3. Only Him

2.2K 237 4
                                    

Alena bertolak pinggang, menatap Richy dengan mimik kesal. Fian juga melakukan hal yang sama, sehingga Richy benar-benar merasa terpojokkan.

"Kalian gak merasa kalau dia terlalu sensi?" tanya Richy mencoba membela diri.

Fian menghela nafas. "Apapun itu, kalau omongan kita nyakitin orang lain, lebih baik minta maaf dan gak ngajak debat," ucapnya.

"Kita gak bisa mengendalikan suasana hati orang, Chi. Tapi kita bisa mengendalikan omongan kita sendiri. Mungkin si Tiana memang lagi capek dan jadi sensi. Kalau aja tadi kamu langsung minta maaf, gak perlu ada yang kayak gini." Alena ikut menimpali. Wanita itu kini mulai mengurut-urut keningnya.

Richy membuang muka. Dalam hati dia membenarkan perkataan Fian dan Alena, namun dia gengsi untuk mengakui kesalahannya. Dia masih beranggapan bahwa yang tadi itu hanya candaan seperti biasa. Baru kali ini Tiana ngambek seperti itu.

"Mas, kita susul Tiana yuk," ajak Alena.

Fian mengangguk setuju. "Iya."

Richy segera menahan pergerakan kedua orang itu. "Bi--biar aku aja, Mas," ucapnya sedikit terbata.

Alena menatap sangsi. "Yakin?"

"Iya."

"Gak pulang sebelum ketemu dia," ujar Fian mewanti-wanti.

"Iya, iya." Richy menyahut dengan malas.

"Kalau gitu, kami pulang duluan. Takutnya Siera nungguin," ucap Fian.

Richy merespon dengan anggukan. Dia melihat bagaimana dua orang itu berbalik dan bergandengan tangan menuju mobil.

Setelah mobil Fian sudah tak terlihat, barulah Richy berjalan gontai ke mobilnya. Dia membuka pintu dan matanya langsung tertuju pada sling bag kepunyaan Tiana sekaligus beberapa barang endorse-annya.

Satu hal yang baru Richy sadari setelah dia memasuki mobil dan duduk sesaat menenangkan pikirannya. Tidak ada orang yang mau bekerja bahkan di saat di mana seharusnya dia sedang bersantai. Seperti malam ini, dirinya bisa makan malam dengan santai sementara Tiana harus tetap mengerjakan pekerjaannya selama di perjalanan menuju rumah Fian dan Alena. Bahkan ketika mereka mengunjungi tempat seindah ini, Tiana tidak bisa memuaskan dirinya memandangi jejeran pohon Tabebuya karena dia harus mengambil gambar sebanyak mungkin untuk kemudian diunggah ke sosial medianya.

Meski sedikit, Richy mulai merasa bersalah pada cewek itu. Dia menyalakan mesin mobilnya dan mulai menyusuri jalan yang tadi dilalui oleh Tiana. Itupun kalau cewek itu belum memesan taksi atau ojek online.

Setelah beberapa meter, Richy memutuskan untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan menelepon Tiana. Dia hanya ingin memastikan apakah cewek itu sudah pulang atau masih di jalan.

Namun, Richy harus menelan bulat-bulat kekesalannya saat nomor Tiana tidak aktif. Kemungkinannya hanya dua. Tiana sengaja melakukannya agar tidak ada satu orangpun yang menghubunginya, atau ponselnya lowbat mengingat sejak tadi ponselnya terus dipakai dan Richy tidak yakin apakah Tiana sudah mencharge ponselnya atau belum sebelum pergi hari ini.

***

Entah sudah berapa kali Tiana merutuki dirinya sendiri karena menuruti emosi sesaatnya dan pergi tanpa membawa uang sepeserpun, hanya bermodalkan ponsel yang sudah lowbat. Ketika hendak memesan taksi online, ponselnya langsung mati.

"Gue bego banget sih," gumamnya sembari membenamkan wajahnya di lutut. Saat ini dia tengah duduk di dekat toilet sebuah pom bensin. Seakan belum cukup sial, saat masuk ke kamar mandi tadi, Tiana baru menyadari bahwa dirinya kedatangan tamu bulanan. Akhirnya dia harus melepaskan blazernya dan mengikatkan benda itu di pinggang agar bagian belakangnya tertutupi. "Kenapa sih gue sebego ini," rutuknya lagi.

EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang