Part 13

181 10 0
                                    

Pagi ini kabut memudar sebelum subuh datang, hawa dingin berangsur menghilang, mentari menyembul dari ufuk timur, menggantikan tahta sang fajar.

Kuhirup udara pagi dalam-dalam, namun ketika angkot yang akan menemaniku ke sekolah datang, buru-buru aku melompat ke dalam dan duduk diposisi paling belakang, karena aku begitu menikmati perjalanan pagiku, aku merasa setiap pemandangan pagi menyimpan sejuta cerita.

Angkot melaju perlahan, asap kendaraan ini beberapa kali mengepul keudara menyembulkan warna kelabu keangkasa.
Aku terdiam mengamati jutaan timbal-timbal akibat proses pembakaran yang tidak sempurna itu menghampiri setiap sudut kota, beberapa kali angkot berhenti. Sang kenek berteriak-teriak memanggil setiap orang yang ada di pinggir jalan, tapi aku tak perduli, ku biarkan duniaku tercipta dengan sendirinya di dalam angkot ini.

“Hai… pagi..” seseorang terdengar menyapaku, membuyarkan semua lamunanku. Aku terlonjak dan spontan mencari arah datangnya suara, aku terpaku antara tak percaya dan bingung. Kak Fean ada tepat dibhadapanku, menyapaku dengan begitu sopan, aku tertegun, dia malah tersenyum dan beralih memandangiku, kurasakan aliran darahku berdesir, ah.. tidak mungkin. Aku menjerit dalam hati.

“Hai…” seseorang itu mengulang sapaanya lagi.

“Kak Fean..” tanyaku tak percaya.

“Hahaha… motorku mogok jadi aku naik angkot deh…” lanjutnya tanpa harus kutanya.

“Oh.. gitu..” aku bingung mau ngomong apaan, dan tanpa sadar angkot yang kutumpangi melaju begitu kencang sehingga tak terasa hampir sampai sekolahku, di seberang sana terlihat papan nama sekolahku.

“Kiri Bang..!” seruku, Kak Fean udah berjalan lebih dulu.

“Aku duluan ya!” serunya meninggalkanku, yang masih berdiri menunggu giliran membayar.

Sikap Kak Fean berubah sejak beberapa hari yang lalu terhadapku, entah aku juga tak pernah berharap memang, agar Kak Fean membalas perasaanku, tapi pagi ini terasa menyakitkan.

Aku berjalan mempercepat langkahku, gerbang sekolah terbuka lebar-lebar aku langsung berlari kekelas.

“Pagi Pak Bon… yang bersih ya pak…”sapaku pada tukang kebon sekolahku.

“Ok neng Lala, jangan khawatir kalo ada Pak bon semua pasti beres!” jawabnya mantap, aku sedikit tertawa.

“Pagi Lala..”sapa setiap orang yang tak sengaja berpapasan denganku.

“Pagi…” jawabku.

Tak terasa langkahku telah sampai didepan kelas, suasana kelas masih begitu sepi, tapi disudut paling belakang penghuni kelas telah datang lebih awal.

Arvi hanya melirik sebentar melihat kedatanganku, lalu bersikap tak perduli seperti biasanya. Aku meletakkan tasku dibangku paling depan, lalu berjalan mengambil sapu yang tergeletak disudut belakang ruang itu. Hanya suara detak jam dinding yang terasa hidup diruangan itu, aku mulai menyapu sela-sela meja yang terlihat kotor.

“Yah.. Arvi!”seruku ketika sampai ditempat duduknya, dia hanya menoleh dan berlagak sok sibuk.

“Bisa enggak pindah sebentar aja?” Pintaku melembut, dia masih enggak berkutik, dasar Es Batu, gerutu hatiku.

Aku masih berdiri di sampingnya, dia menoleh kearahku, meletakkan bukunya, lalu beranjak dari tempat duduknya.
“Nah kalau kayak gini kan….”

“Ini gunanya pacar…!” Serunya dingin, sambil merebut sapu itu dari tanganku, dan melanjutkan pekerjaanku.

“Gila…!” kataku. Dia menghentikan sapunya, lalu mengembalikannya padaku. sambil berkata samar-samar.

“Itu yang Kak Fean bilang ke Lita…. kemarin”. Aku lemas seketika.

****888****

PUTIH ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang