My Math Teacher

6 2 1
                                    

Aku jadi terlalu sering melamun--sibuk merancang masa depan, dengan imajinasi tentang kehidupan berdua.

Sub Genre: Romance

***

Bagi kebanyakan siswa mungkin matematika adalah pelajaran rumit dan melelahkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berusaha menghindari pelajaran tersebut dengan berbagai alasan atau mungkin bolos pelajaran. Aku pun memikirkan hal yang sama, meskipun aku termasuk siswa teladan. Namun, semua itu berubah saat aku bertemu dengannya.

Mentari yang begitu terik membuat hawa kelas terasa semakin panas. Belum lagi kelas kami baru saja menyelesaikan pelajaran olahraga. Ingin rasanya aku menidurkan diri dan beristirahat sejenak. Namun, apa daya jam istirahat telah usai.

"Eh tau gak, kata anak kelas sebelah guru matematika kita ganti," ucap Winda, sahabatku.

"Minggu lalu kan Pak Somat emang udah bilang ke kita. Yah semoga aja gurunya gak lebih galak dari Si Somat," timpal Gadis.

Sungguh muak rasanya membahas guru pelajaran yang tidak aku senangi. Terlebih lagi aku sangat lemah dalam pelajaran ini hingga ingin menghapusnya dari pelajaran wajib. Jika aku menjabat menjadi meteri pendidikan.

"Haduhhh, mau ganti guru kaya gimana juga aku tetep gak suka mapel ini," balasku malas.

"Gurunya dateng!"

Teriakkan yang menggema membuatku dan kedua sahabatku membubarkan diri. Kamu kembali menuju bangku masing-masing meskipun dengan setengah hati.

"Selamat siang."

Suara berat yang masuk tanpa permisi mengalihkan perhatianku. Aku terdiam menatap wajah tampan yang telah duduk di kursi guru. Kemeja batik yang ia kenakan tak menutupi kesan kerennya. Bahkan guru muda itu terlihat begitu dewasa.

Dia adalah Marcel, guru baru pelajaran matematika. Berkat wajah dan karismanya dalam sehari saja ia berhasil menarik perhatian para siswi, termasuk aku dan kedua sahabatku. Para gadis pun semakin mengaguminya melihat sifat dingin yang ia berikan.

Tidak sedikit dari kami yang berusaha untuk melihat senyuman misteriusnya. Mulai dari mengajak Pak Marcel bicara hingga melemparkan gurauan. Namun, hasilnya nihil. Hanya para guru pria yang pernah melihatnya tersenyum bahkan tertawa. Namun, hal itu tidak berlaku padaku karena aku mendapatkan senyuman itu.

Di jam istirahat aku mendapatkan tugas untuk menumpuk PR yang di berikan. Aku pun meletakkan tumbukan kertas itu di ruang guru yang sepi. Memang aku dengar kali ini guru mengadakan rapat untuk acara sekolah.

Dari kejauhan aku menatap meja Pak Marcel yang ada di ujung ruangan. Tumpukan buku biru pun terlihat di atasnya. Tanpa sadar aku tersenyum, membayangkan ketampanan Pak Marcel saat mengoreksi tugas kami.

Sayangnya belum lama mengkhayal suara langkah yang terdengar membuatku tersadar. Aku menatap Pak Marcel yang berjalan cepat menuju mejanya. Ia bahkan tak menolehkan kepalanya padaku. Ya tentu saja, untuk apa dia menoleh.

Tak mau menunggu lama aku lantas merapikan kertas yang kubawa sebelum berjalan pergi. Aku harus melewati meja Pak Marcel saat akan meninggalkan ruangan. Karena, meja Pak Marcel memang ada di dekat pintu depan sedang pintu belakang masih tertutup rapat.

"Fanny." Panggilan lembutnya membuatku menoleh. Jantungku berdegup mendengar suara berat yang memanggil namaku itu.

"Tolong bagikan ini ke kelas," ucapnya seraya tersenyum manis.

Aku terdiam beberapa saat sebelum mengangguk. Sulit dipercaya aku mendapatkan sebuah keajaiban. Diantara sekian banyak siswi SMA hanya aku yang mendapatkan senyuman indah itu. Senyuman dengan lesung pipit dari pria yang terkenal dingin. Semenjak hari itu, aku jadi terlalu sering melamun sibuk merancang masa depan, dengan imajinasi tentang kehidupan berdua.

***

"Tidak ada lebih indah dari senyuman orang yang kita cintai"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang