"Apa kamu berhasil membujuknya untuk menunda pernikahan?" Om Richard bicara dengan Jane. Ini pertama kalinya Jane kembali mengobrol dengan Om Richard walaupun hanya melalui panggilan telepon. Masih ia ingat jelas ketika Om Richard akan membanting barang saat ia sedang marah tepat terakhir kali Jane bertemu dengannya di rumah. "Jane?"
"Agustus tahun depan." Kata Jane kemudian. Sesuai kesepakatan yang ia tanda tangani dengan Andrew. "Kami akan menikah tahun depan."
"Bagus." Om Richard tertawa singkat merasa lega. "Kamu tentu tidak akan menikah dengan Andrew. Aku akan memainkan peranku selama dua bulan. Setelahnya, kamu bisa melepaskan diri dari Andrew."
"Sudah berjalan satu bulan dari rencana kita, Om Richard. Bulan Desember sebentar lagi, artinya dua bulan itu akan selesai. Cukup tepati dua bulan yang sudah Om katakan. Jika tidak..." aku mungkin akan jatuh cinta dengan Andrew.
"Jika tidak?" Om Richard mengulangi perkataanku.
"Aku tidak peduli dengan semua yang akan dilakukan Andrew." Ancaman itu tidak berhasil.
Tawa Om Richard terdengar keras memenuhi telinganya. Ia seakan meledek Jane. Perempuan itu menyadari jika ia mungkin tidak punya kekuatan apa-apa untuk melawannya. Namun, semakin lama sikapnya semakin membuat Jane naik pitam.
"Aku sedang bicara dengan Kento Yamaguchi mengenai saham yang akan aku ambil alih. Satu bulan kurasa cukup untuk meyakinkannya." Katanya dengan percaya diri. "Oh, iya. Perlu kuingatkan jangan sampai jatuh cinta padanya, Jane. Andrew adalah iblis yang diselimuti harta. Lebih baik jika Clark tidak pernah berhubungan dengan Morgan. Termasuk menjauhi adiknya, Naina Morgan."
Jane mematikan panggilan telepon tersebut. Om Richard tidak berhak mengatur apa yang harus ia lakukan. Termasuk dengan siapa Jane berteman dan jatuh cinta. Jane tidak ingin diatur karena pada dasarnya Jane telah gagal, ia mungkin tertarik dengan Andrew.
Langkahnya membawa Jane menuju dapur. Ia ingin memasak roti bakar untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Terlalu asyik membaca novel membuat ia lupa jika Jane belum makan malam. Perempuan itu membuka kulkasnya yang ternyata kosong.
Lagi-lagi perempuan itu lupa jika ia harusnya mampir untuk berbelanja sore ini. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu malam. Sudah dini hari, tetapi tidak masalah jika harus berbelanja ke minimarket.
Dibanding harus belanja pagi hari, Jane lebih memilih berbelanja saat ini. Tugas berbelanja tidak boleh mengganggu waktu tidurnya. Bisa jadi, besok pagi ia akan lebih lapar lagi dibandingkan ini.
Tangannya meraih tas belanja yang ia tumpuk bersama tas belanja lainnya. Tujuannya ialah mendatangi minimarket yang masih buka di Komplek The Cinnamon. Hanya itu satu-satunya minimarket yang buka 24/7.
Sesampainya di minimarket, Jane mengambil dua plastik yang berisi roti tawar yang sudah di potong-potong. Ia masih ingat jika selai kacangnya masih ada setengah. Selanjutnya, Jane mengambil beberapa snack untuk ia habiskan sembari membaca novel di kamarnya.
Jane berhenti tepat di depan kulkas berisi minuman. Ia mengambil beberapa yoghurt dan tak lupa beberapa minuman kemasan. Ia melirik keranjang belanjaannya yang sudah hampir penuh. Ini sudah cukup, perempuan itu belum tentu bisa menghabiskan semuanya.
Sembari membawa tas belanja yang penuh dengan semua makanan yang dibeli. Jane kembali memasuki lobi The Cinnamon. Banyak orang yang masih sibuk keluar masuk lobi. Wajar saja, hari ini hari Sabtu. Walaupun tengah malam, tetapi tak aneh karena kota ini tidak pernah tidur.
"Jane?" Jane berhenti sambil mencoba mengenali laki-laki yang berdiri di hadapannya. Ia juga sama seperti Jane, mencoba mengenali perempuan itu dengan matanya yang tampak serius menatap Jane. "Jeanne Clark?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Games With Love
ChickLitAndrew penasaran dengan Jeanne Clark-teman adiknya. Ia pikir rasa penasaran itu akan usai ketika ia memutuskan mengenalnya lebih dekat. Tetapi, ternyata tidak sesederhana yang ia pikirkan. Games With Love | The Alexandria #1