Saat masih SMP dulu, Alena pernah kehilangan scrapbook kesayangannya. Alena sangat sedih karena scrapbook itu sudah dia miliki sejak SD. Banyak kenangan yang ia simpan di dalam scrapbooknya, bahkan sampai saat benda itu hilang, masih ada banyak lembar kosong yang belum diisi.
Melihat Alena yang begitu sedih, Papanya membelikannya scrabook yang baru. Meskipun awalnya ogah-ogahan memakai scrapbook yang baru, perlahan Alena bisa menerima dan mulai mengisi scrapbook yang baru sampai akhirnya dia lupa kalau scrapbook lamanya masih belum ditemukan dan entah sekarang berada dimana.
Mungkin kisah masa kecilnya itu bisa menjadi analogi atas kisahnya saat ini. Alena pernah begitu menyayangi seseorang dan terus menunggu kapan orang itu akan membalas perasaannya.
Sampai suatu hari, Alena merasa bahwa dirinya sudah kehilangan sosok itu. Sehingga ketika seseorang lain datang menawarkannya kebahagiaan yang baru, Alena menerima tawaran itu. Lambat laun, Alena menjadi terbiasa dengan orang baru itu sehingga perlahan-lahan dia bisa melupakan perasaannya yang lama.
"Ngelamunin apa sih?" Fian duduk di hadapan Alena sambil mengambil cangkir berisi tehnya.
Alena terkesiap pelan. "Nggak ngelamun ah. Siera mana ya?"
"Tuh baru datang." Fian tersenyum menyambut Siera yang baru saja bergabung di meja makan. "Pagi, sayang."
"Pagi, Papi." Siera menatap Maminya. "Pagi, Mami."
Alena mengecup singkat kening Siera. "Sarapan dulu ya."
Bukannya mulai memakan sarapannya, Siera malah tertunduk sembari memain-mainkan garpu di tangan kirinya. Hal ini membuat Alena dan Fian saling tatap sejenak.
"Ada apa, Siera?" tanya Alena pelan.
Siera menggeleng. "Aku gak mau sekolah."
Lagi-lagi Alena dan Fian saling lirik. Kejadian seperti ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Sejak awal masuk TK, Siera tidak pernah nyaman berada di tempat ramai seperti sekolah. Dia sangat sulit bersosialisasi sehingga Siera tidak memiliki satu temanpun di sekolah.
Siera terlalu diam sehingga teman-temannya jarang menyadari kehadiran Siera di antara mereka. Siera sendiri tidak pernah berani untuk bergabung dengan teman-temannya.
Fian mengelus rambut Siera. "Ada yang jahat sama kamu?"
Siera menggeleng lagi. "Aku gak punya teman."
"Mereka ngejauhin kamu?" tanya Fian lagi.
"Enggak. Aku gak berani deketin mereka."
Alena tersenyum lembut. "Memangnya kenapa gak berani?"
"Takut mereka gak suka sama aku."
"Udah pernah nyoba belum?" tanya Alena.
"Belum."
"Kalau gitu kenapa gak dicoba dulu? Nanti kalau teman-teman main, Siera ikut gabung sama mereka. Teman-teman Siera baik kok," jelas Alena.
Siera mengangkat pandangannya dan menatap Fian. "Papi jangan berangkat ya?" pintanya tiba-tiba.
Fian cukup terkejut dengan permintaan Siera. Ini bukan pertama kalinya Fian hendak pergi untuk pekerjaan, namun ini pertama kalinya Siera memintanya untuk jangan pergi.
"Memangnya kenapa, sayang?" Alena yang mewakili Fian untuk bertanya.
"Jangan aja."
Fian tersenyum. "Papi janji gak akan lama. Nanti Papi bakal sering nelpon Siera. Boleh kan Papi berangkat?"
Dengan enggan, Siera mengangguk. Sebenarnya dia masih ingin menyahut untuk meminta agar Papinya tidak pergi, tapi entah bagaimana Siera bisa tersihir dengan bujukan Papinya.
Suara klakson di halaman depan mengalihkan pembicaraan mereka. Fian segera berdiri karena tahu itu Richy yang datang.
"Siera sarapan sama Mami ya. Papi mau ke depan ketemu Om Richy," ucap Fian sebelum beranjak dari ruang makan.
***
Begitu turun dari mobil, Richy sudah disambut dengan Fian yang muncul dari di pintu rumah. Pria itu tersenyum seraya memberi kode agar Richy mendekat ke arahnya.
"Mau sarapan dulu?" tawar Fian.
Richy menggeleng. "Belum bisa makan jam segini," jawabnya seadanya.
"Ya udah. Duduk dulu."
Richy duduk di kursi kayu yang menghadap ke arah taman depan rumah. Fian sendiri duduk di sebelahnya. Jarak mereka tidak begitu jauh, hanya diantarai oleh satu meja kayu.
"Ada apa, Mas?" tanya Richy membuka pembicaraan.
"Sebelum Ayah meninggal, Ayah nitipin uang hasil penjualan rumah kita yang di Jakarta ke Mas," ucap Fian.
Richy mengernyitkan kening. Dia bahkan hampir lupa soal penjualan rumah mereka karena saat itu dirinya masih baru lulus SMA sehingga tidak memperhatikan hal-hal semacam itu.
"Bagian kamu ada di Mas. Ayah berpesan kalau uang itu bisa kamu ambil kalau udah mau nikah," ujar Fian lagi. Kali ini dia tersenyum lebar, membuat Richy dongkol karena pagi-pagi begini pembahasannya harus ada kata nikah. "Sekarang kamu paham kan kenapa Mas nyuruh kamu nikah? Mas udah males jagain duit kamu," candanya.
Richy berdecak. "Ya udah sih Mas simpan aja duitnya toh aku juga belum butuh."
Fian menggeleng. "Selain duit, ada beberapa sertifikat tanah yang juga Ayah titipin ke Mas."
Kali ini Richy semakin dibuat heran. "Terus?"
Tanpa menjawab kebingungan Richy, Fian masuk ke rumah. Dia keluar tidak lama kemudian dengan membawa sebuah map berisikan beberapa kertas yang Richy sendiri tidak tahu apa.
Fian menyodorkan map itu pada Richy. Dengan raut bingung, Richy menerima map itu.
"Seluruh sertifikatnya masih atas nama Ayah. Kamu bisa balik nama kapanpun kamu sempat," ucap Fian.
Richy menatap Fian. "Maksudnya apa sih Mas? Kok tiba-tiba nyerahin semua ini ke aku?"
"Ya karena itu memang milik kamu. Masa Mas harus simpen terus-terusan. Kamu belajar lah tanggung jawab atas apa yang seharusnya jadi milik kamu."
"Tapi kan Mas bilang Ayah berpesan nanti dikasih ke aku kalau aku udah mau nikah."
Fian menghela nafas. "Tepatnya kapan kamu mau nikah? Calon aja gak punya," sahutnya agak jengkel.
Richy terkekeh. Puas juga sesekali membuat kakaknya kesal. "Ya udah Mas simpan dulu sampai aku nemu calon."
"Gak. Mas capek ngurusin yang gini-gini. Mas mau istirahat."
"Mas kayak udah jompo aja," seloroh Richy.
"Uangmu nanti Mas transfer. Inget, nantu buat rekening lagi khusus untuk uang tabungan kamu."
Richy mengerjap beberapa saat. "Mas kenapa sih? Mas kayak mau depak aku aja dari kehidupan Mas."
"Mas cuma gak mau punya beban lagi. Kamu udah dewasa. Mungkin Ayah pikir kamu siap mengurus semuanya kalau udah menikah, tapi Mas rasa gak perlu nunggu kamu nikah. Belajar mengatur hidup kamu sejak sekarang. Kamu udah harus perjelas ke depannya mau gimana. Tabungan, tempat tinggal, dan lain-lainnya harus sudah mulai diatur," jelas Fian.
"Aku ada salah ya sama Mas?" tebak Richy.
Kini giliran Fian yang bingung. "Enggak. Kenapa bisa berpikiran kayak gitu?"
Richy menggeleng pelan. "Karena Mas seperti udah gak mau peduli sama aku."
Fian tertawa lalu memukul pelan bahu Richy. "Ngawur. Gak gitu. Mas cuma berpikir, kayaknya udah saatnya giliran Mas yang bergantung sama kamu."
"Maksudnya?"
Raut Fian berubah serius. "Tata hidupmu baik-baik. Mulai sekarang, kamu harus mengandalkan dirimu sendiri. Dan Mas juga berharap bisa mengandalkan kamu."
Kali ini karena Fian lebih dulu mengalihkan wajahnya dan menatap kosong ke taman di hadapan mereka, Richy jadi enggan menyahut lagi. Mereka berdua terdiam begitu lama seakan sedang menikmati momen kebersamaan tanpa harus terlibat lagi dalam obrolan apapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
Fiction généraleRichy mendapatkan sebuah kesempatan untuk memiliki kembali sosok yang paling dia inginkan, Alena. Hanya saja, kesempatan itu diperoleh dengan cara yang terlalu menyakitkan sehingga Richy mempertimbangkan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Di sis...