Aku ikut membantu membereskan piring-piring kotor usai makan malam bersama. Meskipun ada empat asisten rumah tangga di rumah ini namun aku ikut andil dengan sedikit membantu karena itu bagian dari tata krama.
Aku harus menjadi cucu menantu yang harus bisa menempatkan diri, itu 'weling (pesan)' ibu saat aku menjadi salah satu bagian dari keluarga Ahmodjo. Salah satu keluarga ningrat yang ada di kotaku.
"Mbak Wilu, ngapunten dipanggil eyang kakung buat kumpul di ruang tengah (Mbak Wilu, maaf dipanggil eyang kakung untuk kumpul di ruang tengah)" Salah satu ART bernama Rini menyelaku sopan untuk menyampaikan titah dari sang pemilik rumah.
Aku menarik dan menghembuskan nafas perlahan, seolah-olah bersiap menghadapi ujian hidup yang sudah menghadang di depan mata.
"Mbak Rini, tolong lanjutkan bersihin ini ya" Aku menunjuk beberapa tumpukan piring kotor yang belum terangkut masuk ke wastafel.
"Injih mbak (iya mbak)" Jawab Rini sopan sambil melanjutkan sisa pekerjaanku.
Aku mengayunkan kakiku yang terasa berat menuju ke ruang tengah. Kakiku serasa di beri beban puluhan kilo besi tak kasat mata. Namun aku paksakan melangkah menuju tempat penghakiman yang menantiku di depan sana.
Dari ekor mataku aku bisa melihat. Di ruangan itu sudah ada Budhe Galuh, dan dua anak Budhe Galuh bernama Sinta dan Lingga yang datang bersama istri dan anaknya. Ada pula Pak Lik Raharjo yang turut datang dengan Prayoga anak lelakinya. Dan terakhir ada Mama Retno dan juga Rajendra. Formasinya memang tak lengkap namun ketiga anak eyang kakung semuanya hadir.
"Duduk sini nduk, dekat suamimu" Eyang kakung yang melihatku datang langsung memberi perintah untuk duduk di samping Rajendra.
Aku hanya menurut dan diam tanpa membantah.
"Nduk, pernikahanmu karo Rajendra lak wes mlaku telung tahun. Iku wes wancine awakmu mbi Jendra kudune wes nduwe momongan. Sebagai wong tuwo, aku gur iso nyaranke piye nak Jendra nduwe istri meneh. Soale mbahmu iki yakin sing bermasalah iki awakmu dudu Rajendra. Lingga karo Prayoga wae uwes nduwe momongan. Mosok Rajendra durung dewe. Opo awakmu ga mesakke karo Rajendra (Nduk, pernikahanmu sama Rajendra kan udah berjalan tiga tahun. Ini sudah saatnya kamu dan Rajendra punya momongan. Sebagai orang tua, aku cuma bisa menyarankan gimana kalau Rajendra punya istri lagi. Soalnya eyangmu ini yakin kalau yang bermasalah itu dirimu bukan Rajendra. Lingga sama Prayoga juga sudah punya momongan. Masa Rajendra belum punya sendiri. Apa dirimu ga kasian sama Rajendra?)"
Kedua tanganku saling meremas untuk meredakan kecemasan yang tengah datang menyergapku.
Dahulu tangan ini selalu mendapatkan genggaman hangat dari tangan milik Rajendra. Kemudian suamiku itu akan selalu membelaku bagaimanapun caranya meskipun terkadang sampai membuat Budhe Galuh yang membenciku merasa geram sendiri.
Namun kali ini Rajendra sepertinya mengabaikanku. Tidak ada genggaman hangat itu lagi dan tidak ada satu kata pembelaan yang keluar dari mulutnya untukku.
Aku mengumpulkan kekuatan, mencoba menyuarakan pendapatku yang akan dinilai sangat tabu di keluarga ini.
"Saya akan mengijinkan Mas Jendra menikah lagi kung. Tapi dengan satu syarat..."
Aku menjeda ucapanku. Aku berharap tidak ada getaran serak sendu di suaraku yang menandakan aku ragu dan takut atas keputusan yang akan aku ambil.
Aku menghirup nafas dalam dan dengan tegas tanpa keraguan aku berucap "Tolong ceraikan saya terlebih dahulu..."
Ya, pada akhirnya aku memilih melepaskan laki-laki yang sangat aku cintai tiga tahun ini untuk hidup bersama perempuan pilihan keluarganya. Meskipun dadaku terasa sesak seperti ditikam belati, namun keputusan ini adalah keputusan yang paling tepat yang sudah aku pertimbangkan sejak beberapa bulan terkhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati (END)
Romansa"Saya mohon maaf, tidak ada kantong janin di rahim ibu. Jadi bisa dikatakan kalau ibu belum hamil" Aku meremas rok yang kukenakan saat dokter kandungan menyampaikan hal itu. Sedih dan takut jika keluarga besar suamiku menanyakan kehamilanku. Aku mel...