Sampai detik ini, Alena tidak percaya bahwa tubuh yang terbujur kaku di hadapannya ini adalah suaminya. Suaminya yang dua hari lalu masih mengiriminya sebuah pesan yang diakhiri kalimat manis. Suaminya yang tiga hari lalu masih sempat bercengkerama dengannya dan Siera melalui sambungan telepon.
"Mas Fian," panggil Alena begitu lembut. Tangannya menyentuh kedua pipi Fian yang begitu dingin. "Mas, kalau Mas pergi, gimana dengan aku dan Siera?" bisiknya.
Sementara itu, Richy duduk di sisi berseberangan dengan Alena, pria itu tertunduk dalam sembari menggenggam tangan kakaknya yang begitu dingin. Fian masih terlihat seperti Fian yang biasanya, hanya saja kini matanya terpejam begitu sempurna, wajahnya pucat tanpa ekspresi hangat seperti yang biasanya ia perlihatkan tiap kali menyambut Richy.
"Mas tau kan kalau aku cuma punya Mas? Kenapa Mas ninggalin aku? Setelah Ibu dan Ayah, sekarang Mas ikutan pergi," ucap Richy di tengah isakannya.
Tiana menyaksikan itu semua sambil mendekap Siera dalam dekapannya. Rasanya begitu menyakitkan karena Siera yang masih berusia lima tahun ini paham bahwa Papinya sudah meninggal tanpa perlu dijelaskan oleh siapapun. Sungguh, rasanya Tiana juga ingin menangis tersedu-sedu melihat sosok yang selama ini dianggapnya sebagai kakak kini pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Hanya saja, Tiana cukup sadar diri. Kalau dirinya terlarut dalam kesedihan yang begitu mendalam, siapa yang bisa diandalkan saat ini? Richy dan Alena tentu lebih terpukul.
"Tante, ini bakal jadi terakhir kalinya aku bisa lihat Papi ya?" tanya Siera dengan tatapan kosong.
Tiana tidak ingin membohongi Siera sehingga dia mengangguk sebagai jawaban. Biarlah Siera menumpahkan semua kesedihannya hari ini karena Alfian Maheswara Utomo adalah sosok yang begitu baik dan semua orang sudah pasti bersedih atas kepergian pria ini.
"Permisi, Mbak Tiana. Pemakaman Pak Fian sudah bisa dimulai sekarang." Pak Rudy berbisik pada Tiana. Pria itu pun sepertinya tidak tega menginformasikan hal ini pada tiga orang keluarga Fian yang pastinya masih sangat terpukul.
Tiana mengangguk. "Bapak tolong koordinir orang-orang, ya. Saya bicara dulu pada Alena dan Richy."
"Baik, Mbak."
Setelah Pak Rudy pergi, Tiana mengangkat wajah Siera agar anak perempuan itu bisa menatapnya. "Siera, sekarang waktunya Papi pergi. Kamu udah Ikhlas kan?"
Siera mengerjapkan matanya yang sembap. "Ikhlas itu apa, Tante?"
"Ikhlas itu berarti kamu sudah merelakan Papi untuk pergi ke tempat yang seharusnya. Ikhlas itu berarti hati kamu sudah siap untuk melepaskan apa yang seharusnya pergi."
Siera terdiam sejenak dan menatap jasad Papinya. Ia mengangguk pelan setelahnya. "Aku ikhlaskan kepergian Papi," ucapnya dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. "Aku nangis, tapi aku Ikhlas. Papi pasti gak akan senang kalau terus-terusan di sin ikan, Tante?"
Tiana bersyukur bahwa Alena dan Fian sukses mendidik anak mereka. Dia bahkan tidak perlu membujuk Siera lama-lama ataupun memberi pengertian lebih mendetail.
"Sekarang, Tante mau ngomong dulu sama Om Richy dan Mami ya."
Siera melepaskan pelukan Tiana agar Tiana bisa pergi mendekat ke arah Alena dan Richy. Siera memperhatikan bagaimana Tiana menyentuh Pundak Richy dengan begitu hati-hati. Pria itu pun akhirnya mengangkat wajahnya yang merah dan masih dibasahi oleh air mata.
"Udah waktunya, Rich," ucap Tiana pelan. Dia kembali berucap ketika mendapati raut tak terima Richy. "Please jangan ngelawan takdir. Aku tau kamu sedih dan terpukul, tapi tolong kasihani Siera. Dia udah sangat menerima semua ini. Gimana perasaannya kalau melihat kalian gak mau mengikhlaskan Mas Fian?"
Richy melirik Siera yang menatap sendu padanya. Dia begitu larut dalam kesedihannya sampai lupa bahwa ada seorang anak kecil yang juga kehilangan Papinya yang begitu ia sayangi.
"Tolong kasih pengertian ke Alena. Aku gak yakin aku bisa," ujar Tiana sebelum akhirnya kembali ke tempatnya.
Richy mendekati Alena yang kini sama sekali tidak menangis. Dia hanya terdiam sembari memeluk tubuh Fian.
"Len, udah waktunya Mas Fian dimakamkan," ucap Richy lembut.
Alena tak bergeming. Dia masih bertahan pada posisinya.
"Lena, kamu nggak kasihan sama Siera?" tanya Richy.
Kali ini Alena bereaksi. Dia melepaskan pelukannya pada Fian untuk melihat Siera yang duduk di sebelah Tiana. Dengan raut penuh kesedihan, Siera memaksakan senyum di wajah mungilnya.
"Mami, Papi udah pergi," ucap Siera dengan suara bergetar namun ia mati-matian menahan tangisnya. Dia tidak mau Maminya bertambah sedih. "Kita antar Papi ke rumah barunya ya, Mi?"
Seakan tersihir dengan ucapan lembut Siera, Alena mengangguk. Dia tersenyum sendu kemudian memeluk putrinya itu. Harta paling berharga yang ditinggalkan Fian untuknya. Rasa bersalah tiba-tiba menyelimuti hati Alena. Bagaimana bisa sejak tadi dia hanya fokus pada rasa sakitnya dan hampir lupa bahwa bukan hanya dirinya yang kehilangan Fian, tetapi juga anak mereka.
***
Alena terdiam menekuri nama suaminya yang kini terukir di batu nisan. Rasanya Alena ingin melawan takdir. Kalau saja bisa, dia ingin kembali ke waktu di hari Fian meminta izin untuk pergi melakukan ekspedisi. Atau tidak, dia kembali ke waktu ketika mereka berada di bandara saja. Alena baru menyadari waktu itu ada dua orang tua yang terlihat begitu sulit melepaskan anaknya padahal anak mereka sudah cukup dewasa untuk bepergian. Mungkin itu yang disebut dengan firasat.
Pantas saja saat itu Alena begitu sulit mengizinkan Fian untuk pergi. Bahkan perasaannya tidak pernah benar-benar tenang setelah Fian meninggalkan rumah, meskipun pria itu tidak pernah absen menelpon ataupun sekadar mengirim chat di sela-sela kesibukannya.
Tiap kalimat yang diucapkan Fian, begitu juga dengan chat terakhirnya. Semua itu sudah mengisyaratkan kepergiannya. Kemarin-kemarin Alena mengira itu hanya bentuk bujukan Fian agar Alena tidak khawatir berlebihan. Alena sama sekali tidak menyangka bahwa semua itu adalah bentuk farewell dari suaminya.
"Lena, kasihan Siera pasti udah ngantuk nunggu di mobil. Kita balik sekarang ya, Len?" bujuk Tiana yang sedari tadi duduk di sebelah Tiana. Dia yang menawarkan untuk menemani Alena di sini dan meminta Richy untuk membawa Siera ke mobil. Para pelayat lain sudah pulang dan sekarang sudah malam.
Alena tersenyum tipis. "Kamu kalau mau nangis juga gak apa-apa kok, Ti. Dia kakakmu juga, jadi jangan ngerasa gak pantes untuk merasakan sedih yang sama seperti aku dan Richy."
"Apa, Len?"
"Aku tau kamu udah menahan diri sejak pertama kali melihat jenazah Mas Fian." Alena menatap Tiana dengan mata sembapnya. "Bagi aku, Richy, dan kamu, Mas Fian adalah satu-satunya. Dia satu-satunya yang aku miliki saat ini, aku udah gak punya orang tua. Ingat kan, dulu Mas Fian selalu ngasih kita duit jajan dengan alasan santunan anak yatim."
Mau tak mau Tiana mendengus. Mungkin ini tawa pertamanya di hari ini. Dulu saat mereka masih sekolah, tiap awal bulan Tiana dan Alena sengaja menyempatkan diri main ke rumah Richy tanpa peduli apakah Richy ada di rumah atau tidak karena tujuan utama mereka adalah percikan tanggal muda dari Fian. Fian sendiri sudah hafal dengan kelakuan mereka berdua sehingga dia pasti sudah menyiapkan dua amplop yang ditulisi 'santunan anak yatim dan piatu'.
Alena menatap langit malam dengan pandangan menerawang ke masa lalu. "Sementara untuk Richy, Mas Fian adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa. Dan untuk kamu, Mas Fian adalah sosok kakak yang paling kamu sayangi."
Begitu ucapan Alena berakhir, tangis Tiana pecah seketika. Semua kesedihannya benar-benar ia tumpahkan saat ini. Kenangan-kenangan bersama Fian terputar kembali di otaknya seperti sebuah film dan itu sangat menyesakkan.
Alena sendiri membiarkan Tiana menangis, meluapkan semua kesedihannya. Dia hanya diam dan mendengarkan isakan-isakan Tiana yang pastinya sudah ditahan oleh cewek itu seharian ini.
Semua orang pantas bersedih dan menangis atas sebuah kehilangan. Bukan untuk melawan takdir, hanya untuk segala kenangan yang tertinggal.
![](https://img.wattpad.com/cover/357689221-288-k560974.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
General FictionRichy mendapatkan sebuah kesempatan untuk memiliki kembali sosok yang paling dia inginkan, Alena. Hanya saja, kesempatan itu diperoleh dengan cara yang terlalu menyakitkan sehingga Richy mempertimbangkan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Di sis...