Hawa panas semakin menyeruak keseluruh ruang kelasku, sebuah kipas angin yang diputar kencang diatas kepalaku tak bisa mengurangi hawa panas siang ini.
Matahari terlihat begitu terik, tepat pukul dua belas bel tanda pulang berdentang membuyarkan konsentrasiku, aku masih sibuk pada tugas-tugas sekolahku, beberapa telah selesai kukerjakan.
Kelas berangsur-angsur sepi, dan kini tinggalah aku sendirian ditemani suara kemlatak kincir kipas angin yang sudah mulai usang. Berkali-kali aku menghela nafas panjang mengendorkan urat-urat sarafku yang menegang.
Lita sahabatku pun hari ini tak bisa kumintai pertolongan, karena hari ini ada pertandingan bola basket dilapangan sekolah, begitupun dengan teman-temanku yang lain mereka lebih antusias untuk menyaksikan pertandingan itu.
Sebal mulai merajaiku, aku bener-bener mulai kesal sendiri, kenapa harus hari ini tugas-tugas ini kukerjakan. Hari ini Kak Fean bertanding mempertahankan hidup dan mati tim basket sekolahku, sedangkan aku bahkan tak mungkin sempat untuk melihatnya karena tugas yang seabrek ini.
“Ah.. andai semuanya bisa selesai jam ini, ah andai aja ada yang mau bantuin, ah andai aku bisa nonton pertandingan basket, ah andai… uh…” gerutuku sebal, bingung, resah, gelisah, dan dilemma udah bikin tambah pusing diriku.
Kulirik ke sebuah buku yang bakal kuresensi itu, aduh tebel banget lagi kapan sempet bacanya, gumamku dalam hati sambil kutimang-timang buku itu.
Aduh bagaimana cara bikin resensinya ya, di print atawa pake PPT sih?
BUKK…
Seseorang telah melemparkan tasnya disebelahku, dengan cepat ia telah mengambil alih buku dari tanganku tanpa berbasa-basi dahulu.
Spontan aku mendongakkan kepalaku sambil memastikan sejenis apa makhluk di hadapanku itu. Jantungku hampir melompat tak percaya, laki-laki jangkung, berhidung mancung yang hanya memakai kacamata pas lagi butuh aja, itu telah tepat berada dihadapanku.
Aku bener-bener kaget dengan kehadirannya, aku juga enggak tahu apa yang sedang dilakukannya dikelas ini. Dia duduk disebelahku, mengambil buku dari tanganku, aku bengong dan bingung.
“Masih belum mengerjakan?” tanyanya datar, aku celingukan jangan-jangan ada makhluk lain yang sedang ditanyainya.
“Aku?”tanyaku polos. Dia tak perduli dengan pertanyaanku, aku juga jaga imej dihadapannya.
“Ngapain kamu disini?”tanyaku balik, dia tak berkutik dari buku yang akan kuresensi.
“Yah…. Arvi!”seruku kesal. Dia hanya menoleh dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Aku membuang nafas dalam-dalam.
“Bagaimana bimbingan OSN-nya?”dia bahkan tak menghiraukan pertanyaanku, dan mengganti dengan pertanyaan baru.
“Emm… hari ini aku…”
“Oh resensinya dikumpulkan dalam bentuk hard copy, juga enggak perlu di baca keseluruhannya, cukup bab-bab tertentu saja.” Dia memotong kalimatku, sambil mengembalikan buku itu, lalu pergi begitu saja.
“Arvian….” Seruku jengkel.
****888****
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTIH ABU-ABU
RomantizmNayala Salsabil berambisi masuk OSIS untuk dekat dengan cinta pertamanya, Fean. Namun dalam perjalanan memperjuangkan cintanya, dia dipertemukan dengan persahabatan yang hangat di sekitarnya. Mampukah Lala menaklukan sang pujaan hati? Atau malah ta...