16. Sisi nya yang rapuh

12.8K 957 21
                                    

Biasakan vote terlebih dahulu. Pencet tanda bintang dipojok kiri bagian paling bawah. Vote dikit=slow update. Jadi harus vote terlebih dahulu. Jangan biasakan jadi silent reader yang tidak berguna.

-HAPPY READING-

Pagi tadi, Abim bangun lebih dulu daripada Kenzie. Ia sengaja tidak membangunkan laki-laki itu dan memilih pergi dari rumah. Abim membutuhkan sedikit udara segar, Abim duduk disebuah taman yang tidak terlalu banyak pengunjung nya. Ia menghela napas entah untuk yang keberapa kali nya.

Seorang anak kecil berlari ke arah nya dengan menentang dua batang permen. Abim menatap heran, namun kala melihat siluett seseorang yang dia kenal membuat Abim hanya menghela napas lelah. Anak kecil tadi sampai didepan Abim, ia tersenyum dan menyodorkan satu batang permen tadi pada Abim.

"Buat kakak, dikasih sama om yang disana. Kata om nya, dia mau minta maaf." Anak kecil itu berucap membuat senyum tipis terbit di bibir Abim.

"Emang om itu bilang apa?" Tanya Abim dengan iseng. Anak kecil tersebut naik keatas bangku, dan mendekat kearah Abim untuk membisikkan sesuatu.

"Kata nya, kakak gak boleh sedih. Kalau kakak sedih, om nya juga bakal sedih." Abim terkekeh geli, ia mengusap lembut surai rambut anak itu.

"Kamu kenapa sendirian? Orang tua kamu mana?" Tanya Abim membuat anak itu celingukan.

Ketika Abim ingin buka suara lagi, sosok perempuan dan seorang laki-laki yang Abim kenali mendekat kearah nya. Mungkin perempuan itu adalah Ibu dari anak ini, pikir Abim. Setelah anak itu pergi bersama sang Ibu, Kenzie duduk disamping Abim tanpa mengatakan apapun.

"Kamu sudah sarapan?" Tanya Kenzie basa-basi.

"Udah." Ucap Abim menjawab pertanyaan Kenzie.

"Maaf, saya tau kamu terbebani perihal kemarin. Saya sebenarnya tidak ingin menikahi Chaca, tapi saya tidak mungkin tidak bertanggung jawab atas apa yang sudah saya perbuat." Kenzie berucap dengan mendongkak, menatap langit yang kini terlihat mendung.

"Ehm, gue paham. Lagipula gue juga gak bisa ngelakuin apapun kan?" Abim menunduk, menatap sepatu yang ia kenakan.

"Gue, bingung harus ngomong dari mana." Abim bergumam pelan yang masih bisa terdengar oleh Kenzie.

Abim mengusap air mata yang tiba-tiba menetes tanpa ia minta, sungguh Abim tidak tau harus melampiaskan emosinya seperti apa. Perubahan Kenzie akhir-akhir ini membuat Abim banyak berpikir, apalagi tentang fakta lain nya. Hal itu terlalu membebani pikiran nya.

"Maaf." Ucap Kenzie, ia menarik tubuh Abim dan mendekap hangat anak itu. Ini pertama kali nya Kenzie melihat Abim menangis setelah beberapa bulan mengenal anak itu.

Sakit, rasanya ada ribuan jarum yang menusuk dada Kenzie kala mendengar suara tangisan Abim. Apa selama ini Kenzie terlalu membebani Abim? Anak itu terlalu menumpuk banyak emosi hingga membuat nya seperti ini. Kenzie tidak suka rasa sakit yang saat ini ia rasakan.

"Tolong berhenti menangis, itu membuat saya sakit. Maafkan saya Abim, ini semua salah saya." Kenzie merasakan tangan Abim yang memeluk nya mulai melemah.

Abim menatap Kenzie dengan pandangan yang sulit diartikan. Kenzie sendiri hanya menatap Abim dengan sendu, ia mengusap air mata anak itu, mengecup seluruh bagian wajah yang kini terlihat memerah.

"Saya mencintai kamu, Abim."

••••••••

"Kenzie, kamu gak bisa lepas tanggung jawab gitu aja." Chaca saat ini berdiri dihadapn Kenzie.

Setelah membawa Abim pulang kerumah tadi, Kenzie harus langsung kekantor karena ada rapat menengai investigasi yang baru saja ia jalankan. Namun setelah rapat selesai, Kenzie langsung dihadapkan oleh Chaca.

"Saya tidak lepas tanggung jawab. Tolong bersabarlah, saya perlu mengurus beberapa hal." Ucap Kenzie, nada nya terdengar begitu pasrah.

"Tapi aku pengen cepet-cepet nikah sama kamu!" Chaca menghentakan kaki nya dengan kesal, sedangkan Kenzie menutup wajah nya menggunakan sebelah tangan dengan frustasi.

"Tolong kasih saya waktu sebentar, saya akan bertanggung jawab. Kamu tenang saja." Kenzie melirik handphone nya yang berbunyi, menatap siapa sang penelpon. Pengurus rumah tangga? Dahi Kenzie berkerut bingung kala art dirumah nya menelponnya di jam segini.

"Tuan besar, Tuan muda sakit dan saat ini dia sedang mengigau menyebut nama anda. Jika anda tidak sibuk, bisakah pulang sebentar?"

Kenzie tidak bisa menutupi wajah khawatir nya kala mendengar apa yang baru saja art tersebut katakan. Dengan cepat ia mengambil jas nya yang ada dikursi dan pergi begitu saja meninggalkan Chaca. Panggilan serta teriakan perempuan itu sama sekali tidak Kenzie gubris.

Beberapa karyawan yang melihat wajah panik Kenzie tentu bingung, apa yang membuat Kenzie sepanik itu? Pikir mereka. Kenzie mengendarai mobil nya dengan kecepatan diatas rata-rata, ia mencengkram kuat setir mobil kala saat ini terjebak macet.

Tak kehabisan akal, Kenzie turun dari mobil dan berlari menyalip para pengendara tanpa memperdulikan makian yang terlontar untuk nya. Setelah berhasil keluar dari zona macet, Kenzie langsung menghentikan tukang ojek yang lewat dan pergi. Bukan, bukan tukang ojek yang menyetir melainkan Kenzie sendiri. Sedangkan tukang ojek dia suruh untuk mencari mobil yang tadi ia tinggal nya.

Selang beberapa menit, Kenzie tiba di pekarangan rumah nya. Ia bahkan tidak memarkirkan motor tersebut dengan benar dan langsung berlari kedalam rumah. Menaiki anak tangga dan akhirnya sampai didepan pintu kamar Abim. Kenzie membuka pintu nya perlahan, menampilkan seorang art yang tengah mengompres Abim.

"Tuan besar." Art tersebut membungkuk sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

"Saya hampir mati karena panik." Gumam Kenzie pelan, ia naik keatas kasur dan langsung memeluk Abim yang saat ini masih memejamkan matanya.

"Tolong jangan sakit, Abim."

-BERSAMBUNG-

gak tau ini ngetik apaan, alay kagak sih anjir. tapi gakpapa aing sukak 😍

kek nya ini update an terakhir, aing abis kuota heheh. nanti kalau ada kuota insyaallah double update. jangan lupa vote and komen.

menurut kalian, gimana sikap kenzie di chapter ini?

Married To The CEO [BxB | End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang