The Dream

35 7 3
                                    

Debata Idup memberiku pertanda lewat sebuah perkamen terkait ramalan abstrak diriku sepuluh tahun kemudian.

Sub Genre: Fantasi

***

Embusan angin yang menerpa rerumputan, membuatnya menari tanpa irama. Bunga-bunga cantik bermekaran seolah telah menanti kehadiranku. Tanpa alas kaki kususuri tempat asing yang bagaikan taman bunga itu. Tanpa sadar senyumanku merekah menyadari kupu-kupu yang turut beterbangan bermain bersamaku.

"Anakku." Aku terdiam, menatap sekeliling. Namun, aku tak melihat orang lain selain diriku sendiri.

Cahaya menyilaukan muncul tiba-tiba dari langit. Sinarnya begitu terang hingga membuatku memicingkan mata. Semakin lama cahaya itu semakin mendekat, seolah ia memang datang untuk menemuiku.

"Anakku," panggil cahaya itu lagi.

"S-siapa kamu? Apa kamu peri cahaya?" Cahaya itu terkekeh pelan, tanpa menjawab pertanyaan dariku.

"Dia akan datang menemuimu." Aku terdiam, tak mengerti maksud dari ucapan cahaya itu. Siapa yang akan datang? Kenapa dia mau menemuiku? Apa peri cahaya mengenalnya?

Kini sang cahaya seperti membelah dirinya dan melayangkan serpihannya padaku. Serpihan itu membentuk sebuah burung kecil yang begitu indah. Bulunya tampak berkilauan diterpa cahaya mentari. Sayangnya, ia tak bertahan lama dan berubah menjadi sebuah perkamen saat mendarat di tanganku.

"Bukalah perkamen itu, anakku," ujar sang cahaya saat aku hanya diam menatap gulungan misterius.

Sesuai perintah aku membuka gulungan itu tanpa banyak bicara. Pada awalnya gulungan itu hanyalah sebuah kertas kosong. Namun, di detik berikutnya sebuah tinta emas mulai membentuk pola secara ajaib. Memperlihatkan wajah seorang lelaki hingga membuatku tak dapat berhenti mengagumi kejadian aneh yang kualami.

"S-siapa dia? Apa dia seorang pangeran?" tanyaku setelah menatap lukisan lelaki asing itu beberapa saat.

"Benang merah. Dia adalah benang merahmu." Aku terdiam, tak memahami maksud ucapan cahaya itu.

"Benang merah?"

"Benar anakku. Kau akan mengetahuinya nanti," ucapnya sembari bersinar semakin terang. Perkamen yang kupegang pun ikut bersinar seolah masih terikat oleh sang cahaya. Sinar itu jauh lebih menyilaukan hingga membuatku harus menutup mata. Dan dalam sekejap cahaya itu menghilang membawa serta perkamen yang tadinya kugenggam.

Kring kring

Suara alarm yang menggema memanggilku dari alam mimpi. Entah mengapa aku terbangun dengan rasa penasaran dan kebingungan yang menyelimuti. Aneh rasanya jika mimpi yang aku alami saat usia 7 tahun kini kembali terulang. Aku juga menyayangkan diriku yang sekarang tidak bisa mengingat lukisan itu di saat aku yang berusia 7 tahun berpikir ia seorang pangeran. Tidak ingin ambil pusing, aku lantas bangkit dan bersiap kembali menuju realita.

Sore ini hujan turun menghiasi sekolahku. Menyebalkan rasanya jika mengingat mimpi yang kualami membuatku melupakan segalanya, termasuk payung yang seharusnya kubawa. Alhasil hanya tersisa diriku seorang di sekolah yang besar ini.

Mungkin lebih baik aku melangkah pergi daripada harus menunggu kepastian dari langit mendung. "Ya, tidak ada salahnya kembali bermain hujan," ucapku sebelum melenggang pergi.

Namun, baru beberapa saat langkahku terhenti. Seorang lelaki menghalangi jalanku tanpa mengatakan apapun. Ia juga mengenakan payung sehingga aku tidak lagi merasakan rintik hujan.

Perlahan aku mendongakkan kepala, mencari tahu siapa lelaki tersebut. Aku terdiam, terpana menyaksikan keindahan dunia yang ada di hadapanku. Wajahnya begitu tampan dengan tatapan lembut yang tertuju padaku.

"Akhirnya, kita bertemu lagi," ucapnya sembari tersenyum manis.

***

"Tanpa diminta Dia pasti akan mencari dan datang menghampiri, karena cinta telah terpatri di dalam hati"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang