Mereka menatap sendu pada si bungsu, bagaimana bisa anaknya mengidap penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawa bungsunya.
Melihat wajah terlelap sang putra, hati Nindira merasa sakit, apa lagi dengan alat bantu pernafasan di hidung bangir sang putra, ia tidak habis fikir, bagaimana bisa anaknya harus merasakan sakit di usianya yang masih kecil.
Nindira mengusap perlahan wajah sang anak lalu mengecupnya, rasanya tidak tega jika harus menyaksikan hal seperti ini secara berulang.
"Mas..." Nindira menatap sang suami sendu, ia seakan akan siap menumpahkan air mata dari pelupuk matanya.
"Kita doakan yang terbaik buat Lio, mas akan berusaha untuk kesembuhan Lio, mas janji." Ucap Gerald seraya memeluk sang istri.
Mereka menunggu di dalam ruangan Lio, sudah lebih dari tujuh jam anak bungsunya tidak sadarkan diri setelah di larikan ke rumah sakit, mereka khawatir, namun disisi lain dokter mengatakan bahwa itu hal yang wajar bagi bayi untuk tidur lama.
Nindira merasa sedih, sebelumnya anaknya tidak pernah tidur selama ini, bahkan bungsunya itu akan terbangun jika ada sedikit keributan di samping ranjang tidurnya.
Tiga jam sebelumnya, ia menghubungi orang mansion untuk memberi kabar kedua anaknya bahwa adik mereka dibawa ke rumah sakit, namun Nindira juga melarang untuk kedua anaknya berkunjung ke rumah sakit. Ia tidak yakin dengan sikap kedua putranya, apa lagi jika itu menyangkut adik bungsu mereka.
setelah berjam jam ia diliputi rasa cemas, Nindira merasakan lengkuhan kecil dari sang anak, ia dengan cepat bergerak mendekati bangkar, betapa bahagianya ia saat menyaksikan wajah mungil itu membuka mata.
Hati Nindira tersentuh, bahkan dalam keadaan yang seperti ini, anaknya tidak menangis, betapa lembutnya hati si kecil Lio.
"Anak bunda akhirnya bangun." Ucapnya haru, dengan mata berembun.
Ia dengan hati hati mengangkat tubuh mungil sang anak agar tidak mengganggu aliran infus juga oksigen mask yang masih bertengger di sana, Nindira menciumi setiap inci wajah sang anak, ia merasa bersalah atas apa yang di alami oleh si bungsu.
"Mas Lio bangun mas." Ucapnya memanggil sang suami yang terlelap di sofa.
Gerald yang mendengar panggilan tersebut lantas membuka mata, ia bahagia saat di sambut wajah sang anak setelah bangun dari tidurnya, Ia beranjak dari sofa dan menghampiri keduanya, ia ciumi perlahan wajah sang anak.
"Akhirnya..." ucap Gerald penuh syukur.
"Maafkan bunda..." lirih Nindira seraya memciumi lagi wajah sang putra, ia sudah tidak tahan, akhirnya air mata itu kembali lolos begitu saja.
'Tidak jangan menangis.' Ucap Lio dalam hati kecilnya.
Tangan mungil Lio terangkat ingin mengusap air mata Nindira, matanya juga ikut berembun, hatinya sakit menyaksikan orang yang ia sayangi menangis karenanya.
'Tidak jangan menangis karena aku.'
Nindira yang mengerti akan raut sang anak menghapus air mata yang ada di wajahnya.
"Lihat, bunda tidak sedih, bunda bahagia sekarang." Ucap Nindira menyakinkan.
"Sekali lagi maafkan kami, ayah sama bunda akan berusaha untuk kesembuhan Lio." Ucap Gerald mengusap pelan pucuk kepala sang anak.
'Kesembuhan? Sebenarnya apa yang terjadi?' Batin Lio.
.
.
.
.Lio masih berada di rumah sakit, sekarang adalah hari ke empat ia dirawat, bahkan kedua orang tuanya senantiasa selalu mendampinginya, setelah tadi melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan prosedur apa yang akan di jalankan kedepannya, sekarang Lio tengah di gendong berkeliling di taman rumah sakit oleh sang ayah, soal infus dan alat bantu pernafasan sudah di lepas sebelumnya, jadi itu memudahkan Gerald mengendong Lio.
Sebelumnya, Gerald hanya memperhatikan wajah sang anak yang selalu memandang ke arah luar, sebenarnya anaknya tidak menangis bahkan rewel untuk sekedar meminta keluar dengan bahasa bayinya.
Namun, Gerald tidak tega saja jika harus menyaksikan wajah memelas sang anak yang mengisyaratkan ingin pergi keluar.
Terkadang Gerald berfikir, sikap anaknya ini berbeda dengan anak bayi seusianya yang akan rewel, dan bisa di bilang anak bungsunya ini bersikap dewasa di usianya yang masih sepuluh bulan, bahkan lebih tepatnya anaknya ini seakan tidak ingin merepotkan ia dan seluruh orang yang berada di mansion.
"Lihatlah Lio, ada balon!" Tunjuknya di kursi taman rumah sakit.
"Lio mau kesana?" Rayunya pada sang putra.
Tentu saja Lio hanya bisa diam, namun matanya tertuju pada arah yang di tunjuk oleh sang ayah.
Melihat reaksi sang anak, Gerald menghampiri penjual balon dan membeli semua balon untuk di bagikan ke anak anak yang bermain juga sang anak Lio.
" ini buat Lio!" Ucapnya sembari menyerahkan balon berwarna biru untuk Lio.
Tidak ada senyum bahagia yang terukir di wajah sang anak, namun tangan kecil itu terulur menerima pemberian dari sang ayah.
Gerald merasa sedih, kenapa ia tidak pernah melihat senyum sang anak, padahal diusia ini, seharusnya anaknya lebih sering tersenyum bahkan di hal yang begitu kecil.
Gerald duduk di bangku taman sembari mendudukkan Lio di pahanya, tangannya mengusap surai lebat sang anak, entah kenapa ia merasakan sesuatu yang aneh akan sikap sang anak, apakah anaknya menderita kelainan? Ia bingung, ia ingin membicarakan hal ini pada sang istri, namun ia takut istrinya akan kecewa pada pemikiran yang ia punya.
Gerald menghembuskan nafasnya kasar, ia harus menepis pemikiran seperti itu, mau bagaimana pun kedepannya, Lio tetap anak bungsunya tidak ada hal yang akan berubah.
Mendengar helaan nafas sang ayah, membuat tubuh kecilnya menegang, nafasnya sedikit cepat.
'Apakah ayahnya merasa di repotkan?'
'Kenapa ia harus mempunyai penyakit? Ia tidak mau membuat repot keluarganya.' Fikiran kecil Lio kembali muncul.
Jam tangan pengukur detak jantung Lio berbunyi nyaring, Gerald tersentak dari lamunannya.
"Lio kenapa?" Tanyanya.
Tidak ada respont dari sang anak, Gerald menggendong Lio sembari berlari menuju ruang rawat Lio.
.
.
.
."Bagaimana dok?" Tanya mereka serempak.
"Bapak ibu tenang saja, mungkin ada hal yang membuat Lio terkejut dan mengakibatkan jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya." Jelas sang dokter.
"Dan nanti mungkin Lio sudah bisa pulang, namun Lio harus rutin check up sebulan sekali untuk mengetahui keadaan jantungnya, juga kalau ada apa apa langsung saja hubungi kami." Imbuhnya lalu undur diri.
Nindira kembali memeluk sang anak, tadi ia sangat terkejut saat sang suami membawa si bungsu dengan tergesa gesa.
Beruntung tidak ada hal yang serius mendengar penjelasan sang dokter.
"Kenapa bisa seperti tadi mas?" Tanya Nindira penuh selidik.
Gerald tersentak mendengar nada dingin sang istri.
"Tadi aku hanya membawa Lio ketaman dan duduk di sana, tidak lebih, percayalah!" Ucapnya menyakinkan.
"Aku percaya, tidak mungkin suamiku ini akan melukai bungsu kami." Balasnya tersenyum lembut.
"Syukurlah tidak terjadi apa apa." Tuturnya pada sang anak.
"Dengarkan bunda, kami sangat menyayangimu, bahkan kami rela melakukan apa pun demi kesembuhanmu, karena Lio adalah kesayangan kami semua." Ucapnya lembut lalu mengecup lamat dahi sang anak.
Lio yang mendengar penuturan sang bunda hampir menangis, ia terbuai dengan semua perlakuan dan ucapan yang mereka berikan untuk Lio.
Perlu di ingat, mungkin usianya masih sepuluh bulan di dunia ini, namun jiwanya adalah pemuda berusia enam belas tahun di dunia sebelumnya, Jadi Lio mengerti semua hal yang di lakukan untuknya
Akhirnya bisa update lagi dari sekian purnama😭
Vote and coment juseyo(^o^)/
Target 65 vote baru update lagi😅🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
TO BE PERFECT(D.R) ✔️
Teen FictionKarya 2 Seorang pemuda yang rela menyerahkan seluruh masa remajanya hanya untuk kebahagian dan ego orang tuanya. Seseorang yang membuat kesalahan didunia ini tidak akan dicintai, sepertiku. Pov. Aku sudah banyak mengemis dalam hidupku. Semakin aku...