Late

9 4 1
                                    

Transponder di tubuhnya, untuk pertama kali berkedip, berkas sinar kemerahan menembus dari dalam kulit, seakan menunjukkan: BAHAYA!

Sub Genre: Sci-Fi

***

Teknologi semakin berkembang. Hampir seluruh sektor kehidupan memanfaatkan teknologi dalam perkembangannya, bahkan dalam pernikahan sekalipun. Pasangan yang baru saja menikah akan diberi chip yang terhubung satu sama lain. Hal ini dilakukan untuk saling mengetahui keadaan satu sama lain, mengingat jumlah penduduk bumi terus berkurang sejak 6 tahun terakhir.

Kutatap lengan kiri tempat chip tak terlihat itu ditanam. Setelah tiga tahun aku menikah perasaan bosan kini menyelimutiku. Wanita yang aku bawa dari kedua orang tuanya kini terlihat tak menarik lagi. Aku pun sudah tidak merasa kagum dengan caranya merawatku selama ini. Karena, memang itulah tugasnya.

Ingin rasanya aku mengganti istriku dengan gadis muda yang tertidur pulas disampingku. Kulit putihnya terlihat jauh lebih menarik dibandingkan istriku. Terlebih lagi sifat polos dan manjanya terlihat imut bagiku. Namun, sayang negeri ini tak memudahkan kami untuk bercerai dan menikah lagi setelahnya. Terlebih lagi istriku adalah putri seorang brigadir jenderal yang posisinya jauh lebih tinggi dariku.

Misi penyelidikan yang tak kunjung memberikan titik temu membuat pikiranku semakin kalut. Beruntungnya gadis ini berada satu tim denganku. Sehingga aku dapat memuaskan hastratku yang telah tertahan selama beberapa bulan. Hal ini juga yang membuatku semakin tertarik padanya.

Clip clip

Cahaya merah yang berkedip di tanganku membuatku terkesiap. Cahaya ini menandakan seseorang yang telah aku nikahi berada dalam bahaya. Tanpa basa basi, aku mengambil benda pipih yang tergeletak di meja.

Aku menekan beberapa tombol sebelum mendekatkan ponsel itu ke telingaku. "Sial!" Tidak ada jawaban yang aku terima. Hingga akhirnya setelah sekian kali mencoba aku dapat terhubung dengan sang pemilik ponsel.

"Ha-halo?"

Suara wanita yang kembali ku dengar setelah setengah tahun membuatku merasa sedikit lega. Ada penyesalan yang aku rasakan tatkala mendengar suara itu setelah tidur dengan perempuan lain. Terlebih lagi sang selingkuhan masih menahanku dalam pelukannya.

"Sayang, apa semua baik-baik saja?" tanyaku lembut.

"Ahh iya."

Aku terdiam mendengar jawaban singkatnya. Aku sadar suaranya terdengar berbeda. Suara yang selalu menyambutku dan berusahan menarik perhatianku kini terasa dingin.

"Sungguh? Kenapa aku menerima sinyal merah?"

"Eunggg kenapa kamu bangun? Aku tidak bisa tidur tanpa pelukanmu!" Mataku hendak lepas mendengar ucapan manja dari wanita di sampingku. Aku khawatir istriku mendengar suara jalang ini.

"Tutup mulutmu!" ucapku setelah menjauhkan ponsel.

"Halo, sayang?" tanyaku padanya.

"Ma-maaf, masakanku hampir gosong. Aku tutup dulu ya." Ucapan singkatnya membuatku semakin heran. Normalnya aku yang selalu mengakhiri panggilan telepon. Dan dalam kondisi apapun ia selalu berusaha untuk terus mendengar suaraku. Aneh rasanya ia tiba-tiba berubah seperti ini.

Firasat buruk yang muncul membuatku bersiap. Kukenakan kembali seragam yang berserakan dilantai sembari mengemas beberapa pakaian.

"Hanya kerena istrimu menelepon kau langsung kembali?"

Aku yang tak menggubris pertanyaannya membuatnya bangun tanpa busana. Ia memelukku dari belakang dan berusaha menahan kegiatanku.

"Padahal kau sengaja tak pulang selama setengah tahun hanya kerena aku lebih menarik. Tetapi, kenapa kau pergi setelah berbicara singkat dengannya?" ucapnya dengan manja.

"Sudahlah! Aku harus memeriksa sesuatu!" Sayangnya ucapanku tak digubris. Ia justru memelukku semakin erat. Bahkan tangan liciknya itu berani meraba ke berbagai tempat.

"Ku bilang lepas! Dasar jalang!" Aku lepas paksa pelukannya. Jijik rasanya melihat sikap murahan gadis itu. Aku pun menyesal telah menganggapnya menarik hanya kerena tak dapat menahan nafsu.

Tanpa memandang ke belakang aku pergi meninggalkan rumah itu. Mobil terbang yang diberikan pemerintah sebagai fasilitas kini aku gunakan setelah setengah tahun menganggur. Dengan ini aku bisa sampai rumah hanya dalam beberapa hari.

Aku terdiam menatap rumah yang terasa sunyi. Firasat buruk terlintas tatkala menatap rumah yang tak lagi terang di kala petang. Keanehan semakin bertambah saat pintu depan yang tidak lagi terkunci. Aku yakin istriku tak mungkin membiarkan keteledoran ini terjadi.

"Sayang aku pulang."

Aneh. Tak ada jawaban yang terdengar. Padahal biasanya ia selalu menyambutku dengan senyuman anggunnya.

Aku melanjutkan langkahku menuju dapur, tempat yang paling ia sukai. Terkadang ia tak mendengar panggilanku saat fokus memasak. Hingga aku memaklumi hal itu, karena itu adalah hobinya.

"Sayang?" Dan sekali lagi tak ada jawaban yang terdengar.

Aku memicingkan mata melihat sebuah cairan yang berceceran di meja. Dari baunya aku sudah tau bahwa itu darah. Bersamaan dengan itu sebuah chip kecil tergeletak di atas meja.

Dengan tergesa-gesa aku berlari ke lantai dua. Mengikuti jejak darah yang ada di lantai. Aku sungguh berharap tidak ada yang terjadi padanya. Aku berani bersumpah aku tidak akan melakukan hal lain yang akan melukai hatinya, asalkan dia selamat.

Aku terdiam menatap kamar kosong dengan bercak darah di atas tempat tidur. Mataku tak sengaja menangkap amplop putih yang tergeletak di atas nakas. Merasa penasaran aku lantas membuka amplop itu. Memperlihatkan sebuah tulisan latin yang begitu indan.

Untuk suamiku,

Maaf, karena aku telah memaksamu untuk menikah denganku. Aku juga yang telah menahanmu untuk berada di sisiku selama tiga tahun ini. Kini aku tersadar tidak seharusnya aku memaksakan kehendakmu. Aku pun tak bisa memintamu untuk mencintaiku seperti aku mencintaimu. Namun, aku senang kau telah menemukan seseorang yang kau cintai selama misi penyelidikan. Kini, aku akan pergi. Aku akan merelakanmu untuk hidup bersamanya. Aku pun akan terus berdoa untuk kebahagiaanmu.

Dan satu hal lagi. Meskipun kau tak menginginkan anak dariku, tetapi aku harap kau mau mendoakan anak yang ada di dalam rahimku ini.

Semoga kau selalu bahagia

Tertanda,
Florencia, istrimu

Aku terdiam membaca setiap kalimat yang tertulis. Tanpa sadar air mataku jatuh tanpa dapat dibendung. Dadaku pun terasa sesak, seolah tertikam oleh benda tajam. Bukanlah rasa iba atau rasa bersalah yang terus menghujani. Melainkan sebuah penyesalan yang terus memberikan rongga besar di dada.

Tak ada habisnya aku terus merutuki kebodohanku yang tega mengkhianati wanita yang cintanya begitu tulus padaku. Seharusnya aku menyadari ketulusan senyumannya dan cinta di balik tatapannya. Hanya dengan begitu aku tak akan kehilangannya.

***

"Hargailah mereka yang selalu ada di sisimu, karena kau tak akan tahu kapan mereka akan menyerah dan pergi merelakanmu"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang