Hurt in Silence

8 4 1
                                        

Lebih mudah untuk mencintai dalam diam, tapi terasa sangat berat saat melihatnya bersama orang lain ... mungkin ini waktunya mengakui perasaan.

Sub Genre: Romance

***

Senyuman manis itu membuatku terpaku. Enggan rasanya untuk berpaling walau hanya sekedar untuk mengedipkan mata. Mentari pagi yang cerah ini seolah memberikan dukungan padanya agar tampak lebih menonjol.

"Stef, ayo. Kok ngelamun aja sih?" tanya sahabatku, Manda.

Aku tersenyum, "Seru aja ngeliatin anak main basket."

Raut wajahnya tampak tak puas dengan jawabanku. "Udah ah, ayok!" ajakku sebelum ia kembali bertanya.

"Sejak kapan Stef?" Langkahku terhenti. Aku yang tak memahmi perkataannya meminta penjelasan melalui tatapan.

"Sejak kapan kamu suka Galih?"

Satu kalimat yang dilontarkan Manda membuat bola mataku hampir keluar. "A-apaan sih! Aku gak suka kok!" ucapku terbata-bata.

Manda tersenyum licik, "Sudahlah ngaku aja. Aku ini sahabatmu. Aku pasti bakalan bantu kok."

Aku kembali terdiam. Kata-kata Manda memang benar terlebih lagi ia telah berhasil menyatukan beberapa anak di kelas kami. Jadi, bolehkah berharap kisahku akan seindah mereka?

"Semenjak Ospek."

Manda terdiam dengan mulut yang terbuka lebar. "Ospek?! Hampir 3 tahun dong?!" pekik Manda membuatku membungkam mulutnya dengan tanganku.

"Jadi, selama ini kamu berteman dekat sama dia sambil ngerahasiain perasaanmu?" lanjut Manda setelah aku lepaskan tangan.

Aku mengangguk, "Aku gak mau hubungan kita jadi canggung."

"Eh tapi dia kelihatannya juga nyaman sama kamu, Stef. Lagian bentar lagi kita lulus, kalau gak diungkapin sekarang gak akan ada kesempatan."

"Ta-tapi Man-"

"Udah deh, gak usah ngebantah. Aku akan buat kalian makin deket!"

Manda memang sahabat yang bisa diandalkan. Sesuai ucapannya dia selalu mencari kesempatan agar aku dan Galih bisa bersama. Ada kalanya dia sengaja membuat Galih berputar hingga melewati kelas kami entah bagaimana pun caranya.

Senang rasanya hubungan kami jadi semakin akrab. Ada banyak hal baru yang aku ketahui tentangnya. Juga, banyak hal yang membuatku semakin jatuh hati hingga tiba hari wisuda, di mana aku akan menyatakan perasaanku.

Aku berdiri menatap Galih yang terlihat keren dengan blazer hitamnya. Kini kami berada di belakang gedung yang telah disewa untuk acara wisuda. Jantungku pun rasanya hampir copot merasakan atmosfer yang membuat perutku terasa aneh.

"Kenapa Stef?" tanya Galih dengan suara beratnya.

Aku meremas kuat kebaya yang kukenakan. Mencoba mencari kekuatan untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam. "A-aku suka," ucapku pelan.

"Ha?" bingung Galih.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkannya dengan lantang. "Aku suka kamu!" ungkapku seraya menunduk, memejamkan mata. Tak lupa sekuntum mawar merah yang kusembunyikan di belakangku pun aku suguhkan padanya.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Hingga membuatku membuka mata, meskipun masih tak sanggup untuk kembali mendongakkan kepala. Terlebih lagi aku yakin wajahku pasti terlihat bagai kepiting rebus.

"Maaf," ucapanya membuatku mendongak perlahan.

"Aku gak bisa."

Kalimat jujur yang ia lontarkan bagai tombak yang menusuk jantungku. Terlebih lagi tatapan kasian yang tersorot semakin memperdalam luka ini. Mati matian aku menahan air mata yang hampir jatuh saat menatapnya.

"Galih!" Aku menoleh. menatap seorang gadis berkebaya yang berjalan ke arah kami.

"Aku nyariin kamu dari tadi. Mama mau kenalan katanya," ucap gadis itu dengan manja.

Sungguh aku membenci pemandangan ini. Luka penolakan dan fakta bahwa ia telah memiliki kekasih membuatku ingin pergi sejauh mungkin. Dan lagi, bagaimana bisa dia tega memperlihatkan kedekatannya setelah menolakku dengan dingin.

Aku hanya diam, tanpa menyaksikan kepergian dua sejoli itu. Samar-samar telingaku mendengar bagaimana Galih menjawab pertanyaan kekasihnya. Ia bilang bahwa ungkapan perasaanku bukan apa-apa baginya. Aku pun sadar sifat ramah dan perhatian yang dia berikan hanya sebatas etika belaka, tanpa sebuah rasa.

Namun, aku tidak pernah menyesali hari itu. Bahkan aku merasa lega telah mengungkapkan perasaan yang bahkan tidak menghilang setelah penolakan 5 tahun lalu. Kini dengan tenang aku bisa pergi sembari mengingat kenangan tentangmu dan masa sekolah kita. Walaupun baru seminggu yang lalu kita kembali bertemu setelah sekian lama.

***

"Sering kali Cinta tak mundah untuk dilenyapkan meskipun orang yang dicintai tak pernah dimiliki"

BibliothecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang