Bab 7

13.2K 705 20
                                    

"Setahun ini aku melakukan suntik hormonal untuk mencegah kamu bisa hamil. Jadi aku sangat yakin, jika bayi yang ada di kandunganmu itu bukan milikku!"

Mataku membola dengan sangat lebar. Aku benar-benar tak menduga jika Rajendra melakukan suntik hormonal di belakangku.

Aku ingin menyangkal apa yang aku dengar dari mulut Rajendra, tapi saat ini runguku baik-baik saja dan tidak sedang bermasalah.

Tega sekali dia. Aku merasa seperti..... dicurangi.

Aku menarik mundur ingatanku ke belakang.

Ingatanku masih begitu kuat saat aku menjadi bulan-bulanan keluarganya karena mereka mengira rahimku bermasalah sehingga belum bisa memberi keturunan kepada suamiku.

Aku banyak menerima hujatan terutama dari Budhe Galuh namun aku hanya mampu diam dan tak membalas. Aku sendirian dan tak ada yang membelaku mati-matian termasuk suamiku sendiri.

Aku menengadahkan tangan di akhir sholatku dan berdoa semakin sering- semakin dalam agar keluarga kecilku segera bisa diberi momongan.

Namun nyatanya Rajendra sendiri yang mematahkan asaku sejak satu tahun yang lalu. Bahkan ketika berkah dari Allah ini hadir dengan cara yang tak terduga justru bayiku mendapat penolakan dari ayah kandungnya.

Aku memejamkan mata sesaat dan mengatur nafasku. Berharap aku bisa mengontrol rasa emosiku setelah mengetahui rahasia besar dibalik susahnya kami mendapat momongan.

Aku menelan bulat-bulat rasa amarahku, dan dengan tenang aku bertanya tentang alasan Rajendra melakukan hal itu.

"Kenapa kamu melakukannya mas?" Tanyaku dengan suara serak menahan tangis yang bisa meledak kapan saja.

"Aku melakukan itu karena aku belum tahu ingin membawa rumah tangga ini ke arah mana setelah aku mengetahui perselingkuhanmu dengan Djati. Aku tidak ingin anakku menjadi korban jika pada akhirnya kita memutuskan untuk berpisah"

Dadaku semakin bergemuruh setelah mendengar tuduhan dan keegoisan yang dilakukan Rajendra. Rasanya aku juga ingin berteriak menyampaikan kekecewaanku namun aku urungkan karena apa yang ingin aku lakukan akan semakin memperkeruh suasana.

"Dan sekarang aku yakin. Jika keputusan yang aku buat untuk menunda memiliki anak sudah sangat tepat.

Kita akhiri saja rumah tangga ini. Aku tidak ingin merawat dan membesarkan anak haram kalian. Ayo kita bercerai...."

Aku mencengkram erat rok yang aku kenakan. Seolah-olah berpegangan erat pada sesuatu yang bisa aku jadikan tumpuan karena duniaku saat ini serasa runtuh.

Aku tidak menyangka Rajendra akan semudah itu untuk menceraikanku. Bahkan ia menolak mentah-mentah darah dagingnya sendiri. Bahkan melabelinya sebagai anak haram.

Aku menatap nyalang ke arah Rajendra dengan mata yang berkaca-kaca.

Namun semakin lama lantai yang aku pijak mejadi bergoyang. Tubuhku tiba-tiba tak bertenaga. Pandanganku menjadi kabur. Aku merasakan tubuh dan kepalaku menghantam lantai. Seketika duniaku menjadi gelap gulita.

****

"Au..." rintihan kecil lolos begitu saja dari bibirku.

Aku terbangun di atas ranjang dengan rasa nyeri hebat menyerang kepalaku. Aku meraba kepalaku, ternyata sudah ada plester luka yang menempel di keningku.

Aku menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Kupaksakan tubuh lemah ini untuk beranjak menuju kotak p3k untuk mencari obat pereda nyeri.

Sejenak aku ingin melupakan masalah yang membelitku saat ini. Aku butuh mengisi perut agar bayiku mendapat nutrisi dan tidak kelaparan.

Aku menuju dapur dengan berpegangan pada dinding agar tidak ambruk untuk yang kedua kalinya.

Dari ujung anak tangga aku melihat Rajendra yang sedang menyantap makan siangnya sambil menyelesaikan pekerjaan kantor dengan laptop yang menyala. Ia duduk di kursi makan nampak tak acuh dengan kehadiranku.

Aku menuang air mineral ke dalam gelasku yang kosong. Setelah terisi penuh aku meneguknya sampai tandas untuk menyirami kerongkonganku yang kering.

Aku menyalakan kompor dan menaruh panci berisi air di atasnya. Aku akan membuat mie instan rebus untuk santap makan siangku.

Mie instan memang minim gizi dan sebaiknya tidak di konsumsi oleh ibu hamil karena terlalu tinggi natrium. Tapi aku bisa apa? Suamiku sendiri menuduhku selingkuh dan mengandung anak dari pria lain. Jadi tidak mungkin aku memintanya untuk membuatkanku atau mencarikanku makanan yang bergizi?

Aku mengusap perut rataku, menyampaikan beribu-ribu kata maaf kepada bayiku karena memberinya makanan yang tidak sehat "Maafin ibuk ya nak. Sementara kita makan ini dulu. Ibuk janji, kalau ibuk udah sehat nanti ibuk beliin makanan yang sehat untuk kamu" kata-kata itu hanya mampu aku ucapkan di dalam hati.

Setelah mie rebusku matang, aku memilih duduk di kursi bar stool. Aku sengaja menghindari Rajendra yang masih menguasai meja makan sambil menyelesaikan pekerjaannya. Kami sekarang bagai dua orang asing yang dipaksa tinggal serumah.

Aku melirik ke arah Rajendra. Bertanya-tanya kenapa ia tidak pergi ke kantor padahal akhir-akhir ini ia sering lembur karena banyak pekerjaan yang menumpuk.

Apa mungkin ia ingin menjagaku karena aku pingsan setelah tadi pagi kami betengkar?

Tiba-tiba ada secercah asa yang bisa aku genggam untuk menggagalkan keputusan Rajendra untuk bercerai.

Kondisiku sakit dan Rajendra masih di sini untuk menjagaku. Bahkan ia membopongku ke kamar dan mengobati lukaku.

Itu tandanya Rajendra masih sangat peduli meskipun ia sedang marah besar karena mengira aku berselingkuh dengan pria lain.

Setelah aku menandaskan makan siangku, aku beranikan diri mendekati Rajendra.

"Mas, aku ingin bicara tapi sebaiknya kita saling mendengarkan terlebih dahulu tanpa emosi"

Rajendra nampak diam tidak menanggapi. Namun gestur tubuhnya yang menghentikan pekerjaannya yang sedang mengetik di laptop aku rasa ia mau mendengarkan ucapanku.

Aku menarik kursi dan duduk berlawanan dengan Rajendra.

"Mas Jendra beneran ingin kita bercerai?"

Lama waktu terjeda, Rajendra tak kunjung mengucapkan sepatah katapun.

"Aku tahu aku salah Mas, karena ga jujur dengan Mas Jendra kalau aku menjalin hubungan pertemanan dengan Djati di belakang Mas Jendra. Hanya pertemanan mas ga lebih dari itu. Aku ga menyangka kalau Mas Jendra sampai mengira aku seling..."

"Memang itu kenyataannya, Kan?" Rajendra langsung memotong ucapanku dan membenarkan dugaannya.

Aku diam dan tidak membantah karena mengajak Rajendra berbicara dengan kepala dingin seperti ini sungguh sangat susah.

"Jika seorang perempuan yang sudah bersuami bertemu secara sembunyi-sembunyi dengan mantan kekasihnya. Kalau tidak selingkuh disebut apa?" Dada Rajendra naik turun, terlihat kalau ia sangat marah dan sensitif jika membahas masalah perselingkuhan yang ia tuduhkan padaku.

Aku hanya diam tidak menjawab. Jika aku menyangkal tuduhan itu maka emosi Rajendra akan semakin naik. Aku hanya butuh Rajendra mendengarkan hal yang ingin aku sampaikan. Jadi aku lebih memilih mengalah.

"Aku ga bisa Lu lihat kamu berkeliaran di rumah ini dengan perut besarmu itu. Anak hasil perselingkuhanmu sama Djati. Aku ga bisa membayangkan bagaimana kalian menghabiskan  waktu bersama...."

"Jadi... Aku tetap pada keputusanku Lu. Lebih baik kita bercerai"

Denyut nyeri aku rasakan pada jantungku saat ini. Mendengar keputusan sepihak Rajendra karena kesalah pahaman membuatku tidak rela jika rumah tanggaku berakhir seperti ini.

"Aku akan menyetujui untuk bercerai mas. Tapi tunggu tiga bulan lagi. Beri aku waktu tiga bulan untuk membuktikan jika aku tidak berselingkuh dengan Djati. Dan jika dalam waktu tiga bulan itu aku tidak bisa membuktikan apapun , kamu boleh menceraikanku"

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang