Apakah ini sebuah apel biasa? Aku mendengar di cerita-cerita kalau ada satu gadis yang mati setelah memakannya.
Sub Genre: Fantasi
***
Aku berjalan melintasi hutan dengan sinar mentari yang mulai terbenam. Cahaya keemasan yang terlukis memperlihatkan keindahan di dalam dunia yang kejam ini. Kini aku tersadar walau mereka memusuhiku setidaknya alam masih nemerimaku.
"Aku pulang."
Aku tersenyum miris menatap rumah kosong itu. Sedih rasanya harus tinggal dan bertahan di dunia ini sendirian. Namun, mau bagaimana lagi semenjak insiden kebakaran itu para penyihir pun dibantai tanpa kejelasan. Entah suatu keberuntungan atau musibah baru, aku berhasil selamat dari pembantaian itu. Kini aku menjalani hari-hariku tanpa memperlihatkan identitas.
"Keluar kau penyihir!!"
Seruan itu membuatku terdiam. Aku memastikan kembali hal yang aku dengar. Aneh rasanya mereka mengenaliku sebagai seorang penyihir setelah puluhan tahun lamanya.
"Keluar kau!!"
Duk duk duk
Suara teriakan dan leparan batu yang terus terdengar membuatku harus mengalah. Perlahan aku membuka pintu kayu tua itu hingga segerombolan masa terlihat di hadapanku. Obor-obor yang menyala pun tampak siap menghanguskanku dan rumah tua ini.
"Seret penyihir itu!" seru seorang wanita membuat dua orang pria menarikku dengan paksa.
"Tunggu! Lepaskan aku! Memangnya apa salahku?!" berontakku.
Tanpa basa-basi wanita itu melayangkan tamparan di wajahku. Membuat suasana menjadi hening seketika. "Jangan berpura-pura lagi! Kau kan yang memberikan Apel beracun itu! Kau sengaja membunuh putri Viscount Hampden yang penuh kasih!!" ucapnya dengan nada tinggi.
Aku terdiam. Aku memang telah mendengar kabar bahwa putri tertua Viscount Hampden meninggal, tetapi aku tak menyangka insiden ini akan mengarah padaku. Sungguh, aku tak memberikan racun pada Apel itu. Lagi pula bagaimana aku bisa tahu jika ada putri Viscount Hampden di antara rakyat biasa.
"Tidak! Aku hanya membagian Apel dari kebun! Aku juga tidak tahu jika puti Viscount ada di antara rakyak biasa!"
Wanita itu kembalk menamparku, "Jangan mengelak! Semua bukti tertuju padamu!"
"Gantung dia di pusat kota!!" Perintah sang wanita membuat seruan kematian kembali menggema. Mereka terlihat begitu senang membunuh orang lain tanpa mengetahui kebenaran.
"Hentikan!"
Pasukan kerajaan berdiri tegap dengan tatapan datarnya. Di depan para pasukan seorang pria dengan pakaian bangsawan elit tampak memimpin. Aku terdiam menatap wajah yang tidak asing lagi.
"Beri hormat pada Yang Mulia Putra Mahkota!" Mataku membelalak mendengar seruan prajurit itu. Bagaimana mungkin Louis, pemuda yang kukenal sebagai rakyat biasa ternyata bukan sekedar orang yang berpengaruh di kerajaan, melainkan seorang putra mahkota. Dia bahkan tidak pernah absen mengambil jatah Apel yang aku bagikan untuk rakyat jelata.
Tanpa membantah mereka menundukkan kepala. Meski begitu mereka tidak menutupi ketidaksukaannya padaku dan menundukkan kepalaku dengan kasar.
Suasana terasa hening. Hanya langkah tenang sang pangeran yang terdengar. Aku terdiam menatap sepasang sepatu yang berhenti di hadapanku. Louis berjongkok, tangan kekarnya membuatku mendongak.
"Ambil Apel yang dia bagikan," perintah Louis.
Ia tersenyum menatap sekeranjang Apel yang dibawa pengawalnya. Senyuman licik yang terlihat diwajahnya membuatku merasa bingung. Sulit untuk mengerti jalan pikirannya, meskipun aku telah mengenalnya cukup lama.
"Makan ini," ucapnya pada wanita yang menamparku.
Wanita itu tampak terkejut. Namun, tatapan Louis membuatnya tak mempunyai pilihan lain. Pada akhirnya wanita itu menghabiskan satu buah Apel sendirian.
"Apa kau mati?" tanya Louis dingin.
Wanita itu menggeleng ragu-ragu. "Lalu kenapa kau menuduhnya memberikan Apel racun? Apa buktinya?" tanya Louis.
"Ta-tapi Yang Mulia. Dia seorang penyihir! Dia hanya ingin kita mempercayainya sebelum kembali melakukan pembunuhan!" bantah wanita itu.
"Cukup! Siapa pun yang menghina calon putri mahkota akan dihukum sebagai penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Seret wanita ini!" perintah Louis.
Aku terdiam menatap wajah yang tampan dan tegas itu. Aku terkejut dengan penyataannya hingga tanpa sadar genggaman pada kedua lenganku pun menghilang. Gerombolan masa yang menyerang pun kembali surut membawa keheningan dalam hutan.
Louis mengulurkan tangannya, membantuku untuk bangkit. Senyuman lembut kini menghiasi wajah yang tadinya datar. "Maafkan aku. Sekarang tidak akan ada yang berani melukaimu," ucapnya memelukku.
"Tunggu!" ucapku melepas pelukannya. "Apa maksudnya calon putri mahkota itu, Louis? Dan kau sungguh seorang putra mahkota?"
Dibelainya lembut kepalaku. "Banyak sekali pertanyaanmu, calon putri mahkota," ucapnya menggodaku.
Takdir memang sangat unik. Hidupku berubah dalam sekejap hanya karena beberapa Apel.
***
"Cinta bisa saja tumbuh dari hal kecil yang tidak kita sadari"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliotheca
RomanceRuang luas yang menyimpan kisah para manusia. Seiring berjalannya waktu kisah-kisah itu kian menumpuk, membentuk bukit yang tinggi menjulang. Dan ingatlah satu hal yang pasti, setiap manusia memiliki takdirnya masing-masing.