Pagi terasa lebih cerah dari hari biasanya. Embun pagi menetes perlahan dari pucuk-pucuk dedaunan, dan tak sengaja jatuh menetes tepat dikeningku.
Udara pagi yang dingin telah menciptakan sensasi menggigil, kurapatkan jaketku, untuk menghangatkan tubuhku. Lapangan upacara telah berubah menjadi layaknya istana kecil di tengah hiruk pikuk sekolah. Dekorasi yang digunakan plus penataan tratag dan tempat duduk yang rapi dan indah.
Aku berjalan menyusuri pinggiran lapangan upacara dengan terkagum-kagum, aku suka sekali dengan pemandangan pagi ini.
“La, Nanti kamu langsung gabung sama temen-temen ya, bye….”sambut Rinanda saat berpapasan padaku.
“Ok.” jawabku, yang melihat Rinanda mendadak sibuk.
Hari ini adalah hari H yang kami nanti-nantikan, aku tersenyum akhirnya semua bakal terlaksana juga, gumam hatiku. Ketika aku hampir sampai di kelasku, aku menoleh, dan mataku tak sengaja menangkap sosok Rohim yang sedang berusaha berjalan dengan kruk.
“Rohim…! Kamu udah sembuh?” Seruku heboh menyambut cowok cungkring yang baru kena musibah itu.
“Alhamdulillah, berkat do’a Lala dan temen-temen lah.” jawabnya bijak.
“Wah tapi kamu berangkat bukan karena takut kena omelanku kan?” candaku.
“Ya.. engg..”
“Ya pastinya lah! Karena takut disantap mak Lampir, yang suka ngoceh dimanapun dan kapanpun!”potong Rehan yang tiba-tiba sudah ada dibelakangku.
“Apaan sih…! Ngrusak suasana aja, nyebelin!”
“Terserah aku dong… mulut-mulut siapa? Kata-kata siapa.” katanya mengejekku.
“Oh… Rohim entar kamu duduk aja enggak papa kok, kamu kan masih sakit… Ok!” lanjutku, tanpa menghiraukan omelan si kunyuk Rehan, namun Rohim malah senyum-senyum enggak jelas.
“Ok Lala.” Jawab Rohim yang masih tak bisa menahan tawa, membuatku buru-buru permisi, meninggalkannya.
****888***
Hari semakin siang, terlihat dari sinar mentari yang memancarkan cahayanya lebih terang. Para tamu undangan dari luar sekolah mulai berdatangan, para guru pun dengan senang hati menyambutnya, beberapa yang kenal dekat lalu ketawa-ketiwi akrab. Aku menghampiri Kak Andra, sang pianis sekolahku, beberapa kali dia menjuarai lomba piano tingkat kabupaten, hari ini aku ingin menampilkan sebuah puisi, dan aku berharap Kak Andra mau membantu mengiringi puisi karyaku itu.
“Kak Andra!” seruku.
“Ya, ada apa La?
“Emmm… aku mau nampilin puisi, nih… puisinya” kataku sambil menyerahkan kertas dari tanganku.
“Kak Andra mau kan, ngiringin puisi itu, biar jadi musikalisasi puisi!” lanjutku bersemangat.
“Emangnya kamu udah konfirmasi ke Fean atau temen-temen yang lain? Ntar kalau nggak bisa kena ocehan dia tau!” jawab Kak Andra sambil melirik menggodaku.
“Oh iya.. ya, kok aku enggak kepikiran gini ya.” aku hanya garuk-garuk kepala, mungkin saking semangatnya, sampai lupa ada dunia lain, yaitu dunia minta izin, aku hanya tersenyum sambil menggumam dalam hati.
Ah kalau bukan karena mau pamer sama Arvian, biar dia tau kalau aku lebih baik darinya, mungkin enggak bakalan aku ikutin saran Lita. Malu kali aku. Ini kan pertama kalinya aku baca puisi. Eh enggak-enggak boleh aku malu, demi kehormatan dunia cewek yang udah direndahin sama kaum cowok, inikan jamannya emansipasi, so pasti. Hehe.
“Loh kok masih senyum-senyum disini sih. Udah kehabisan obat? Udah sana cari Fean, minta izin dulu…. Ihh… Lala Gila!”omel Kak Andra.
“Apaan sih Kak, ya udah aku tinggal ya, Bye!”kataku sambil kabur.
Setelah beberapa saat mencari teman-teman OSIS akhirnya aku temukan juga, mereka lagi ngumpul di dekat musola, dengan semangat empat lima aku nerocos menyatakan ide konyolku bin tiba-tiba itu.
“Hallo semua!” sambutku pada mereka.
“Eh Lala dari mana aja kamu!”sambut Melda ketus.
“Iya tiba-tiba muncul kaya mak Lampir kesambet apaan dateng-dateng ngoceh kaya burung beo!” tambah si kunyuk Rehan, membuatku bersungut-sungut sebal.
“Oh aku dari kelas. Oh ya aku kesini mau minta izin buat bacain puisiku ya itung-itung buat ngisi acara istirahat nanti, ya kira-kira sebelum acara inti, boleh kan?”
“Ok! aku sih malah setuju banget, aku yakin Lala pasti berhasil deh” jawab Kak Fean dengan spontan.
Sementara membuatku melayang tinggi, ya namanya juga dipuji sang pangeran, hehe. Namun sebaliknya Rehan dan Melda cemberut setengah mati, aku tertawa dalam hati dua makhluk itu memang tak pernah setuju dengan segala argumen-ku selama ini, sampai-sampai aku berfikir mungkin jodoh kali ya.
“Emm… boleh juga ide kamu, aku setuju deh.” sambut Kak Rina.
“Aku juga setuju asalkan kamu enggak grogi lalu malu-maluin di depan tamu undangan.”tambah Kak Hari dan Kak Neni yang hampir bersamaan.
“Aku enggak! Ngapain pake acara gituan nggak penting, nambahin acara aja!” timpal Rehan ketus banget, sambil meninggalkanku yang masih berdiri sambil melihatnya pergi dengan menyebalkan.
“Udah enggak usah dipikirin, senyum dong!” hibur Kak Fean padaku, membuatku tambah semangat, meskipun Melda terlihat makin kusut mukanya. Yang lain udah setuju tanpa alasan apapun, ya yang penting bilang iya aja.
****8****
![](https://img.wattpad.com/cover/356840442-288-k782220.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTIH ABU-ABU
RomanceNayala Salsabil berambisi masuk OSIS untuk dekat dengan cinta pertamanya, Fean. Namun dalam perjalanan memperjuangkan cintanya, dia dipertemukan dengan persahabatan yang hangat di sekitarnya. Mampukah Lala menaklukan sang pujaan hati? Atau malah ta...