Trapped

9 2 0
                                    

Aku berjalan ke sana ke mari selama tujuh hari, tetapi mereka tidak menyadari keberadaanku ... di hari kedelapan, aku sudah terperangkap.

Sub Genre: HTM

***

Malam semakin terasa suram. Rumah besar ini terasa begitu sepi dan hanya terdengar suara guyuran hujan. Sayangnya, hawa dingin ini tak membuatku mengantuk. Aku malah semakin mimikirkan suamiku yang tak kunjung pulang.

Padahal biasanya disaat-saat seperti ini kami akan menonton film bersama sembari menyantap mie kuah hangat. Oh dan jangan lupa selimut untuk menghangatkan tubuh.

"Kenapa dia tidak membalas pesanku?" ucapku menatap layar datar yang bersinar.

Tut tut tut. Panggilan yang tidak diangkat membuatku semakin khawatir. Apa dia sedang dalam perjalanan pulang atau justru harus lembur?

"Padahal sudah jam 10," ujarku menghela napas.

Ding dong

Aku yang terlalu senang mendengar suara bel lantas melompat kegirangan. Aku bahkan tak mengambil outer untuk menutupi tubuhku. Lagi pula siapa yang akan bertamu di malam yang hujan deras begini. Jadi, sudah pasti ini adalah suamiku.

Tanpa ragu aku lantas membuka pintu itu. Namun, aku tak melihat suamiku bahkan tidak ada seorang pun di sana. Pagar depan pun masih tertutup rapat artinya tidak ada yang melewatinya. Tak ingin ambil pusing aku pun menganggap ini hanya ulah orang-orang iseng.

Namun, saat akan berbalik sebuah petir menyambar dengan kencang hingga memecahkan salah satu kaca jendela. Listrik yang tiba-tiba padam pun membuat suasana semakin mencekam. Segara aku menutup kembali pintu dan hendak mencari lilin.

Namun, saat aku hendak menyalakan lilin aku kehilangan kesadaranku. Saat aku membuka mata aku telah terbaring di atas ranjang kamarku. Hari pun telah pagi tidak seperti yang kulihat terakhir kali. Waktu pun telah menunjukkan pukul 10 siang yang artinya suamiku pasti telah berangkat kerja.

"Kurasa dia terlalu khawatir hingga ia tidak tega membangunkanku," ucapku turun dari ranjang.

Aku lantas berjalan menuju dapur. Khawatir mungkin ia tak sarapan saat berangkat kerja. Namun, aku melihat makanan di meja dan satu set peralatan makan yang masih kotor di dalam wastafel. Syukurlah jika ia sempat sarapan.

Aku lantas melakukan pekerjaanku. Membersihkan seluruh rumah sebelum kembali bersantai. Namun ada yang janggal. Saat aku hendak menyapu teras aku menyapa beberapa tetangga yang lewat tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang merespon. Padahal tidak ada permusuhan diantara kami, tapi mereka seakan tidak menganggapku.

Malam ini aku kembali menunggu kedatangan suamiku, tetapi aku kembali mengalami kejadian yang serupa. Bahkan aku terus mengalami kejadian yang sama setiap hari. Seolah aku terjebak dalam waktu dan tak dapat melanjutkan hari.

"Istriku. Aku mohon kembalilah."

Suara itu menggema begitu saja. Aku tak tahu dari mana asal suara itu. Aku lantas mengambil langkah lain dengan pergi ke luar rumah. Namun, tidak ada perubahan, mereka seperti tak ada yang melihat kehadiranku.

"Sebenarnya apa yang terjadi??" bingungku.

Aku menatap kedua tanganku yang tampak aneh. Aku lantas menyentuh wajahku dengan kedua tangan itu. Namun, aku tak merasakan hangatnya hawa tubuh.

"Dokter tolong!!" Jeritan seorang wanita membuatku tersadar.

"Tolong selamatkan putri saya!"

"Dokter tolong istri saya! Saya mohon!!"

Suara itu terdengar keras dari dalam rumah. Dari luar aku dapat melihat rumah yang aku tinggali mengeluarkan cahaya merah. Seolah neraka telah berpindah ke dalamnya. Pagar rumah pun menutup dengan sendirinya. Dari kejauhan aku melihat sosok hitam yang ada di dalam kamar tidurku pada lantai 2.

Dengan cepat aku menghampiri pagar itu. Dengan sekuat tenaga aku menarik, berusaha membukanya. Tetapi, pagar itu seperti saling terikat hingga sulit dipisahkan. Aku pun memilih melompati sisi pagar lainnya. Namun, hasilnya sia-sia aku tak dapat kembali masuk ke dalam. Kini, aku sadar aku telah terjebak di antara dua dunia.

"Maafkan aku, suamiku. Maaf karena telah menuduhmu melakukan hal yang tidak kau lakukan dan tak mengakui kesalahku. Kini aku tak dapat lagi melihat wajahmu," ucapku dengan penuh penyesalan.

***

"Ada kalanya kita terlambat menyadari suatu hal, hingga harus mengorbankan hal lainnya"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang