Story Telling 2

9 3 0
                                    

Holocaust, pembantaian dengan kamp konsentrasi dan pemusnahan tahanan, seakan menjadi bukti kekejaman dan kekelaman manusia.

Sub Genre: Historical

***

Aku terdiam menatap bagunan yang terlihat unik. Warnanya tak mencolok persis seperti museum pada umumnya. Namun, berbagai tulisan yang memenuhi pintu masuk menjadi daya tarik tersendiri.

Perlahan aku melangkah masuk. Otakku terus berputar mengingat berbagai hal yang harus aku cari di museum ini. Aku harap aku bisa menemukannya dengan cepat dan menyelesaikan penelitian ini.

Semakin jauh melangkah semakin banyak aku melihat benda-benda bersejarah. Aku terdiam tatkala memasuki sebuah ruangan. Mataku tiada henti menatap foto hitam putih yang memenuhi dinding. Hatiku tergores menyaksikan wajah dengan senyuman yang tak dapat lagi di lihat.

Di museum ini menyimpan kisah peristiwa Holocaust, pembantaian dengan kamp konsentrasi dan pemusnahan tahanan yang seakan menjadi bukti kekejaman dan kekelaman manusia kala itu. Pembantaian terjadi tanpa mengenal gender dan usia. Betapa kejam membayangkan hidup di masa perang dunia ke 2.

"Anak-anak ini pasti tidak menyangka akan mati begitu saja."

Suara berat yang terdengar tidak asing membuatku menoleh. Mataku membulat sempurna, begitu terkejut walau aku tetap tak bersuara.

"Terpisah dari keluarga, menjadi eksperimen medis, ditembak, kelaparan, kelelahan. Padahal mereka tak tahu apa kesalahan yang mereka lakukan," ujar Deon melangkah mendekatiku.

Ia tersenyum miris, "Pada akhirnya mereka turut disalahkan hanya kerena terlahir dari kelompok musuh."

"Sialnya lagi, mereka beralasan ini sebagai bentuk keamanan."

Lelaki yang kini terlihat dewasa itu menatapku. Ia tampak tersenyum bangga mendengar ucapanku. "Sepertinya, Liaku sudah pintar," ucapnya membelai kepalaku.

"Apa karena itu?" Deon terdiam, tampak bingung mendengar pertanyaanku.

"Apa karena itu kau lantas pergi tanpa berpamitan 4 tahun lalu?"

Ia menghembuskan napas beratnya, "Lia, aku—"

"Kamu gak tau kan gimana khawatirnya aku? Kamu pergi tanpa berpamitan! Bahkan teman-temanmu tidak ada yang mengetahuinya!"

Air mata yang sedari tadi terbendung kini mulai jatuh perlahan. Dadaku pun terasa semakin sesak mengingat kisah kita semasa SMA.

"Sialnya, saat aku berusaha melupakanmu dan pergi ke negara asing. Kau justru muncul di hadapanku!" ucapku tersenyum kecut. "Bodohnya aku mengambil jurusan yang kau sukai."

Bohong jika aku tak merasa senang bertemu dengannya. Namun, kekecewaan yang kurasakan lebih mendominasi. Aku pun merasa telah menjadi asing bagimu, walau kita selalu bersama sebelumnya.

Aku tak ingin lagi membuang tenagaku. Tanpa bicara aku lantas berbalik pergi. Namun, ia menahanku seperti yang dulu ia lakukan. Dalam sekejap ia menarikku dan membawanya dalam pelukan.

"Lia, maafkan aku," ucapnya lirih.

"Aku mohon, tolong dengarkan penjelasanku. Aku tidak akan menyembunyikan hal apa pun dari mu."

Saat itu, jika aku tetap melawan dan memaksa pergi mungkin semuanya akan berbeda. Aku tak akan pernah lagi melihat wajahnya setiap waktu. Aku pun tak akan mungkin berada di dalam dekapan hangatnya setiap malam, seperti saat ini.

***

"Jangan hanya datang untuk menjadi bintang yang bersinar terang lalu menghilang"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang