Bab 2

17.4K 780 29
                                    

Sore harinya aku menuju ke rumah keluarga besar suamiku dengan menggunakan mobil yang aku pesan melalui aplikasi ojek online. Aku pergi tidak dengan tangan kosong. Digenggamanku ada paper bag yang di dalamnya berisikan roti chiffon. Roti chiffon rasa pandan kesukaan eyang kakung yang aku buat dengan tanganku sendiri.

Tiba di pelataran rumah keluarga besar, aku bergegas keluar dari mobil yang aku tumpangi. Aku melangkahkan kakiku, berlari kecil menuju rumah untuk menghindari gerimis yang sejak pagi masih awet mengguyur bumi.

Aku mengurungkan niat yang semula ingin mengetuk daun pintu saat tidak sengaja mendengar kata-kata budhe yang berbicara dengan ibu mertuaku. Runguku tidak sengaja mendengar kata-kata tanpa empati yang serasa menikam jantung. Tanganku yang menggantung di udara, aku turunkan. Meremas tali paper bag kuat-kuat seolah kantong kertas itu bisa jatuh menghantam lantai jika aku tidak menggenggamnya dengan benar.

"Wilu kudune ngerti, nak dhewekne ora iso ngei Rajendra keturunan (Wilu harusnya menyadari kalau dirinya memang ga bisa ngasih Rajendra keturunan)" Suara Budhe Galuh yang nyaring sampai terdengar di depan teras.

"Sabar dulu mbak yu, kasih kesempatan sedikit lagi untuk Wilu dan Rajendra menjalankan program dari dokter. Aku ndak tega menyampaikan ke Wilu kalau Laras- anak perempuan dari temenne mbak Yu mau menjadi istri ke dua untuk Rajendra. Ndak ada perempuan yang ingin dimadu mbak yu, termasuk menantuku Wilu"

Mama Retno- ibu mertuaku memang sebaik itu. Beliau adalah satu-satunya orang yang membelaku disaat semua orang menyudutkanku termasuk keluargaku sendiri. Bahkan suamiku sendiri akan lebih memilih diam jika para sesepuh memberi wejangan ini-itu kepadaku menyangkut sulitnya kami memperoleh keturunan.

Dan untuk perempuan yang bernama Laras. Aku pernah mendengar nama itu beberapa kali disebut Budhe Galuh sebagai mantan kekasih Rajendra sebelum kami terpaksa menerima perjodohan ini.

Iya, kami menikah karena perjodohan akibat hutang budi. Hutang budi eyang kakung Rajendra kepada ayahku yang dengan suka rela menyumbangkan satu ginjalnya untuk eyang kakung Rajendra dengan syarat salah satu dari cucu laki-laki eyang harus ada yang mau menikah denganku.

Ayah mengajukan syarat itu sebagai bentuk untuk mengeratkan keluarga kami dengan keluarga eyang kakung. Namun sebenarnya aku tahu jika aku dijadikan ayah sebagai alat untuk mendapatkan uang bulanan dari keluarga Rajendra. Selain itu, ayah mengingankan kehidupanku kedepannya akan terjamin dan terpenuhi. Tidak lagi memusingkan perut yang lapar dan tunggakan uang sekolah anakku kelak karena kami masih berkubang dengan kemiskinan.

Wajah yang pas-pasan dan pendidikan yang tidak tinggi karena hanya tamatan SMA, membuat semua cucu laki-laki dari eyang kakung menolakku mentah-mentah. Hanya Rajendra yang dengan sukarela menerima perjodohan terpaksa ini.

"Atimu iku terlalu cilik dek. Awakmu kudu iso ngandani Wilu yen kudu gelem dimadu. Nak emang ora gelem yo uwis cerai wae. Opo awakmu ga mesakke eyang kakung sing kepengen gendong buyut soko Rajendra nganti kegowo ngimpi. (Hatimu itu lembut banget dik. Kamu harusnya bisa ngasih tahu Wilu kalau dia harusnya mau dimadu. Kalau emang ga mau ya udah cerai aja. Apa kamu ga kasian eyang kakung yang ingin menggendong cicit dari Rajendra sampai ke bawa mimpi?)"

Mulut budhe bagai kompor yang terus-terusan memanas-manasi Mama Retno. Sudah sejak dari satu tahun yang lalu budhe sangat getol menghasut anggota keluarga suamiku untuk menyetujui agar Rajendra memaduku untuk memperoleh keturunan.

Mama akhirnya memlih untuk diam. Beliau tidak menanggapi lagi kalimat yang budhe utarakan. Mama sangat tahu sifat Budhe, semakin ditanggapi maka Budhe akan semakin menjadi-jadi.

"Nak awakmu ora tekan ngomong karo Wilu. Tak aku sing omong dek. Mesakke Rajendra yen kudu ngeboti Wilu terus. Wong wadon ora sempurna ngono kui ora sak pantese diaboti. (Kalau kamu ga sampai hati ngomong sama Wilu. Biar aku yang ngomong dek. Kasihan Rajendra kalau sampai harus mempertahankan Wilu terus. Perempuan ga sempurna kayak gitu ga sepantasnya untuk dipertahankan)"

Kata-kata budhe sungguh menyayat hatiku. Satu tetesan bening mendesak keluar dari sudut mataku. Aku menyekanya kasar. Menghapus jejak-jejak tangis dengan meredam suara isakanku agar tidak terdengar. Meskipun sesak menghimpit dada, tetapi aku harus tetap berusaha menahannya. Pantang bagiku terlihat lemah di depan anggota keluarga suamiku terlebih lagi di depan Budhe Galuh.

Bahkan aku melihat mama yang nampak pasrah dengan rencana budhe. Mama menghirup udara perlahan. Seolah-olah mengisi rongga dadanya yang kosong untuk memberi tenaga lebih agar bisa menghadapi sikap semena-mena Budhe Galuh.

"Ndak perlu Mbak. Biar aku yang ngomong ke Rajendra sama Wilu. Tapi tolong beri aku waktu sebentar lagi" Ucap Mama mengiba namun dengan suara yang tegas jika beliau tidak ingin dibantah.

Aku buru-buru mengetuk pintu di sela-sela obrolan mama dan budhe yang terjeda.

Ketukan suara pintu membuat kedua orang yang berumur lebih dari separo abad itu menoleh ke arahku. Budhe dan mama tampak terkejut dengan kedatanganku.

"Assallammuallaikum Mah-Budhe" Salamku sebelum mengayunkan kakiku memasuki ruang tamu. Kupaksakan mengulas segaris senyum meskipun hatiku terasa sendu.

Raut wajah tegang dari kedua raga yang sudah masuk usia senja itu nampak memudar setelah melihatku yang nampak baik-baik saja. Seolah aku tidak mendengar obrolan mereka.

"Kapan sampai Lu?" Tanya mama Retno yang aku pastikan untuk mengetahui waktu kedatanganku.

"Baru saja sampai Ma" Dustaku sambil mencium punggung tangan Mama dan Budhe.

"Oh.." Helaan nafas lega terdengar dari mulut Mama Retno.

"Kok ga bareng Rajendra Lu?" Mama celingukan mencari keberadaan anak laki-laki semata wayangnya.

"Mas Jendra masih banyak kerjaan Ma. Jadi nanti dari kantor langsung kemari"

"Oh... Sapa eyang dulu Lu. Eyang ada di belakang, lagi ngasih makan ayam kate" pinta Mama lembut.

Berbeda dengan budhe yang nampak tak acuh sejak kedatanganku kemari. Ia memandangku dengan tatapan tak suka.

"Nggih Ma. Wilu ke belakang dulu nyapa eyang kakung. Monggo budhe- mah" pamitku kepada dua perempuan paruh baya itu menuju ke kebun belakang.

"Kur... kur.. kur...." Eyang kakung terlihat sedang menabur dedak di sekitarnya. Pakan ayam yang terbuat dari kulit padi yang digiling halus itu sangat disukai oleh kawanan ayam cebol.

Ayam-ayam bertubuh mini itu saling senggol dan berdesak-desakkan untuk mengisi perut mereka sebelum senja berganti malam.

Eyang kakung yang menyadari kehadiranku lalu memutar tubuh. Ia meletakkan sisa pakan ayam miliknya di atas kandang.

"Uwes suwe tekomu nduk? (Udah lama datangmu nak?)"

Aku bergegas mencium punggung tangan eyang yang datang menghampiriku "Nembe kung (Baru saja kakung)"

"Ayo mlebu ngomah wes surup, gek magriban sek (Ayo masuk rumah udah senja. Ayo sholat magrib  dulu)"

"Nggih kung" Aku mengekori langkah eyang kakung yang lebih dahulu masuk ke dalam rumah.

Deru suara mesin mobil milik Rajendra terdengar memasuki pelataran rumah besar tepat saat kami memulai untuk makan malam.

Aku menyadari sebentar lagi sidang pernikahanku akan digelar. Sidang yang akan menghakimi dan menyudutkanku karena belum mampu memberi keturunan pada cucu laki-laki kesayangan keluarga Ahmojo.

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang