Tiana mengetuk pintu kamar Alena yang tidak tertutup rapat. Waktu sudah menunjukkan jam setengah satu yang mana berarti Tiana akan segera ke bandara.
"Masuk," ucap Alena dari dalam.
Tiana tersenyum begitu membuka pintu. Menyadari kedatangan Tiana, Alena juga turut tersenyum meski wajahnya masih terlihat pucat.
"Lagi ngapain?" tanya Tiana seraya menatap sebuah album di tangan Alena.
"Lagi ngelihatin foto-foto," jawab Alena.
Tiana memperhatikan halaman yang sedang dibuka Alena. Di sana terdapat foto Alena, Richy, Fian, dan dirinya. Mereka berempat tersenyum ke arah kamera. Di belakang mereka, tampak mendiang Ibunya Richy sedang meletakkan piring di meja makan. Foto itu diambil oleh Ayahnya Richy setelah pengumuman kelulusan SMA. Sorenya, mereka makan-makan di rumah Richy.
"Kangen ya, Len," ujar Tiana sendu.
Alena mengangguk. "Selain karena Siera, kamu dan Richy adalah alasan kenapa aku masih bisa bertahan sampai detik ini. Makasih, Ti."
Alih-alih senang, Tiana malah merasakan sesak di dadanya. Lagi-lagi dia teringat akan kejadian beberapa tahun silam. Selain sudah jahat pada Richy, Tiana merasa dirinya juga jahat pada wanita di hadapannya ini. Meskipun pada akhirnya Alena benar-benar menerima lamaran Fian, tapi Tiana sama sekali tida tahu bagaimana perasaan Alena kala itu.
Tiana berdehem. "Ini mungkin terkesan dramatis untuk orang seperti gue, tapi... please lo harus kuat ya, Len? Untuk Siera, gue, dan Richy. Kita sayang sama lo."
Alena mengangguk. "Maaf ya, Ti. Sejak kemarin sampai hari ini aku ngerepotin kamu terus."
"Gak ngerepotin dong, Len. Kita sama-sama kehilangan, tapi gue tau lo yang paling terpukul."
"Kamu berangkat jam berapa?"
"Jam satu gue jalan. Lo gak apa-apa kan gue tinggal? Richy juga mau balik ke rumahnya."
"Gak apa-apa, Tiana."
Tiana memandang Alena dengan mimik ragu. "Lo gak akan lakuin hal yang aneh-aneh kan?" tanyanya hati-hati.
Tanpa disangka, Alena tertawa kecil. "Ya ampun, enggak lah. Aku sayang anakku. Apa kata Mas Fian kalau aku sampai macam-macam tanpa mikirin anak kami."
Tiana tersenyum, hatinya jadi lebih tenang. "Jangan telat makan ya, Len. Tolong banget jaga kesehatan. Lo boleh kok sedih atau nangis, tapi tetap sayang sama diri lo sendiri ya?"
"Iya, Tiana."
Tiana tampak ingin mengucapkan sesuatu, namun terlihat ragu. Alena menyadari itu dan memutuskan untuk bertanya. "Kamu mau ngomong apa?"
"Itu, Len. Mungkin gak pantes ya gue ngabarin hal ini di saat lo masih berkabung, tapi gue bener-bener buntu."
"Ada apa, Ti? Cerita aja."
"Tadi gue ditelpon sama Savio. Katanya, gue sama Savio diundang ke sebuah podcast."
Mata Alena melebar. "Sebenarnya aku senang dengernya karena itu berarti karirmu berkembang, tapi... podcast itu kadang-kadang kemungkinannya cuma ada dua. Kamu makin disukai masyarakat karena pernyataan-pernyataan kamu di sana, atau malah jadi menuai kontroversi."
Tiana mengangguk. "Itu dia, Ti. Gue bingung. Gue takut nanti malah keceplosan yang enggak-enggak pas podcast, apa lagi ini bareng Savio."
"Ti, kamu beneran pacaran sama Savio?" tanya Alena lembut.
Tiana menggeleng pelan. "Lo tau sendiri gue nih selebgram kebanyakan kontroversi. Manajemen gue berusaha bersihin nama gue dengan makai Savio."
"Memangnya kamu diundang ke podcast siapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
Ficción GeneralRichy mendapatkan sebuah kesempatan untuk memiliki kembali sosok yang paling dia inginkan, Alena. Hanya saja, kesempatan itu diperoleh dengan cara yang terlalu menyakitkan sehingga Richy mempertimbangkan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Di sis...