya karena aku bersikap baik dan menawarkan bantuan bila terjadi sesuatu, bukan berarti kau bisa menelepon atau mengusik kapan saja," sentaknya. 

"Ma-maaf, Khun-"

"Sabtu malam minggu, kau berulang kali menghubungiku padahal sudah kumatikan. Harusnya kau paham kapan waktu kerja dan kapan istirahat. Panggilanmu benar-benar mengusik quality time. Aku hampir bertengkar dengan kekasihku gara-gara ini."

Meena nyaris tak berkedip melihat kemurkaan Aoom di senin pagi. Sepulang dari rumah sakit dia baru mengetahui bahwa Aoom memang menutup dua panggilannya tapi tidak ada pesan apapun. Meena pikir Aoom pasti marah dan dia berniat meminta maaf secara langsung. Hanya dia tak mengira sang kepala divisi akan semarah ini pada kejadian dua malam lalu. 

"Aku..." Meena menarik napas berat dan membasahi bibirnya. "Harap... kalian baik-baik, Khun Aoom. Da-dan aku juga baru tahu kema-"

"Kau baru tahu? Bualan macam apa ini? Panggilan berakhir dan datang panggilan baru, lalu kau bilang baru tahu?" ujar Aoom kembali meninggi.

"Tolong maafkan aku, Khun Aoom!" tegas Meena menunduk. "Aku janji itu adalah hari terakhir meneleponmu di luar jam kerja."

"Bagus!"

Tok tok tok! Glek!

-tbc-

MeenBabe *Oneshoot Story*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang