Seusai makan malam, Alena dan Tiana pergi ke ruang depan, meninggalkan Richy dan Fian berdua di pekarangan belakang. Bahkan Alena sebagai istri Fian pun tidak tahu apa yang hendak suaminya itu bicarakan dengan Richy.
Sementara itu di bangku taman halaman belakang, Richy dan Fian duduk bersampingan. Fian terlihat santai menatap langit malam. Pertanda bahwa tidak ada masalah yang terjadi. Mungkin Fian hanya ingin mengobrol dengan Richy sebagai kakak-adik.
"Gimana kerjaan?" tanya Fian terkesan basa basi.
"Lancar kok," jawab Richy seadanya.
Fian memperhatikan figur Richy dari samping. Adiknya ini sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa. Padahal, rasanya belum lama ketika Richy terus-terusan mengekorinya kemana-mana dan meminta diajak bermain.
Fian berusia enam tahun ketika Richy lahir. Saat itu, Fian senang bukan main ketika Ibu dan Ayahnya pulang dari rumah sakit dengan membawa baby Richy. Fian bahkan masih ingat waktu itu orang tuanya sampai dipanggil oleh wali kelasnya karena Fian tidak pernah fokus belajar di sekolah. Tugas-tugasnya ia kerjakan asal-asalan agar cepat dia kumpulkan dan bisa pulang untuk bermain bersama Richy.
Semua orang tahu kalau Fian sangat menyayangi Richy, dan Richy begitu mengagumi Fian. Kalau orang-orang memilih menjadikan artis atau ilmuan sebagai role model mereka, Richy malah menjadikan Fian sebagai role modelnya.
Bahkan seiring berjalannya waktu dan mereka mulai beranjak remaja hingga dewasa, berkat prestasinya, Fian menjadi kebanggaan semua orang. Termasuk kedua orang tua mereka dan keluarga besar yang lain. Tak jarang Richy menjadi tidak terlihat karena semua orang akan fokus hanya pada Fian. Akan tetapi karena dirinya sendiripun sangat menyayangi Fian, Richy tidak pernah memedulikan hal itu.
"Rich, kamu udah 27 kan tahun ini?" tanya Fian tiba-tiba.
Ah. Kalau sudah mulai membahas umur, pasti akan diikuti dengan karir, kemudian berakhir di pertanyaan soal pasangan. Orang tua mereka belum sempat menanyakan hal-hal berbau pernikahan pada Richy karena keduanya meninggal sebelum Richy lulus kuliah. Sekarang, Fian lah yang mewakili mereka untuk memberi wejangan tentang pasangan hidup.
"Belum ada, Mas." Richy menjawab dengan malas. Lebih baik langsung to the point dari pada harus menjawab pertanyaan-pertanyaan pengantar dari Fian.
Fian terkekeh. "Mas gak maksa kamu untuk nikah buru-buru. Mas cuma mau memastikan kalau kamu mau menikah," ucapnya dengan menekan kata mau.
Richy meringis. "Siapa juga yang gak mau nikah."
"Kamu udah mapan urusan kerjaan. Mas lihat, secara mental juga kamu udah siap untuk punya pasangan," ucap Fian.
"Tau dari mana aku siap?"
Fian mengedikkan dagunya ke arah rumah. "Tuh, buktinya kamu kuat hadapin Tiana," selorohnya.
Richy tertawa mendengarnya. "Patokannya harus itu banget?"
Fian menghembuskan nafas. "Rich, menjadi dewasa dan sendirian itu gak enak. Kamu butuh sosok lebih dari sekedar teman untuk bisa diajak berbagi cerita, pikiran, apapun itu. Jangan mau dibuat terlena sama kesendirian."
"Mas lihat sendiri aku sekarang masih harus fokus ke kerjaan. Kalau punya pacar, bakal lebih ribet gak sih? Masa iya aku pacarin anak orang hanya untuk formalitas aja. Aku juga harus bahagiain dia kan?"
"Mas tau. Tapi soal pekerjaan, kamu yang harus pinter-pinter ngaturnya. Jangan sampai kamu yang diatur sama kerjaan."
Richy berdecak. "Perasaan sejak umurku dua lima, tiap tahun harus ada percakapan ini."
"Mas cuma gak mau kamu selalu sendirian."
"Gak sendirian kok, Mas. Aku punya banyak temen. Aku punya Mas juga."
"Teman-temanmu punya kehidupan masing-masing, jadi kamu juga harus punya kehidupan untuk dirimu sendiri. Dan Mas... gak mungkin kan Mas akan selalu ada."
Richy menatap kesal pada Fian. "Gak mungkin selalu ada gimana? Mas udah gak mau peduli lagi sama aku apa gimana?"
Berbeda dengan Richy yang kesal, Fian malah tertawa. Ada kalanya adiknya ini bertingkah seperti anak kecil.
"Bukan gitu maksud Mas. Mas bakal lebih tenang kalau kamu ada yang nemenin. Itu aja."
"Iya, iya. Santai aja. Kalau udah nemu, langsung aku kenalin deh ke Mas."
"Kenapa gak sama Tiana aja? Gak perlu repot-repot lagi dikenalin."
Richy memutar bola matanya dengan malas. "Mas bercanda kan?"
Fian menggeleng. "Dia yang paling kenal sama kamu, kamu juga udah sangat kenal sama dia. Walaupun Tiana agak absurd, tapi menurut Mas dia yang paling bisa mengerti kamu."
Richy terkekeh. "Lawakan Mas lumayan lucu."
"Mas gak bercanda," sahut Fian kesal.
Mereka terdiam beberapa saat. Richy pikir pembicaraan mereka sudah selesai, tapi tiba-tiba Fian menatapnya.
"Rich, Mas memang sudah berkeluarga, tapi kamu keluarga Mas juga. Kamu adik Mas dan salah satu orang yang paling berharga buat Mas," ujar Fian.
Richy tidak paham kenapa tiba-tiba Fian berbicara seperti itu. Akan tetapi, dia memutuskan untuk tidak bertanya dulu, membiarkan Fian tetap berbicara.
"Jadi tolong, jangan pernah merasa jauh dari Mas dan keluarga Mas. Siera sayang banget sama kamu dan Alena juga sangat peduli pada kamu," lanjut Fian.
"Kenapa Mas tiba-tiba ngomong kayak gini sih?" ucap Richy sambil tertawa kaku.
Fian menggeleng pelan. "I just reminded you of the meaning of our brotherhood."
Richy tersenyum kemudian merangkul bahu kakaknya. "Aku gak pernah merasa asing walaupun Mas udah berkeluarga dan kita udah sedewasa ini."
Fian balas tersenyum. "Glad to know that."
***
Tiana dan Richy pulang bersamaan. Tadi semua orang sempat dibuat heboh saat kelakuan abnormal Tiana kumat. Cewek itu memiringkan motornya kemudian menarik gas sehingga motornya berputar seperti sedang melakukan atraksi.
Siera dan Alena tampak menikmati pertunjukan konyol itu, mereka berdua tertawa-tawa menyaksikan Tiana. Tiana sendiri tersenyum jumawa layaknya dia adalah seorang pemain akrobat hebat.
Kalau bukan karena Fian buru-buru berlari ke halaman depan karena mendengar keributan, pertunjukan itu pasti akan berlangsung lama dan cukup untuk membuat ban motor Tiana menjadi tipis. Richy sendiri hanya menatap kelakuan absurd Tiana tanpa berniat berkomentar. Dia melemparkan tatapan sinis pada Fian. Tatapan yang diartikan Fian sebagai 'see? Lihat nih cewek yang Mas minta aku untuk pacarin.' dan Fian hanya bisa nyengir.
"Tante Tia keren banget," puji Siera sebelum memasuki kamarnya.
Fian hanya meringis. Bahkan Alena pun sepertinya menganggap pertunjukan tadi begitu keren.
"Aku juga pengen belajar motor deh Mas," ucap Alena ketika mereka sudah berbaring di ranjang.
Sejak dulu, Alena sangat ingin belajar mengendarai motor tapi dilarang oleh Fian. Fian bilang lebih aman kalau Alena memakai mobil kalau mau bepergian, apa lagi jika bersama Siera.
Tapi di luar dugaan, kali ini Fian tiba-tiba mengangguk. "Kalau mau, besok subuh Mas ajarin di jalanan depan. Pas masih sepi."
Mata Alena membola. "Beneran?" Dia sampai terduduk. "Mas gak lagi ngigau kan?" tanyanya memastikan.
Fian terkekeh melihat ekspresi penuh keantusiasan dari istrinya. "Bener lah."
Alena memeluk Fian begitu erat. "Makasih, Mas. Baik banget deh. Jadi makin sayang."
"Beneran makin sayang?" tanya Fian.
Alena mengangkat wajahnya hingga kini mereka saling bertatapan. "Beneran dong," jawabnya.
Fian membalikkan posisi mereka sehingga kini Alena berada di bawahnya. "Then show me how much you love me?"
Alena terkikik dan mengangguk. "Sure."

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
General FictionRichy mendapatkan sebuah kesempatan untuk memiliki kembali sosok yang paling dia inginkan, Alena. Hanya saja, kesempatan itu diperoleh dengan cara yang terlalu menyakitkan sehingga Richy mempertimbangkan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Di sis...