17. Bad News

1.6K 149 4
                                        

Siera menyingkap tirai jendela dan mendapati dua perempuan sedang berdiri di depan pagar. Keduanya tampak gelisah dan terkadang saling tatap ragu. Siera segera berlari ke arah dapur, tempat Maminya sedang memasak untuk makan siang.

"Mami, ada yang datang."

"Siapa?"

Siera menggeleng. "Dua kakak cewek. Mereka berdiri di depan pagar."

Alena segera meletakkan pisaunya dan berjalan ke luar rumah. Sesuai yang dikatakan Siera, ada dua orang perempuan yang berdiri di depan sana. Jika diperhatikan, keduanya terlihat seperti mahasiswa.

"Cari siapa, dek?" Alena bertanya sembari berjalan mendekati gerbang.

"Permisi, Mbak--eh, Bu. Maaf, kami mahasiswanya Pak Alfian," ucap salah satu dari mereka.

Alena segera membukakan gerbang untuk keduanya. "Oh, iya. Tapi Pak Alfiannya lagi gak di rumah."

Keduanya saling tatap sesaat. Hal ini membuat Alena ikut penasaran. Dia baru ingat kalau hari ini sudah hari ketujuh Fian meninggalkan rumah. Seharusnya kalau semua berjalan lancar, Fian kembali hari ini. Mungkin kedua cewek ini mengira Fian sudah pulang.

"Aduh, gimana dong, Rin?" tanya salah satu cewek dengan mata berkaca-kaca.

Yang satunya lagi menggeleng pasrah. "Ya udah. Pasrah. Kita nunggu wisuda yang tiga bulan lagi."

Alena mengernyitkan kening. "Masuk dulu. Di sini panas."

Alena berjalan ke arah teras diikuti oleh kedua cewek tadi. Dia mempersilahkan keduanya duduk di kursi teras.

"Siera, tolong bilang ke Bi' Sari, Mami minta dibawain dua gelas jus jeruk. Jangan lupa bilang tolong ya?"

Siera yang sedari tadi berdiri di ambang pintu langsung mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Setelah Siera pergi, Alena duduk di seberang kedua cewek itu.

"Ada apa, dik?" tanya Alena lembut.

"Kami berdua mahasiswi semester sebelas, Mbak--eh, Bu."

Alena tertawa kecil. "Panggil Mbak aja kalau nyamannya gitu."

Keduanya mengangguk kaku. "Nama aku Wirda, Mbak."

"Aku, Aini."

"Wirda dan Aini. Kalian kenapa kok kayak mau nangis gitu?"

"Pak Alfian dosen penguji kami, Mbak. Pak Alfian udah nge-ACC revisi kami setelah sidang. Beliau juga udah sampaikan ke penguji dua--Bu Mayang agar tidak perlu melakukan revisi lagi. Masalahnya begitu Pak Alfian pergi mendampingi beberapa mahasiswa, Bu Mayang tiba-tiba nyuruh kami melakukan perombakan besar-besaran. Dosen pembimbing kami sampai kewalahan berdebat sama Bu Mayang." Wirda menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.

"Kami udah semester sebelas, Mbak. Kampus kami swasta, orang tua kami tau pasti bakal kecewa kalau kami masih harus menunda wisuda. Ditambah lagi, ada kemungkinan kami diwajibkan membayar UKT kalau gak diyudisium minggu depan karena udah mau masuk semester baru." Aini menambahkan dengan raut tak kalah frustasi.

"Tapi Pak Alfian udah ACC kan?" tanya Alena memastikan. Dia siap mengomeli Fian kalau ternyata suaminya itu ketahuan mempersulit mahasiswanya.

Wirda dan Aini mengangguk. "Udah, Mbak. Malahan kami nyari Pak Alfian atas saran dosen pembimbing kami. Kata mereka yang disegani sama Bu Mayang cuma Pak Alfian. Makanya kemarin pas Pak Alfian ada, Bu Mayang gak banyak protes," ujar Wirda.

"Kalian udah coba hubungi Pak Alfian?"

"Dua hari lalu kami nelfon Pak Alfian. Katanya, hari ini beliau sudah bisa pulang. Tapi kemarin dosen pembimbing kami coba hubungi Pak Alfian, katanya untuk sementara biar Pak Alfian ngomong sama Bu Mayang melalui telepon dulu karena waktu wisuda sudah semakin mepet. Tapi sampai hari ini, HP Pak Alfian gak aktif. Kami pikir, Pak Alfian sudah pulang."

Alena menggeleng pelan. "Belum. Kalaupun hari ini Pak Alfian pulang, bisa jadi sampainya besok."

Bi Sari tiba-tiba muncul dengan dua gelas jus jeruk. Dia meletakkan masing-masing di depan Aini dan Wirda

"Silahkan diminum, Mbak," ucap Bi' Sari. "Ibu mau minum juga?" tanyanya pada Alena.

"Gak, Bi'. Tolong ambilin HP saya di meja makan ya."

"Baik, Bu."

Alena menatap Wirda dan Aini. "Diminum dulu. Nanti saya coba hubungi Pak Alfian."

Bi' Sari kembali dengan membawa ponsel milik Alena. "Ini, Bu."

Alena menerima ponsel itu. "Terima kasih, Bi."

Alena segera membuka chatnya dengan Fian. Terakhir kali, suaminya itu mengirimkan pesan dua hari lalu pukul empat sore.

From: Mas Fian
Sayang, Mas mau ke pulau yang jaringannya masih agak susah. Cuma nganter mahasiswa, terus besok pagi langsung balik ke posko lagi. Besok udah ada dosen pengganti yang datang. Beres ngumpulin data untuk laporan, Mas langsung balik.
Kamu baik-baik ya, di sana. Mas sayang banget sama kamu dan Siera. Terima kasih udah selalu ngertiin segala kesibukan Mas. I love you both.

Pesan balasan Alena bahkan masih centang satu yang artinya belum terkirim pada Fian. Hal ini mulai membuat Alena merasa was-was. Kalau Fian bilang paginya dia kembali ke posko, seharusnya pesan ini sudah terkirim.

"Kalian minum dulu, ya. Saya coba hubungi dosen yang juga ikut ke sana."

Aini dan Wirda lagi-lagi mengangguk dan mulai meminum minuman mereka. Setidaknya minuman segar yang disediakan Bi' Sari bisa sedikit mengurangi rasa lelah mereka hari ini.

Sementara itu, Alena mulai mencari nomor Darma. Setahu Alena, dia adalah dosen yang seharusnya mengawal ekspedisi, namun untuk sementara harus digantikan oleh Fian karena Darma masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.

Untunglah telepon itu tersambung. Tidak butuh waktu lama sampai suara Darma terdengar di ujung sambungan.

"Halo, selamat siang."

"Selamat siang. Ini dengan Pak Darma?"

"Benar. Ini dengan siapa?"

"Saya Alena, istri Alfian."

"Oh, Mbak Alena. Ada apa, Mbak?"

"Saya mau nanya, kok Alfian nggak bisa dihubungi ya? Alfian jadi balik hari ini kan?"

"Jadi, Mbak. Di sini lagi ada pemadaman listrik karena gangguan di PLTS. HP Fian lowbat sejak kemarin. Makanya tadi pagi dia buru-buru nyari perahu untuk kembali ke kota. Seharusnya sih sekarang udah sampai."

"Tapi kok belum bisa dihubungi? Pak Darma bisa cariin informasi gak?"

"Sebentar, Mbak. Ini kebetulan ada orang dari dinas yang datang, mereka baru turun dari perahu. Jangan tutup teleponnya, kayaknya mereka bawa kabar."

Entah kenapa, Alena merasa detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa dingin tanpa sebab. Padahal Alena baik-baik saja, dia tidak merasakan sakit sama sekali. Hanya saja, rasanya tidak tenang.

Belum juga dia bisa mengendalikan diri, tiba-tiba Siera muncul dan langsung duduk di pangkuan Alena. Tidak biasanya anaknya ini berperilaku seperti ini. Alih-alih bertanya ada apa, Alena malah memeluk Siera.

Terdengar suara Darma bertanya pada entah siapa. Alena mendengar suara beberapa orang di sana.

"Ada apa, Pak? Ini kok pada basah semua?"

"Gelombang tinggi, tapi ini sudah mulai redah."

"Pak Darma, perahu yang ditumpangi teman Bapak belum sampai di kota. Kami sudah mulai melakukan pencarian. Tim SAR sudah berpencar."

"Maksudnya gimana? Perahu teman saya, maksudnya... maksudnya teman saya Alfian?"

"Iya, Pak. Kami mendapat info kalau pagi ini Pak Fian dan dua mahasiswa kembali ke kota kan? Mereka belum sampai. Kemungkinan... perahu mereka terhantam ombak."

Ponsel di tangan Alena terjatuh begitu saja ke lantai. Alena tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Dia juga sudah tidak butuh mendengar informasi dari Darma.

Alena samar-samar bisa mendengar suara teriakan panik Wirda dan Aina, juga tangisan Siera memanggil-manggil dirinya. Semuanya menggelap seketika. Alena kehilangan kesadarannya dalam sekejap.

EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang