Hari pertama setelah kepergian Fian, tiap orang masih terlarut dalam dukanya masing-masing. Tiana terpaksa harus kembali sore ini karena pekerjaannya yang sudah menumpuk. Meski begitu, dia berjanji akan kembali lagi ke Magelang setelah menyelesaikan semuanya. Dia bahkan tidak sempat menengok rumahnya yang sudah ia tinggalkan berhari-hari.
Sementara Tiana sibuk mengemas barang-barangnya yang tidak seberapa, Richy memutuskan untuk duduk di pekarangan belakang rumah sendirian. Siera sedang di ruang tengah menonton televisi, namun sama sekali tidak memperhatikan benda itu karena pikirannya berkelana mengingat-ingat sosok Papinya. Sedangkan Alena, wanita itu masih betah mengurung diri di kamar. Untuk makan saja harus Bi Sari yang mengantarkan ke kamar.
Melihat Richy terduduk sendirian, Tiana memutuskan untuk menghampiri pria itu. Richy melirik Tiana sekilas ketika cewek itu duduk di sebelahnya.
"Pesawat lo jam berapa?" tanya Richy.
"Jam tiga sore. Gue ke bandara jam satu nanti."
Richy melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.30. "Gue juga langsung balik ke rumah habis antar lo ke bandara."
Tiana lantas mengernyitkan kening. "Lo mau nganter gue? Gak usah lah. Lo aja kurang tidur gitu," tolaknya.
"Gue antar."
Tiana menghela nafas, dia memutuskan untuk tidak berdebat lagi. "Terus kalau lo langsung balik ke rumah, Alena sama Siera gimana?"
"Ada Bi Sari."
"Tapi kan lo lihat sendiri Alena gimana. Dia gak bakal makan kalau gak dipaksa, mana mungki Bi Sari bisa maksa Alena."
"Gue bakal kesini beberapa kali untuk ngecek keadaan mereka."
"Memangnya kenapa lo gak di sini aja?" tanya Tiana bingung. Padahal kan akan lebih gampang kalau Richy tinggal di sini untuk sementara waktu.
"Gak etis lah. Di rumah ini udah gak ada Mas Fian. Apa kata orang kalau gue nginap di sini?"
"Tapi semalam lo nginap di sini."
"Ya itu kan karena ada elo. Orang tau kalau kita semua lagi berduka."
Tiana menelengkan kepalanya. "Tapi lo juga sering tidur bareng gue."
Richy menoyor kepala Tiana. "Hanya kalau kita di Jakarta. Lagian lo sama gue sama-sama single. Dan please perbaiki kata-kata lo tadi, kedengarannya aneh."
Tiana manyun seketika. "Iya, iya."
Mereka terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Diam-diam Tiana kembali mengingat kejadian enam tahun silam, di mana Fian secara tiba-tiba menyatakan cinta pada Alena.
Kepindahan Alena ke Jakarta saat itu karena ikut dengan neneknya. Ayah Alena sudah berpulang sejak Alena masih balita, sementara Ibunya meninggal ketika Alena baru memasuki SMA. Nenek Alena adalah seorang pengusaha kuliner di Jakarta. Merasa khawatir jika Alena harus hidup sendirian, beliau memutuskan untuk membawa Alena untuk tinggal bersamanya.
Di hari pertama Alena masuk di sekolah barunya, dia mendapatkan Richy sebagai teman sebangkunya—yang mana baru diketahui Alena beberapa hari kemudian bahwa sebenarnya tempat itu adalah milik Tiana, namun karena mereka sedang terlibat cekcok, cewek itu memutuskan untuk pindah ke bangku paling belakang. Hal ini sudah sering terjadi dan kadang setelah dua atau tiga hari Tiana pasti kembali ke tempatnya. Sayangnya, sejak ada Alena, Tiana tidak lagi bisa kembali ke bangkunya. Dia merasa tidak enak hati jika harus meminta Alena pindah tempat duduk.
Di mata Tiana, Alena adalah seorang gadis mungil yang patut disayangi dan dilindungi. Karena itulah Tiana dikenal sebagai bodyguard Alena. Tiap kali ada kakak kelas tengil yang menggoda Alena, mereka harus siap menerima tatapan maut dari Tiana.
Hal yang di kemudian hari disesali oleh Tiana. Akhirnya Alena tidak pernah berpacaran sehingga cewek itu hanya dekat dengan Tiana dan Richy. Lambat laun, malah Richy yang menaruh hati pada Alena.
Waktu terus berlalu hingga mereka semua memasuki dunia perkuliahan dan selama itu pula Richy sama sekali tidak mengungkapkan perasaannya pada Alena. Sama seperti Tiana yang juga tidak memiliki nyali untuk memberitahu Richy soal perasaannya. Hanya saja, Tiana berfirasat bahwa Alena juga menyukai Richy. Richy memperlakukan Alena dengan begitu baik, terlihat jelas bahwa dia sangat menyayangi cewek itu. Bahkan tidak jarang Tiana merasa ada jarak di antara dirinya dengan kedua temannya itu.
Ketika Fian sudah mulai bekerja dan menghasilkan uang, Alena dan Tiana makin sering berkunjung ke rumah keluarga Utomo. Orang tua Richy yang tidak memiliki anak perempuan tentu sangat menyambut kehadiran dua cewek itu, terutama ketika mereka tahu bahwa keduanya tidak lagi memiliki orang tua. Alena dan Tiana merasa seperti memiliki orang tua lagi. Sayangnya, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja Ibu Richy sakit dan meninggal. Seakan itu belum cukup menyakitkan, setahun kemudian Ayahnya yang juga mulai sakit-sakitan setelah ditinggal Ibu akhirnya ikut berpulang.
Kepergian Ayah dan Ibu Richy tidak membuat Tiana maupun Alena berhenti mengunjungi rumah Richy. Kini mereka sama-sama tidak lagi memiliki orang tua sehingga ikatan di antara mereka terjalin semakin erat.
Akan tetapi, Tiana sudah melihat gelagat yang berbeda dari Fian. Cara pria itu menatap Alena, juga caranya memperlakukan Alena, sama persis dengan yang dilakukan Richy beberapa tahun belakangan. Perlahan, Tiana sadar bahwa kakak beradik itu mencintai perempuan yang sama.
Suatu hari, Fian mengundang mereka semua untuk makan malam bersama. Tiana yang paling pertama muncul, bahkan sebelum Richy pulang ke rumah karena cowok maniak game itu selalu menghabiskan waktu sepulang kuliah dengan bermain game. Tiana terkejut ketika mendapati ruang makan sudah dihias dengan pernak pernik ulang tahun bernuansa keemasan. Di meja makan selain terjejer makanan-makanan enak, terdapat juga sebuah kue ulang tahun dengan angka 21.
"Untung aja kamu yang duluan datang, Ti. Ini surprise untuk Alena."
Tiana masih ingat betapa bahagianya raut Fian saat itu. Pria itu terus-terusan tersenyum, memamerkan lesung pipinya dan deret giginya yang rapih. Sesuai dugaan Tiana, Fian benar-benar menyukai Alena.
Ketika acara makan malam usai, tanpa siapapun menyangka, Fian mengumumkan sesuatu yang cukup mengejutkan. Dia melamar Alena malam itu, tepat di hari ulang tahunnya.
Tanpa memedulikan jawaban yang akan diberi oleh Alena ataupun keromantisan Fian, Tiana malah menatap Richy dengan penuh kekhawatiran. Cowok itu masih sangat syok, matanya membulat dan menatap tak percaya pada Fian dan Alena secara bergantian.
"Tapi aku kan belum lulus kuliah," jawab Alena kala itu. Wajahnya bersemu merah, mungkin tersipu karena tidak menyangka dirinya akan disukai oleh laki-laki yang mendekati sempurna seperti Fian.
"Kamu bisa tetap menyelesaikan kuliahmu. Tinggal nunggu sidang kan?"
"Kasih aku waktu untuk berpikir dulu ya, Mas."
Saat itulah Tiana membiarkan sisi iblisnya menang. Begitu dia memiliki waktu berdua dengan Richy selepas makan malam, ia menggiring percakapan ke arah lamaran Fian pada Alena lalu mengucapkan sesuatu yang membuat dirinya menyesal di kemudian hari. Selama bertahun-tahun, Tiana hidup dalam rasa bersalah hanya karena satu kebohongan yang ia ucapkan pada Richy malam itu.
"Alena palingan cuma malu aja tadi. Setau gue, dia juga suka sama Mas Fian. Palingan besok dia udah bisa ngasih jawaban."
Dan keesokan harinya sampai enam bulan kemudian, Tiana tidak lagi bertemu dengan Richy. Cowok itu memutuskan untuk ikut pertukaran pelajar ke luar negeri selama satu semester. Bahkan saat akhirnya Alena menerima lamaran Fian dan mereka menikah tiga bulan setelah lamaran malam itu, Richy tidak kembali. Dia hanya mengucapkan selamat melalui sambungan telepon.
"Melamun aja lo."
Tiana tersentak, tidak sadar bahwa sejak tadi ia memandang kosong ke depan tanpa berkedip sama sekali, menyebabkan matanya berair. Ia cepat-cepat mengucek matanya yang terasa agak perih dan memaksakan senyum pada Richy.
"Maafin gue ya, Rich."
Richy menganga seketika. "Lo kenapa?"
Tiana menggeleng pelan. "Maaf aja karena gue harus balik ke Jakarta sore ini."
"Santai aja kali."
Ponsel di tangan Tiana bergetar. Savio sedang memanggil. Richy juga melihat itu.
"Gue angkat dulu ya," ujar Tiana seraya beranjak dari sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
Narrativa generaleRichy mendapatkan sebuah kesempatan untuk memiliki kembali sosok yang paling dia inginkan, Alena. Hanya saja, kesempatan itu diperoleh dengan cara yang terlalu menyakitkan sehingga Richy mempertimbangkan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Di sis...