Pasific Ocean

10 5 1
                                    

Kapten satu ini menjelajahi samudera dan menciptakan peta di wilayah terpencil untuk ekspedisi ilmiah.

Sub Genre: Historical

***

"Kapten, kapal lain mendekati perairan."

Ucapan yang terdengar dari balik pintu itu membuatku bangkit. Rambut yang tadinya kubiarkan terurai kini kuikat dengan sebuah pita. Dengan langkah tenang aku berjalan meninggalkan ruangan.

Mataku menatap para anak buah yang siap di posisi masing-masing. Mereka menggenggam erat senjata meskipun tak mengeluarkan dari sarungnya. Aku melangkah mendekati nahkoda yang sibuk mengendalikan kapal.

"Berapa orang?" tanyaku.

Pria itu menyerahkan teropong yang digenggamnya, "Sekitar 6 orang yang terlihat."

Aku menutup satu mataku agar dapat melihat teropong dengan lebih jelas. Pengelihatanku menangkap wujud para pria yang pakaiannya rapi dan bersih. Dalam sekali lihat saja aku sudah tahu di mana kasta mereka sehingga tak mungkin untuk melepaskannya begitu saja.

"Naikkan layar!! Kita harus segera mendekat!!" teriakku membuat mereka bergerak cepat.

"Dekatkan kapal tapi jangan sampai menabraknya. Aku tidak mau kehilangan harta di kapal itu," ucapku mendapatkan anggukan dari Jhonson, si nahkoda.

Anak buahku yang lain pun siap untuk melompat begitu kapal kami berdekatan. Tali yang menjuntai telah mereka genggam dengan senjata yang telah memperlihatkan wujudnya.

"Sekarang!!"

Mendengar teriakkanku membuat mereka lantas beraksi. Bagaikan pahlawan negeri dongeng mereka lelalui jarak antar kapal yang terbilang masih luas dengan mudahnya. Sayangnya, mereka bukahlah pahlawan melaikan perompak yang siap merampas segala hal.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk melumpuhkan target. Mengikat mereka dan mengumpulkannya di tengah kapal.

"Baiklah, kini saatnya aku menampakkan diri," ucapku mengembalikan teropong yang telah kugunakan. Aku merail tali yang menggantung di dekatku. Dalam sekali ayunan aku dapat memperlihatkan pendaratan yang sempuran.

Aku menatap para tawanan satu per satu, hingga mataku terhenti pada seorang pemuda. Kulitnya tampak putih dengan rambut pirang dan mata biru, sungguh berbanding terbalik denganku. Ia hanya mengenakan kemeja putih dengan bawahan celana hitam. Namun, aku dapat mengetahui bahwa ia yang memimpin kapal ini. Terlebih lagi rekasi waspada yang diperlihatkan anggota lain saat aku terlalu lama menatapnya.

"Kemana tujuan mereka?" tanyaku pada anak buahku.

Salah satu dari mereka menyerahkan gulungan yang terikat oleh tali. "Dari peta ini, sepertinya mereka sedang menuju Pulau Rempah," jelasnya.

Aku terdiam menatap gambar pada peta itu. Gambar jalur laut terlihat mendetail dengan arah mata angin yang memudahkan pembacanya. Aku kini memahami dari mana peta bagus ini berasal. Penjelajah sebelumnya pasti telah memberikannya secara cuma-cuma. Jika aku jadi dia, akan ku simpa harta ini untuk diriku sendiri.

Aku berjalan mendekati si pemimpin yang posisinya tak jauh dariku. Dengan penuh kesombongan ia tak menundukkan padandangannya padaku. Pria itu justru menatapku dengan terang-terangan, seolah aku yang menjadi targetnya. Dan aku membenci hal itu.

"Kurung mereka semua, kecuali pria ini! Bawa dia ke ruanganku!" Ya, ruangaku. Kapal ini kini pun menjadi milikku. Aku dapat dengan bebas melakukan apa pun yang aku mau, termasuk menghukum mereka yang tidak tahu diri.

Pria itu kini didudukkan di atas sebuah kursi. Semakin dilihat, aku semakin jengkel melihat ketenangan di wajahnya. Seolah, ia yakin tak akan mati di tanganku.

"Apa yang kau cari di sini?" Pria itu tetap diam. Jelas sekali ia ingin menyembunyikan tujuannya.

Aku yang merasa geram lantas lantas mencengkram wajahnya. "Ku bilang apa yang kau cari?!"

Pria itu memperlihatkan senyuman liciknya. Sorot mata datarnya pun bergati bagai harimau yang siap menerkam. Hingga membuatku sempat bertanya-tanya sebenarnya di antara kita siapa yang menjadi perompak.

Dengan gerakan cepat ia melepaskan cengkramanku. Entah bagaimana bisa tali yang mengikat kedua tangannya terlepas dengan mudah hingga pria itu dapat mengunci gerakanku. Ia membuatku berbalik dengan kedua tangan yang menyilang di perut. Bahkan pria itu membuatku duduk di pangkuannya.

Kini jantungku berdegup dengan kencang. Aku pun merasa heran, bagaimana mungkin keturunan perompak ulung sepertiku mudah dikalahkan. Aku pun telah berusaha melawan dengan menggerakan seluruh tubuhku, tetapi yang kudapat hanyalah rasa tak nyaman lantaran tubuh kami yang semakin menempel. Aku pun dapat merasakan dada bidangnya di punggungku hingga membuatku merinding.

"Akhirnya kau berhenti. Jika kau bergerak lagi, mungkin akan terjadi hal lain di antara kita," bisiknya padaku.

Aku terdiam sejenak sebelum melontarkan umpatan kasar. "Lepaskan aku!" bentakku.

Pria itu terkekeh pelan. "Lepaskan? Padahal aku sudah menempuh perjalanan jauh, tapi kau justru memintaku untuk melepaskan hal yang aku cari ini?" ucapnya mendekapku semakin erat.

***

"Ada kalanya Cinta memang menuntut sebuah perjuangan"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang