Biasanya Alena bangun subuh-subuh untuk membereskan rumah dan membuatkan sarapan berikut bekal untuk Siera. Bedanya, pagi ini dia bangun lebih cepat setengah jam dari waktu biasanya. Ia dengan penuh semangat membangunkan Fian juga karena suaminya itu sudah berjanji akan mengajarinya mengendarai motor pagi ini.
"Bi', nanti tolong Siera dibangunin ya," ucap Alena pada Bi' Sari yang sedang mencuci peralatan masak.
"Baik, Bu."
"Bibi sarapan bareng Siera ya nanti. Aku mau belajar motor dulu sama Mas Fian."
"Kok tiba-tiba pengen belajar bawa motor, Bu?"
Alena tersenyum senang. "Pengen aja. Aku jalan dulu ya, Bi'. Mas Fian udah nunggu di depan."
"Iya. Hati-hati, Bu."
Ketika keluar dari pintu rumah, Fian terlihat sudah menunggu di atas motor matic. Alena sedikit tertawa menyadari betapa lucunya Fian dengan motor matic itu. Badan tegap Fian dan kakinya yang panjang membuat motor itu terlihat seperti motor mainan yang dinaiki oleh orang dewasa.
"Ayo naik. Malah senyum-senyum sendiri," ucap Fian heran.
Alena mengangguk dan naik di belakang Fian. "Mau belajar di mana emang?"
"Kita ke kampus Mas aja deh ya. Masih sepi jam segini. Jalanannya juga lumayan luas."
"Oke!"
Setahu Alena, kampus tempat Fian mengajar cukup luas. Bukan dari segi bangunan, melainkan pekarangannya. Jalanan di dalam kampus juga lumayan luas dan aspalnya masih mulus sehingga lumayan cocok untuk dijadikan tempat belajar.
"Tapi kata Mas semalem, di jalan depan aja."
"Ada jalan yang gak rata. Takutnya kamu jatuh."
Diam-diam Alena tersenyum dan merapatkan pelukannya pada pinggang Fian. Kepalanya ia sandarkan pada punggung lebar Fian yang merupakan tempat paling nyaman baginya. Fian begitu besar jika dibandingkan dengan Alena yang mungil sehingga rasanya begitu hangat dan aman ketika berada di sisi pria ini.
"Kamu ngapain sih pengen banget bisa bawa motor?" tanya Fian tiba-tiba. Suasana jalanan masih sangat sepi, belum ada satu kendaraanpun yang lewat kecuali motor mereka karena mereka tidak melintasi jalan raya. Karena itu, Alena bisa mendengar dengan jelas suara Fian.
"Lebih praktis kan kalau naik motor. Kayak kalau jalan lagi ramai atau macet, gak sesusah kalau pakai mobil. Ya untuk jaga-jaga aja kan gak ada salahnya, Mas."
"Janji ya jangan sering keluyuran pakai motor kalau udah bisa bawa."
"Iya, janji."
Mereka tiba di gerbang utama kampus tidak lama kemudian. Seorang satpam yang masih terkantuk-kantuk langsung berdiri begitu mendengar klakson yang dibunyikan Fian.
Fian tersenyum lebar menampilkan deret giginya yang putih dan rapih, plus lesung pipinya. "Pagi, Pak Yudi."
"Selamat pagi, Pak Alfian. Loh?" Pak Yudi melirik jam tangannya. "Masih jam setengah enam kesini, ada apa, Pak?"
"Ini istri saya mau belajar motor. Mumpung gerbang kampus belum dibuka, mau saya ajak belajar di dalam aja. Bisa kan, Pak?"
"Siap! Bisa, Pak. Bentar saya buka dulu gerbangnya."
Pak Yudi berjalan ke arah gerbang, melepaskan rantai yang melingkar pada gerbang kemudian menggeser benda besi itu hingga terbuka tak terlalu lebar. "Cukup kan ini?"
Fian menarik gas motor kemudian melewati gerbang. "Cukup, Pak."
"Saya tutup lagi ya. Takutnya nanti diakses umum."
Fian mengangguk. "Terima kasih, Pak Yudi."
"Sama-sama, Pak."
Alena tersenyum sopan seraya mengangguk pada Pak Yudi yang juga dibalas dengan anggukan sopan dari pria itu. Setelahnya, motor Fian kembali melaju menyusuri jalanan kampus.
"Biasanya gerbangnya dibuka jam berapa, Mas?"
"Jam tujuh kurang sepuluh menit. Dulu sih sempat gak pernah ditutup, tapi kalau malam tamannya sering dijadikan tempat mesum sama orang-orang yang pacaran di sini. Belum lagi tanaman kampus milik fakultas pertanian sering dicuri, pokonya kacau deh."
Alena memandang tiap tempat yang mereka lintasi. Kampus ini memang terkenal dengan tatanannya yang indah. Meskipun tidak seluas kampus Alena di Jakarta, tapi dia akui kampus ini tidak kalah dari segi bangunan dan fasilitas lainnya.
Fian menepikan motornya begitu mereka sampai di depan gedung rektorat. Halaman gedung rektorat begitu luas, ditambah lagi belum ada satu kendaraanpun yang terparkir di sana.
"Mulai dari halaman ini aja dulu ya." Fian berujar seraya mematikan mesin motor. Alena turun dari motor diikuti dengan Fian. "Naik di depan gih."
"Sampai gak kakinya?" tanya Fian begitu Alena sudah memegang setir.
Alena manyun seketika. Dia cukup sadar kalau tubuhnya begitu tergolong mungil, akan tetapi kakinya sampai kok.
Melihat Alena kesal atas pertanyaannya, Fian tertawa. "Iya, iya. Sampai ternyata. Nah sekarang putar kuncinya."
Setelah Alena mengikuti instruksi-instruksi dari Fian, mesin motor kembali menyala. "Tarik gasnya pelan-pelan aja. Jangan ngerem tiba-tiba, narik remnya juga jangan kekencengan kalau mau berhenti. Pakai feeling pokoknya."
Alena mengangguk. "Mas ikutin aku ya."
"Iya."
Perlahan, Alena menarik gas. Meski awalnya sempat miring ke kanan dan ke kiri, Alena ternyata bisa dengan cepat menjaga keseimbangan terlebih lagi ketika laju motor mulai stabil.
"Jangan terlalu pelan ya. Nanti malah jatuh," ucap Fian mengingatkan sembari mengikuti Alena dari belakang.
"Nah, tarik remnya pelan-pelan," ujar Fian begitu Alena mulai mendekati undakan tangga gedung rektorat.
Sesuai instruksi, Alena menarik rem pelan kemudian menurunkan kedua kakinya. Dia tersenyum lebar saking senangnya. Ternyata motor tidak sesusah itu baginya asalkan dia bisa mengatur keseimbangan.
"Nah sekarang coba belok pelan-pelan. Kakinya harus kuat nahannya ya."
Alena mengangguk dan menurunkan salah satu kakinya. Dia membelokkan setir motor kemudian mulai menarik gas pelan-pelan. Awalnya baik-baik saja sampai tiba-tiba Alena kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menarik gas lumayan kencang sehingga motor terlonjak.
Fian berusaha mengejar Alena, akan tetapi istrinya itu sudah panik dan menarik rem dengan begitu kencang sehingga motor berhenti tiba-tiba dan Alena terjatuh ke samping. Alena meringis karena kaki kirinya tertimpa motor.
Dengan sigap dan berusaha mengendalikan kepanikannya, Fian mengangkat motor kemudian membantu Alena untuk berdiri. Untunglah Alena tidak kenapa-kenapa.
"Kakinya sakit?" tanya Fian khawatir.
"Gak terlalu sakit kok," jawab Alena tenang. Tak lama kemudian, dia malah tertawa.
"Kok ketawa?"
Alena menggeleng. "Lucu aja. Lanjut belajar lagi ya aku."
"Beneran nggak apa-apa? Lanjut besok aja."
Alena berdecak. "Gak. Orang baru belajar bentar kok. Jatuh dikit kan wajar. Lagian belum tentu besok Mas punya waktu untuk ngajarin aku."
Fian menghela nafas. "Ya udah. Mulai lagi deh, tapi jangan buru-buru kepengen bisa. Santai aja."
"Iya, Mas. Kali ini aku udah belajar dari kesalahan awal. Gak boleh ragu-ragu kalau belok."
Fian mengangguk kemudian membiarkan Alena kembali menaiki motor. Perlahan, kekhawatiran Fian memudar karena kali ini Alena benar-benar berhati-hati. Melihat istrinya begitu semangat, Fian berjanji pada dirinya sendiri akan selalu meluangkan waktu untuk mendampingi Alena belajar. Kebahagiaan Alena ternyata sesederhana ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
General FictionRichy mendapatkan sebuah kesempatan untuk memiliki kembali sosok yang paling dia inginkan, Alena. Hanya saja, kesempatan itu diperoleh dengan cara yang terlalu menyakitkan sehingga Richy mempertimbangkan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Di sis...